Akaashi Keiji - Discrepancy
Discrepancy
すれ違い
Akaashi Keiji x Reader
__________________
Listening to this song may give you a better reading experience.
__________________
Meja persegi berukuran satu kali satu meter itu terasa begitu jauh membentang, memisahkanmu yang kini duduk berhadapan dengan kekasihmu. Kalian yang terbiasa duduk bersebelahan kini harus saling berlawanan, seumpama hati kalian yang mulai menjauh satu sama lain.
Akaashi Keiji, kekasihmu masih terdiam. Ujung jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu, menunggumu untuk melontarkan sederet pernyataan.
Kau meminta waktu untuk bicara setelah sekian lama kau diam, menahan egomu yang kini membuncah di ujung kepala.
“Ini tidak akan berhasil,” kau memulai.
Keiji yang semula menghindari kontak mata pun mulai mengumpulkan fokusnya ke arahmu.
“Mari kita akhiri saja.” Kau berpikir, bahwa hanya satu kalimat ini yang akan membuatmu kehilangan segala gundah gulana yang menyelimutimu akhir-akhir ini.
“Hah?” Kau bisa melihat kernyit pada dahi Keiji, yang membuatmu berasumsi bahwa dia tidak akan setuju dengan keputusan yang kau buat untuk masa depan kalian. Ah bukan, lebih tepatnya, masa depanmu sendiri.
“Kupikir aku bisa menunggu sedikit lebih lama, tapi aku terlalu penuh dengan diriku sendiri. Jadi, aku pikir ini yang terbaik.” Lanjutmu.
Berhubungan selama hampir lima tahun seharusnya membuatmu cukup percaya bahwa Keiji benar-benar mencintaimu, tanpa syarat dan kecuali. Namun nyatanya, masa lalu membuatmu kembali ragu apakah kau akan berakhir bahagia dengannya, atau dicampakkan sama seperti yang pernah terjadi enam tahun yang lalu.
Umurmu tak lagi muda untuk sekedar bermain dengan orang yang tak ingin menghabiskan seumur hidup waktunya denganmu. Karena itu, tepat sebulan sebelumnya kau bertanya apakah Keiji bermaksud untuk menikahimu dalam waktu dekat, atau dia memiliki rencana lain. Dia belum memberikan jawabannya hingga kini, yang membuatmu berpikir bahwa kau memang bukan pilihannya.
“Dengar, aku tahu ini semua salahku. Seharusnya aku langsung menolakmu waktu itu. Meskipun kau hanya tiga tahun lebih muda dariku, tapi kau tetap akan merasa membuat keputusan ini terlalu cepat. Aku benar-benar berpikir bahwa kita akan berhasil. Tapi ternyata tidak.”
“Kenapa kau bisa bilang seperti itu?”
“Aku hanya menyimpulkan ini dari kacamataku.”
“Kacamata seperti apa yang kau pakai hingga kau bisa berpikir bahwa aku tidak serius dengan hubungan kita?”
Kau menghela napas, melihat kedua tangannya mengepal di atas meja. Kau tahu bahwa amarah telah menguasainya, sehingga kau tidak berpikir bahwa pembicaraan ini akan berakhir sesuai dengan yang kau inginkan.
“Aku sudah selesai.” Tutupmu kemudian tanpa menjawab pertanyaannya.
Kau bangkit, lalu beranjak masuk ke dalam kamar, sengaja tak masuk ke kamar utama karena kau tidak ingin keputusan yang telah kau bulatkan berakhir sia-sia.
__________________
Konflik adalah hal lazim yang terjadi pada setiap pasangan. Hanya saja, kau jarang bertemu dengan hal itu selama lima tahun berhubungan dengan Keiji. Kalaupun pernah, itu hanya konflik kecil seperti warna apa yang bagus untuk tirai kamar, atau menu apa yang cocok untuk makan malam. Itu pun selalu berakhir dengan dia yang mengalah karena tak ingin perdebatan berlangsung lama.
Tapi sekarang, meskipun kau ingin semua gundahmu berakhir, relung hatimu masih berharap bahwa Keiji akan mempertahankanmu hingga akhir.
“Kau baik-baik saja?” Tanya pria di depanmu yang kini menghentikan aktivitasnya pada piring berisi makanan.
Pertanyaannya membuatmu kembali dari anganmu yang berpencar mencari solusi yang terbaik tentang apa yang akan kau lakukan apabila kau dan Keiji benar-benar putus.
Kembali ke kampung halamanmu, atau, ikut kencan buta?
“Ah, maaf. Aku baik-baik saja!” Jawabmu cepat.
Di tengah perjalanan pulang tadi, kau berpapasan dengan salah satu teman laki-laki saat kau kuliah. Kalian berakhir di sebuah restoran untuk makan malam bersama setelahnya. Terlalu acak, dan kau yakin bahwa Keiji akan mengamuk apabila tahu akan hal ini.
“Bagaimana kabar Akaashi? Kau masih dengannya, bukan?” Temanmu itu bertanya.
Topik yang ingin kau hindari saat ini, tapi mau tidak mau kau harus menjawab karena kau tidak ingin gosip yang tidak cukup enak tentangmu berhembus hingga ke lingkaran kawan sepermainanmu di saat kuliah.
“Dia baik-baik saja.”
“Benarkah? Kudengar dia bekerja sebagai editor di penerbitan. Pasti sibuk sekali.”
“Cukup sibuk.”
Cukup sibuk untuk menggantungmu dengan jawabannya yang tak kunjung kau terima. Padahal, kau hanya butuh kepastian.
“Aku tidak menyangka kau akan serius dengannya.” Kalimatnya kali ini sungguh tidak kau duga.
“Ya?”
“Maksudku, kau punya pengalaman buruk dalam sebuah hubungan. Kupikir kau akan
belajar dengan mencoba mencari seseorang yang lebih baik dan lebih serius denganmu.”
“Jadi maksudmu Keiji tidak serius dengan hubungan kami?”
Ada jeda singkat sebelum pemuda itu menyanggah pertanyaanmu. “Bukan begitu, tapi ....”
“Terima kasih sudah mengingatkanku!” Potongmu, sebelum menyambar tasmu, mengeluarkan uang, lalu berpamitan sebelum meletakan selembar uang sepuluh ribuan di atas meja.
Temanmu berusaha untuk menghentikan dengan berkali-kali memanggilmu, tapi kau mengabaikannya.
Kau cukup awas dengan hubunganmu yang begitu rentan saat ini, namun kau tidak ingin orang lain berpikiran sama. Cukup ironis, bukan?
Rasanya kau ingin mengumpat keras-keras untuk melepas rasa kesal yang kembali memenuhi rongga dadamu. Andai saja kau tidak sedang berada di keramaian hingga kau tidak ingin mempermalukan dirimu sendiri.
“Sudah selesai?”
Kau cukup terkejut saat mendengar suara familiar terdengar di belakangmu. Dan benar, kau menemukan Keiji tepat saat kau menoleh.
“Bagaimana kau bisa ada di sini?”
“Aku bertanya apakah kau sudah selesai dengan urusanmu bersama orang yang selalu kau sebut sebagai sahabatmu itu?”
“Dia memang sahabatku.”
“Aku tidak butuh informasi itu sekarang.”
“Lalu?”
“Aku tidak suka kau bersamanya.”
Bukan hanya sekali dia mengatakan itu. Sampai saat ini pun kau tidak pernah mengindahkannya, karena kau tahu itu hanya sebuah rajukan ketika dia tidak ingin ada pria lain yang terlalu dekat denganmu.
“Sementara kau sendiri tidak ingin bersamaku?” Kau menukas.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Karena kau tidak membuatku berpikir sebaliknya!”
Meskipun kau tahu Akaashi memiliki level kesabaran yang lebih tinggi dibanding dirimu, kau bisa menyadari kalau kali ini kesabarannya sudah terkuras.
Dia merapatkan jarak di antara kalian, menarik lenganmu hingga tidak ada lagi celah. Lalu menciummu.
Di tengah keramaian yang paling kau benci.
Kau nyaris kehilangan kewarasanmu kalau saja dia tidak segera melepaskan bibirnya itu dalam beberapa detik.
“Aku bepikir, terus berpikir sampai hari ini. Apakah yang telah kusiapkan hingga saat ini cukup membuatmu bahagia!” Ujarnya dengan desibel cukup tinggi, dan napas yang tidak karuan. Pertanda bahwa dia tengah menahan emosinya yang nyaris meletus. “Aku tidak ingin kau merasa tidak bahagia saat bersamaku, karena itu aku terus berpikir apakah aku telah melakukan hal yang benar. Karena itu aku tidak segera mengiyakan saat kau bilang kau ingin terus bersamaku meskipun itu yang paling kuinginkan dalam hidupku.”
Kau membiarkan dia memelukmu, sementara kau masih berusaha menangkap semua perkataannya. Kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Hingga kau merasa rongga dadamu terasa penuh, dan sesak oleh kebahagiaan.
”ーkarena itu, jangan pernah berkata bahwa aku tak ingin bersamamu!” Dia menambahkan, kali ini dengan desibel yang lebih rendah.
Kedua lengannya masih merangkulmu yang kini terisak, mengubur wajahmu di dada bidangnya. Sesekali kau mengucap kata 'bodoh' dengan lirih sambil memukul-mukul dadanya.
__________________
Comments
Post a Comment