Ennoshita Chikara - Perfect Cinderella

Perfect Cinderella

Ennoshita Chikara x Reader


___________________


Dua musim telah berlalu sejak kau mendengar bahwa Ennoshita Chikara menyukai seseorang yang ia bilang bahwa gadis itu sangat menyukai namanya.


Tidak ada perkembangan setelah itu karena kau tidak yakin apakah orang yang dia maksud adalah dirimu, atau itu orang lain yang bahkan tidak kau ketahui identitasnya. Kalian cukup sibuk dengan tahun terakhir di SMA yang lebih menyita banyak waktu.


Sekolah, pendidikan suplementasi, konsultasi karir, tidak ada yang lebih membuatmu lelah dari ini. Pun kau yakin kalau Ennoshita merasakan hal sama terlihat dari matanya yang semakin sendu setiap harinya. Hari ini pun kau melihat lingkar hitam di bawah matanya yang semakin kentara saat kau berbalik memberikan selebaran berisi informasi tentang festival sekolah tahun ini.


“Kau baik-baik saja?” Tanyamu spontan.


“Aku? Memangnya aku kenapa?” Begitulah Ennoshita, dia tidak akan menyadari bagaimana buruk keadaannya sampai seseorang menyampaikan itu padanya.


“Lingkar gelap di bawah matamu semakin jelas.”


“Ah, ini?” Dia mencoba mengusap, tapi jelas itu tak memberi efek apa pun. “Aku hanya kurang tidur.”


“Benarkah? Kalau begitu kau harus istirahat!” Pesanmu. Hanya kalimat yang akan terdengar ringan oleh siapa pun yang mendengarnya. Padahal kau ingin Ennoshita merasa bahwa kau sungguh-sungguh mengkhawatirkannya.


“Terima kasih,” dia tersenyum, dan kau mengangguk sebelum dia menangkap gurat merah muda yang mungkin sudah mewarnai kedua belah pipimu saat ini.


Beberapa waktu lalu kau sempat mendengar bahwa Ennoshita menulis profesi fisioterapis di lembar konsultasi karir yang diberikan oleh wali kelasmu. Dengan kemampuan akademiknya yang cukup kuat, kau yakin bahwa Ennoshita telah memikirkannya baik-baik baik dan suatu saat nanti akan menggapai impiannya itu. Sesuai namanya, Ennoshita Chikara, dia pasti juga akan menjadi kekuatan bagi orang lain.


Tapi, lihatlah dirimu sekarang! Kau bahkan masih menyimpan lembar itu di laci meja belajarmu meskipun sudah berhari-hari sebelumnya wali kelasmu meminta kertas berisi tujuanmu setelah lulus SMA itu dikumpulkan secepat mungkin.


Kau masih bimbang dengan banyak pilihan yang selalu terlintas di pikiranmu, namun kau tidak yakin apakah kau mampu melakukan semua yang terbayang itu hanya dengan sebatas tekad saja.


Kelas berakhir lebih cepat hari ini, diikuti oleh homeroom singkat yang digunakan untuk membahas perihal festival sekolah. Partisipasi murid tahun ketiga memang jarang dilakukan di hampir banyak sekolah mengingat akan lebih banyak murid yang sibuk mempersiapkan ujian masuk universitas, persiapan mencari pekerjaan, dan lainnya. Namun tahun ini, entah angin segar apa yang berhembus di Karasuno sehingga komite sekolah mengusulkan partisipasi bagi murid tahun ketiga yang ingin kelasnya berpartisipasi. Dan saat ini kalian di tengah rapat apakah kelas 3-4 akan berpartisipasi atau tidak.


“Ini bunkasai terakhir kalian di SMA, jadi putuskan baik-baik!” Tegas wali kelasmu sebelum menutup homeroom dan mengijinkan kalian untuk pulang.


Menurut banyak testimoni yang pernah kau dengar, tahun ketiga biasanya akan terasa mencekik karena kau harus fokus menghadapi beberapa ujian ke depan, atau justru membosankan karena kau tidak memiliki banyak pilihan untuk melakukan hal lain yang menyenangkan. Keduanya sama-sama terdengar menyebalkan, tapi memang begitulah kenyataannya. Karena itu kau tidak heran kalau suara mayoritas di kelas mengatakan bahwa mereka ingin berpartisipasi dalam festival sekolah.


“Jadi siapa yang akan menjadi perwakilan di kelas kita?” Tanya salah satu rekanmu yang duduk di barisan paling depan.


Tidak ada tanda bahwa ada seseorang yang ingin melakukan tugas itu. Mereka mulai beralasan kalau mereka tengah sibuk mempersiapkan masa depan. Di tengah kelas yang mulai ribut, kau mengangkat tanganmu tinggi-tinggi sambil berkata, “Aku akan melakukannya.”


Mungkin wali kelasmu akan memberi lektur singkat apabila mengetahui hal ini mengingat kau masih belum mengumpulkan lembar konsultasi karirmu. Tapi apa boleh buat, ada dorongan kuat yang entah datang dari mana yang membuatmu ingin berkontribusi dalam festival kali ini.


“Kalau begitu, aku juga!”


Kau menoleh ke belakang, dan melihat Ennoshita juga mengangkat salah satu tangannya.


“Kupastikan aku akan bekerja dengan baik,” katanya setelah menurunkan tangannya, lalu tersenyum.


“T-terima kasih!” Kau tahu kau tersipu, tapi kali ini kau tidak segera berpaling dan berusaha lebih lama memperlihatkan rasa senangmu itu padanya.


Membuat keputusan memang tidak mudah. Pun saat ini, ketika kedua orang tuamu menentang pilihanmu untuk menyibukan diri sebagai salah satu panitia untuk festival sekolah. Mereka bilang kau hanya perlu fokus untuk masa depanmu.


Masa depan yang masih mengambang karena kau belum bisa memilih tujuan.


“Ada masalah?” Ennoshita bertanya setelah kalian keluar dari ruang rapat yang digunakan untuk berdiskusi dengan perwakilan kelas yang lain.


“Hm? Aku hanya memikirkan sesuatu.”


“Biar kutebak!” Ujarnya kemudian. “Kau pasti sedang bimbang dengan konsultasi karirmu?”


“Bagaimana kau tahu?” Kau cukup terkejut hingga menghentikan langkahmu saat Ennoshita mengatakannya.


“Pak Sawada bilang hanya kau yang belum mengumpulkannya.”


Oh, kau sungguh berharap bahwa bukan lelaki paruh baya bernama Sawada itu yang menjadi wali kelasmu saat ini. Dari kurang lebih tiga puluh orang di kelasmu, kenapa Ennoshita yang harus ia beritahu tentang ini?


Ennoshita membawamu ke vending machine untuk membeli minuman sebelum kembali ke kelas. Masih ada cukup waktu sampai mata pelajaran dimulai, karena itu kalian memilih duduk di bangku terdekat, dan kau cukup senang karena ini kali pertama bagimu untuk bisa berduaan dengan orang yang sejak lama kau suka.


“Ngomong-ngomong, menurutmu apa yang akan kita keluarkan untuk festival sekolah tahun ini?” Tanyanya.


Kalian mendiskusikannya di grup kelas, tapi sebagian besar tidak memberi respon dan hanya bilang bahwa mereka mengikuti apa pun keputusannya.


“Menurutku rumah hantu dan maid cafe masih mendominasi.”


“Terlalu mainstream. Aku yakin banyak kelas lain yang menggunakan tema itu.”


“Aku pun berpikir begitu.”


Ennoshita diam dan nampak memikirkan suatu hal dengan cukup serius. Kau pun bertanya-tanya apa yang kini bergumul dalam kepalanya.


“Bagaimana kalau drama?” Usulnya kemudian, setelah beberapa puluh detik berlalu dalam keheningan.


“Kenapa drama?”


“Karena kupikir kau akan bersedia menulis naskahnya,” ujarnya kemudian.


“Ya?”


“Kau selalu mendapat angka lebih dari 80 setiap membuat karya tulis, bukan?”


“Aku rasa itu berbeda dengan ketika aku harus menulis naskah drama....”


“Kau bisa jadikan itu sebagai tantangan.” Ennoshita berucap dengan senyum tipis terbaiknya. Kau nyaris oleng karena itu.


Kalimat terakhir yang dia katakan sebelum memutuskan untuk kembali ke kelas itu mengambang di benakmu hingga sekarang, satu jam menjelang tengah malam.


Kau duduk di depan layar monitor komputermu sambil menggulir satu halaman sebuah situs berisi banyak tulisan kau tulis secara anonim. Awalnya kau hanya iseng menulis di blog itu karena kau lebih banyak memiliki waktu luang, namun beberapa bulan belakangan banyak respon positif yang datang untuk tulisanmu.


[Aku suka ceritanya, tolong lanjutkan!“]


[“Aku penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.]


[Aku harap Ennoshita segera mengungkapkan perasaannya! Semangat, Author-san!]


Kau terkekeh membaca banyak kalimat di kolom komentar. Masih tidak percaya kalau cerita bersambung yang kau tulis berdasarkan pengalamanmu menyukai Ennoshita Chikaraーtanpa menyamarkan namanyaー itu bisa sepopuler ini.


Lalu tepat di tengah malam sebelum beranjak ke tempat tidur, kau sempat berpikir bahwa kau memang berbakat dalam hal itu.


Dengan cepat kau meraih ponselmu, lalu mulai mengetik pesan untuk kau kirim ke orang yang sudah lama kau taksir. Bukan untuk menyatakan cinta, tapi untuk memberitahunya bahwa ide yang dia canangkan siang tadi itu mungkin bisa dicoba.


Kau sempat berpikir bahwa kau tidak akan mendapat jawaban sampai esok hari, namun nyatanya ponselmu bergetar oleh rentetan pesan dari Ennoshita lima menit kemudian.


[Hei, jangan tidur terlalu malam! Kau masih muda, pikirkan regenerasi kulitmu (ー_ー)!!]


[Kalau begitu mari kita bahas besok bersama yang lain.]


[Selamat tidur.]


Kau membalas dengan satu frasa yang sama dengan yang dia kirimkan terakhir.


[Selamat tidur.]


Hampir tiga tahun kalian mengenal, dan ini pertama kali kalian bertukar pesan di tengah malam. Meskipun bukan untuk sesuatu yang spesial, kau tahu bahwa sekarang kau tengah girang hingga kau ingin malam segera berlalu dan bisa bertemu dengannya secepat mungkin.


Sesuai kesepakatan bersama, kelas 3-4 akan berpartisipasi dalam festival tahunan dengan drama panggung. Dan seperti yang sebelumnya Ennoshita usulkan, kau menjadi penanggung jawab naskah yang nantinya akan disupervisi oleh guru Bahasa Jepangmu.


Persiapan untuk panggung dan kelengkapan lainnya dilakukan secara bertahap. Begitu pula dengan tugasmu sebagai penulis naskah yang terus menulis di setiap waktu luang. Tak jarang kau meminta pendapat Ennoshita, dan rekan-rekanmu yang lain untuk adegan yang perlu kalian tambahkan.


“Ini bagus! Belum ada versi Cinderella mana pun yang melakukan ini!” Puji Ennoshita saat kau menunjukan sebagian naskah yang masih dalam bentuk kerangka. Berbagai obrolan dengannya membuatmu termotivasi untuk segera menyelesaikan naskah sebelum tenggat waktu tiba.


Bisa dibilang festival sekolah tahun ini merupakan berkah bagimu. Kau bisa melakukan hal yang kau suka, ditambah kau jadi lebih banyak berbincang dengan orang yang kau suka. Kalau ada yang kurang, itu hanyalah jiwa pengecutmu yang masih belum berani mengungkapkan perasaan meskipun kesempatan bersama datang berkali-kali semenjak persiapan festival dilaksanakan.


“Yang ini lucu!” Kau mendengar salah satu temanmu menjerit saat fitting kostum dimulai, dan mereka tengah mencari gaun mana yang cocok digunakan oleh peran utama, Cinderella.


Di ujung ruangan, kau melihat orang yang kau suka tengah berputar di depan cermin. Mematut diri apakah dia cocok menggunakan kostum yang dia pakai.


Lupakan mata mengantuknya! Karena menurutmu Ennoshita terlihat memukau dengan balutan gaun berwarna biru laut dengan renda dan payet mengkilap di setiap sudutnya.


“Jangan menatapku seperti itu!” Katanya, manyun begitu melihatmu terpaku padanya. “Aku tidak terlihat aneh kan?”


Kau menggeleng lalu tersenyum lebar. “Manis.”


Waktu menuju hari pementasan semakin dekat. Kalian sibuk, tapi kesempatan untuk selalu bersama jadi semakin banyak. Alih-alih merasa lelah, kau justru bersyukur, setidaknya akan ada memori yang bisa kau kenang di akhir masa SMA-mu. Tentu saja, sebagian besar adalah memori bersama Ennoshita.


Tidak hanya di sekolah, kalian pun mulai pergi dan pulang dari sekolah bersama hingga kedekatan kalian ini menimbulkan gosip baru yang tersebar cepat ke seluruh penghuni kelas.


“Kalian cocok kok, kenapa harus malu-malu?”


Itu yang kau dengar ketika pentas nyaris dimulai dan kau mencoba menghindari kontak mata dengan Ennoshita karena untuk saat ini kau tidak berani memperlihatkan wajahmu yang sudah merona seperti buah persih yang ranum.


Ennoshita hanya terkekeh diplomatis menanggapi kalimat dari salah satu rekan sekelasmu itu, lalu menghilang di balik tirai setelah mengucapkan, “Aku akan berusaha sebaik mungkin.” Tentu saja, itu merujuk pada tanggung jawabnya sebagai pemeran utama.


Sesi pertama pentas cukup ramai. Promosi yang kalian lakukan sebelumnya ternyata berhasil menggaet banyak penonton yang penasaran dengan versi lain dari dongeng legendaris, Cinderella. Sesi kedua yang berakhir di sore hari pun berjalan lancar dengan hiruk penonton yang tertawa melihat bermacam dagelan yang sengaja kau masukan untuk memeriahkan cerita.


Senja datang ketika kalian selesai membereskan ruang kelas yang menjadi panggung pertunjukan. Kau tengah keluar membeli minuman untuk rekan-rekanmu saat kemudian kau melihat seseorang dengan gaun biru muda berlari diikuti oleh beberapa orang yang mengejarnya sambil berteriak.


“Ennoshita-san! Biarkan kami berfoto denganmu!” Suara bocah berkepala oranye itu cukup familier untuk kau kenali.


“Chikara! Cepat berhenti atau kau akan merasakan sepakkan rolling thunder-ku?”


Kau mengernyit dengan frasa 'rolling thunder', namun detik berikutnya kau ikut panik saat gerombolan itu mendekat dan Ennoshita menangkap lenganmu kemudian membawanya ikut lari dengannya.


“Oi Ennoshita! Membawa ikut serta pacarmu bukanlah strategi yang tepat ketika berperang!” Kali ini si botak, yang kau ingat bernama Tanaka berteriak lantang.


“Aku lebih senang menyebutnya zombie apocalypse dibanding perang!” Ennoshita menyahut. Bahkan tanpa mengoreksi kata 'pacar' yang tidak seharusnya muncul di kalimat salah satu temannya.


Ennoshita membawamu menelusuri lorong yang mebentang di lantai dua, lalu secara acak memilih salah satu kelas yang kosong untuk bersembunyi di bawah meja guru yang berada di sudut ruangan.


Napasmu terengah, detak jantungmu pun turut berpacu seolah dia akan keluar dari rongga dadamu saat ini juga. Selain karena impuls dari aktivitas fisik yang baru saja kau lakukan, kau yakin debaran itu juga disebabkan oleh tangan Ennoshita yang kini masih erat menggandeng pergelangan tanganmu.


“Ya-yang tadi itu apa?” Kau gugup, tapi masih berusaha memulai percakapan.


Ennoshita masih mengatur ritme napasnya sebelum dia menoleh ke arahmu dan menjawab, “Teman-temanku memang tidak pernah waras.”


Lalu kalian tertawa. Masih dengan tangannya yang menggandeng pergelangan tanganmu, namun sepersekian detik kemudian Ennoshita melepasnya dengan gugup.


“Ma-maaf!” Katanya spontan.


Kau diam, menundukkan wajahmu. Berniat menyembunyikan gurat merah yang tanpa disembunyikan pun sudah cukup tertutup oleh gelapnya ruang kelas.


“Otsukaresama,” katamu kemudian. Setelah seharian berusaha keras memeriahkan panggung, kau yakin hanya itu kata yang tepat untuk mengapresiasinya.


“Kau juga,” Ennoshita menyahut. “Apa aku berhasil memerankannya dengan baik?”


“Kau Cinderella paling sempurna yang pernah kulihat.”


Ennoshita terkekeh. Baginya mungkin itu terdengar seperti ejekan, tapi kau berusaha jujur karena kau tahu bahwa tidak ada orang lain yang bisa memerankan Cinderella versimu layaknya Ennoshita. Ennoshita Chikara yang selama hampir tiga tahun ini kau sukai.


“Jadi, apa kau sudah mengumpulkan konsultasi karirmu?” Dia mengganti topik.


“Akan kukumpulkan besok.”


“Sudah kau putuskan, memangnya?”


“Terima kasih padamu.”


Kalau bukan karena Ennoshita yang menyarankan drama sebagai bahan partisipasi waktu itu, mungkin sekarang kau masih gamang dengan apa yang akan kau lakukan di masa depan.


“Aku tidak melakukan apa pun ....”


“Benarkah?”


“Hm, kalau boleh jujur. Aku melihat namaku ada dalam sebuah novel di internet sih. Lalu aku berpikir mungkin aku bisa memainkan drama yang bagus seandainya ada orang di kelasku yang bisa menulis naskah sebaik orang yang menulis novel itu.”


Kau membenamkan wajahmu di atas lutut, malu layaknya seseorang yang rahasianya tengah terbongkar.


“Jadi kau ingin jadi apa?” Tanpa menunggu kau memberi klarifikasi, Ennoshita sudah mengajukan pertanyaan yang lain.


Kau masih menutup wajahmu ketika menjawab dengan, “Mungkin penulis skenario, atau novelis, atau apapun yang bisa membuatku terus menulis.”


Suara kekehan Ennoshita terdengar dekat. Kau merasakan ada tangan yang menepuk kepalamu setelah itu, dan membuatmu mengangkat wajah untuk memastikan bahwa bukan makhluk dari dunia lain yang melakukannya.


“Kalau begitu ayo kita sama-sama berusaha!” Katanya lagi. Dengan salah satu punggung tangannya yang masih berada di puncak kepalamu.


Kau mengangguk hingga beberapa puluh detik berjalan, dan keheningan menyelimuti ruang di sekitar kalian.


“Ennoshita ....”


“Ya?”


“Aku-,”


“Aku juga menyukaimu.”


“Ya?”


“Hmm?”


“Aku hanya ingin bilang kalau aku harus kembali ke kelas karena yang lain menunggu minumannya.” Kau memperlihatkan kantong plastik berisi kaleng dan botol minuman beraneka rasa.


“Hah?!” Mata mengantuk Ennoshita yang dipayungi oleh bulu mata lentik itu nampak lebih hidup dalam kegelapan.


Kau terkekeh, meskipun kemudian tanganmu secara agresif berusaha mencari jemari dan serta merta menggenggamnya.


“Bohong. Aku menyukaimu kok. Bahkan mungkin sebelum kau menyukaiku.”


Angin musim gugur berhembus dingin melalui jendela yang masih terbuka. Di luar sana nampak terang oleh api unggun yang baru dinyalakan di halaman sekolah. Sementara kalian masih diam, saling bergandengan tangan dalam sebuah ruangan di tengah kegelapan.


Tahun terakhir di SMA yang menurut testimoni adalah tahun paling menyebalkan itu menjadi tahun paling istimewa yang akan kau ingat seumur hidupmu.


Ya, kau tidak mungkin melupakan momen di mana orang yang kau suka mengatakan bahwa dia pun menyukaimu dengan kostum Cinderella dan bahkan dengan paras yang lebih cantik darimu.


___________________


Comments