Miya Atsumu - Resilience
Resilience
忍耐力
****
Bagi Miya Atsumu, aku hanyalah satu dari banyak gadis yang kebetulan lewat dalam hidupnya.
Bagiku, Miya Atsumu adalah cinta pertama yang hingga detik ini masih mengisahkan banyak rasa. Yang hanya bisa kuungkap dalam bait tulisan untuk kugumamkan bersama denting dan irama.
****
Interaksi pertamaku dengannya tidak meninggalkan impresi yang baik. Karena sejak awal aku tahu bahwa Miya Atsumu, anggota bola voli yang kerap dieluk-elukan banyak gadis di kelasku hanyalah pemuda sinting yang selalu melakukan banyak hal semaunya. Termasuk saat dia memintaku untuk menggantikannya mengiris bawang di acara study tour sekolah.
"Ayolah, aku tidak betah!" Rengeknya padaku yang tengah melakukan tugas lain seperti anak kecil.
Andai dia tidak datang padaku, mungkin sudah ada orang yang berbaik hati untuk melakukan permintaannya. Sayangnya aku pun sama, tak tahan untuk berkutat dengan dapur dan berbagai macam tugas rumah tangga. Jangan mengiris bawang, memegang pisau pun aku bisa tanpa sengaja mengiris diriku sendiri.
Aku memilih untuk mengabaikannya dengan memasang kedua earphone-ku di telinga, meskipun beberapa detik setelahnya dia kembali mengusik ketenanganku dengan mengambil salah satunya.
"Selera musikmu aneh." Begitu ucap Miya Atsumu, terhadap seorang gadis yang bahkan tidak terlalu dikenalnya.
Kupikir study tour akan menjadi kali pertama sekaligus terakhir bagiku untuk berinteraksi dengannya. Nyatanya, setelah itu pun hidupku yang biasa sepi dan damai kembali terganggu oleh berbagai tindak absurdnya.
Bagi seorang antisosial sepertiku, berinteraksi dengan Atsumu hanya akan mendatangkan ketidakwarasan setelahnya. Termasuk ketika dia dengan sengaja merebut buku harian yang selalu kutulis dalam diam untuk ia baca keras-keras, sebelum kemudian dia berkata, "ini puisi? Jelek dan terdengar sangat picisan." Dan punggung tanganku spontan melayang pada tulang pipinya setelah satu kalimat menyakitkan itu kudegar.
Merangkai kata bukanlah keahlianku. Namun aku selalu berusaha untuk menuliskannya dalam bait demi bait untuk kusenandungkan ketika aku senggang. Dan kata-kata Atsumu adalah penghinaan terbesar yang pernah aku dapatkan.
Aku biasa tidak memedulikan presepsi banyak orang tentang diriku hingga aku lebih sering mengabaikan mereka untuk tenggelam pada duniaku sendiri. Tapi Atsumu, dia telah membuat terobosan untuk selalu membuatku memikirkan tentang apa yang ada dalam pikirannya.
"Jadi kau menulis lagu?" Tanyanya, saat secara tak sengaja dia melihatku duduk bermain gitar di bangku taman bersama beberapa anak kecil yang entah sejak kapan datang mengelilingiku.
Dari hampir delapan milyar manusia di bumi, kenapa yang menemukanku adalah pemuda ini?
Sejak saat itu, dia lebih rutin mengajakku bicara meskipun lebih rutin pula aku tak mengacuhkannya. Sesekali dia akan menyarankan satu atau banyak kosakata sebagai pengganti kata yang kutulis dalam bait laguku, bahkan meskipun aku tahu nilai dalam mata pelajaran bahasanya tak pernah melampaui angka lima.
Hingga tahun terakhir kami di SMA tiba, aku sadar kalau Miya Atsumu adalah satu-satunya manusia yang paling banyak melakukan interaksi denganku. Terlalu sering, hingga membuatku merasa bahwa keberadaannya adalah sesuatu yang wajar bagiku yang selama belasan tahun memilih untuk membangun tembok yang cukup tinggi terhadap sekitar.
"Ini apa?" Tanyanya saat aku menyodorkan USB kepadanya di satu hari di musim panas.
"Kumpulan laguku," jawabku.
Aku pun terkejut melihat diriku yang memberikan satu bagian dalam hidupku yang kusimpan dalam-dalam kepada seseorang seacak Atsumu. Namun kurasa begitulah takdir berjalan. Hingga aku menyadari bahwa dia bukan lagi menjadi sosok menyebalkan yang kedatangannya tidak pernah kuinginkan, melainkan seseorang yang kusuka hingga tak ada satu malam bagiku untuk terlewat tanpa memikirkannya.
Di hari kelulusan, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku lewat rekaman dari bait-bait yang kunyanyikan berdasar kenangan bersamanya dalam dua tahun belakangan.
"Ada sesuatu yang ingin aku raih, karena itu aku belum bisa membalas perasaanmu," begitu jawabnya.
Aku tidak terkejut. Karena sedikit banyak kami memiliki kesamaan tentang impian dan masa depan. Dia dengan bola voli dan aku dengan musikku. Atsumu akan pindah ke Osaka akhir musim semi ini sementara aku akan ke Tokyo untuk belajar sebagai bakal seorang musisi.
Kupikir kegagalanku dalam menyatakan perasaan hanya bermasalah dengan waktu, di mana aku tidak mengungkapkannya di saat yang tepat. Namun seiring berjalannya waktu, aku tahu bahwa hal yang kupercayai tak selamanya benar.
Waktu itu genap dua tahun sejak aku pindah ke Tokyo. Terlalu sibuk dengan tugas dan kerja paruh waktu untuk memenuhi pundi-pundiku hampir saja membuatku lupa kalau aku masih menunggu jawaban dari seorang Miya.
Ada sesuatu yang ingin ia raih, katanya.
Aku masih percaya bahwa masih ada harapan bagiku untuk mendapatkannya, setidaknya sampai aku menemukan wajahnya dalam halaman depan tabloid mingguan. Menampakkan dirinya tengah bergandengan tangan dengan seorang wanita yang sosoknya kerap kulihat menghiasi banyak media.
Terpukul?
Tentu.
Aku masih ingat bagaimana aku berlari menerobos hujan selepas shift-ku usai. Dalam keadaan basah kuyup aku meraih buku catatan, menumpahkan segalanya lewat rangkaian kata yang tak akan bisa kuungkapkan secara lisan.
Hari itu, sebagian kertas dalam buku catatanku basah oleh sisa air hujan. Dan juga derai air mata yang sekuat apa pun kubendung, tetap saja meluap tanpa perlu merasa kesulitan.
Kali kedua, aku menguraikan afeksiku pada seorang Miya Atsumu dalam bait-bait bernada.
Katanya, banyak orang yang akan simpati pada seseorang yang terluka. Termasuk aku yang mengunggah lagu patah hatiku di sebuah platform, hingga kemudian viral ke seluruh penjuru internet. Aku bahkan berhasil debut dengan lagu yang kutulis dalam sakit hatiku yang dalam. Ironis bukan?
Dua, tiga tahun berlalu. Sebagai musisi yang baru saja menetas, aku cukup puas dengan hasil yang kucapai selama ini. Perjuanganku selama bertahun-tahun terbayar. Setidaknya sekali dalam sebulan, akan ada majalah yang memintaku mengisi salah satu atau dua halamannya. Lalu meskipun tidak sering, aku pun kerap diundang menjadi bintang tamu dalam berbagai acara televisi.
Bagi seorang pemimpi sepertiku, apa yang kuraih hingga detik ini adalah sebuah anugerah. Namun setiap aku mengingat bahwa popularitasku dimulai dari kisah cinta yang menyedihkan, aku merasa aku harus menemukan titik balik agar aku segera bergerak dari patah hatiku ini.
Sialnya, takdir tak selalu bergerak searah dengan apa yang aku inginkan. Terbukti ketika secara kebetulan aku kembali dipertemukan dengan sosok Atsumu setelah sekian lama aku mencoba menghalau bayangnya.
Menjadi atlet nasional yang terkenal membuat Atsumu kerap menghiasi banyak sampul majalah. Tak terbatas majalah olahraga, beberapa majalah fashion mulai menjadikan Atsumu model eksklusif mereka. Aku tahu bagaimana ia begitu populer, namun aku tidak menyangka bahwa kami akan diundang di acara yang sama di tengah determinasiku untuk melupakannya.
"Selamat atas rilisnya lagu barumu!" Ucapnya berbasa-basi saat kami bertemu di ujung koridor menuju studio utama tempat siaran langsung diselenggarakan.
Aku pun balas memberinya ucapan selamat, atas terpilihnya dia sebagai atlet dalam tim nasional selama beberapa tahun berturut-turut. Aku tidak tengah berbohong saat aku menyatakan bahwa aku pun gembira akan pencapaiannya. Yang kusesalkan hanyalah, aku tidak menjadi dan tidak akan pernah menjadi bagian dari kesuksesannya itu.
Studio gemerlap dengan berbagai efek lampu di setiap sudutnya. Aku siap, berdiri tegap dengan gitarku yang sudah kusetel sebelumnya. Riuh tepuk tangan penonton terdengar meskipun jumlahnya tak begitu banyak jika kubandingan dengan setiap konser yang pernah kulakukan. Meskipun begitu, aku bisa merasakan bahwa gugupku kali ini jelas berbeda dengan apa yang biasa menderaku di saat aku harus tampil dalam sebuah acara.
Tentu aku tahu sebabnya. Yaitu tak lain adalah sosok pirang yang kini duduk di ujung sana.
Detik saat aku menemukan sosoknya tadi adalah saat di mana aku kembali tersadar bahwa aku masih belum membebaskan diriku dari perasaan untuknya.
Kamera berputar dengan kerlip lampu yang masih mendominasi sekitar. Aku mulai memetik gitarku setelah tepuk tangan berangsur reda.
Aku bisa melihat sorot mata di sekitar nampak begitu menghakimi ketika mereka tahu bahwa bukan lagu baru yang tengah kupromosikan yang kala itu kunyanyikan. Melainkan lagu patah hati yang kutulis untuk seseorang. Yang mengangkatku pada sebuah pencapaian.
Malam itu hampir semua trending di media sosial berisikan namaku dengan lampiran video di mana mataku merah sembab, gagal membendung kegelisahan.
Menejer dan agensiku murka lantaran kesempatan yang seharusnya menguntungkan justru berbalik menjadi sebuah skandal di mana semua orang kini tahu bahwa ada sesuatu di antara aku dan atlet bola voli profesional, Miya Atsumu. Seseorang yang cukup tahu kedekatan kami di SMA secara anonim membocorkan bahwa kami sering terlihat berdua.
Aku tahu bahwa berita miring yang hanya berbasis pada perasaan sepihakku ini pun turut membuat Atsumu kerepotan. Karena itu aku mengiyakan saat ia tiba-tiba menelpon dengan nomor lamanya, mengajakku untuk berbicara.
"Kau masih menyukaiku?" Begitu tanyanya setelah aku kehabisan kata-kata untuk sekedar menjelaskan apa yang mendorongku untuk tiba-tiba menyanyikannya.
Atsumu mungkin tahu, untuk siapa lagu itu kutulis. Karena kondangnya lagu itu bersamaan dengan banyak headline media yang menjual kisah kedekatannya dengan seorang model tertentu. Atsumu tak memberiku penjelasan waktu. Karena mungkin menurutnya itu hanyalah sati dari banyak hal yang akan lekang oleh waktu.
Namun nyatanya, itu hanya pendapat sepihak yang bahkan tidak kumengerti hingga saat ini.
Kupikir aku yang cukup memiliki resiliensi dalam menjalani hidup akan cukup betah menjalani semua ini hingga setidaknya dia berpaling padaku. Tapi daya lenting saja tak cukup. Karena setelah mendengar pertanyaan itu, aku jadi cukup tahu bahwa semuanya bukan masalah waktu.
Karena Atsumu memang tidak menginginkanku.
"Maaf. Aku salah paham," ucapku. Tanpa menjawab tanya yang ia lontarkan sebelumnya. "Kupikir aku masih punya kesempatan. Tapi ternyata tidak."
Atsumu diam. Aku bisa melihat rasa bersalah dalam rautnya. Tetapi aku tidak berusaha membuatnya lebih baik, karena setidaknya dia tengah memikirkanku saat ini. Terdengar sadis, namun aku senang akhirnya dia sesak karena keberadaanku.
"ーMiya Atsumu. Aku menyukaimu. Kali ini, tolong tolak aku dengan semestinya."
Kendati aku mengucapkannya dengan derai air mata, aku tahu bahwa ada sebuah kebebasan yang terlihat dari relung hatiku di dalam sana.
Kudengar getaran suara Atsumu yang berkata, "maaf. Aku tidak bisa menjawab perasaanmu" yang lantas membuat derai itu semakin menjadi.
Atsumu memelukku. Untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya. Perasaan sayang karena aku tak akan lagi merasakan dekapan hangat itu segera kubuang jauh-jauh karena aku tahu, dia hanya bersimpati pada diriku yang menyedihkan ini.
"Aku akan menemukan yang lebih baik darimu."
"Ya. Aku tahu itu."
Malam itu langit mendung. Hanya mendung sehingga aku tak perlu berlari menerobos hujan untuk pulang kemudian membongkar berbagai arsip lama yang kusimpan dalam sebuah kotak.
Kutemukan sebuah USB yang kusimpan bersama ratusan lembar kertas partitur yang bertumpuk rapi dalam bundelan berkas. Aku segera menancapkannya pada komputerku, kemudian menemukan sebuah file lama yang dulu sempat ingin kubuang karena rasa kecewa yang berlebihan.
Aku mendengar setiap nada dari lagu pertama yang kutulis untuk mengungkapkan perasaanku pada Atsumu di hari kelulusan. Kendati waktu itu dia bilang bahwa lagunya enak didengar, untuk musisi profesional seperti diriku yang sekarang lagu ini hanyalah seonggok sampah yang akan masuk tempat sampah apabila sampai pada tangan seorang produser.
Kuputuskan untuk merombaknya satu demi satu. Dari pendiksian hingga penyesuaian aransemennya.
Tak memakan waktu lama sampai lagu itu selesai dan dirilis secara masif, setelah skandal di stasiun televisi yang membuat salah satu single-ku kala itu nyaris tak laku di pasaran.
Namaku kembali berada di setiap trending di media sosial, pun dalam headline berbagai media. Aku telah mencapai titik balikku sebagai seorang musisi, dan sebagai wanita yang pernah jatuh cinta, begitu kata mereka. Dan aku tahu apa sebabnya.
Di papan yang bertengger di gedung pusat perbelanjaan terdapat iklan lagu terbaruku, sementara di sebelahnya terdapat layar videotron yang memberitakan pernikahan seorang selebriti besar dengan seorang atlet bola voli profesional, Miya Atsumu.
Aku tersenyum, menatap keduanya secara bergantian. Rongga dadaku bergemuruh dalam sebuah selebrasi; pembebasan diri dari sebuah patah hati.
ーFINー
Halo, terima kasih sudah membaca karyaku!!
Aku bakalan seneng banget kalau ada satu dari kamu yang kasih komentar atau masukan untuk semua yang sudah aku tulis. Silakan mampir ke Secreto atau CuriousCat kalau kamu malu untuk muncul di kolom komentar ❤️
Comments
Post a Comment