Kita Shinsuke - Someone is Always Watching

Someone is always watching

(誰が見とるよ)

Kita Shinsuke x Reader



___________________


“Hasil hanyalah bonus. Yang paling penting adalah proses yang sudah kau lalui sejauh ini.” Begitu, kata pemuda yang datang ke kamarmu setiap pagi untuk sekedar membuka jendela agar udara bisa bertukar dengan baik.


Pagi ini pun sama. Kau masih berbalut selimut saat Kita Shinsuke, sepupu jauhmu melakukan ritual paginya dengan membuka semua jendela di setiap kamar, di rumahnya.


Sudah hampir tiga bulan sejak kau datang ke rumah keluarga Kita. Kehilangan orang tua bahkan sebelum kau dianggap dewasa membuatmu harus hidup menumpang pada kerabat-kerabatmu. Dan rumah ini adalah rumah keempat yang kau tempati setelah enam bulan semenjak kedua orang tuamu meninggal. Alasannya sangat sederhana, karena mereka tidak mampu mengurusmu yang mendadak menjadi seorang hikikomori sejak kehilangan kedua orang tuamu.


Kau paham bahwa kau tidak akan bisa menetap di suatu tempat kecuali orang-orang yang mau menampungmu secara cuma-cuma bersedia mengurusmu yang bahkan tidak ingin bersosialisasi dengan mereka. Kau pun tidak lantas berharap bahwa pindah ke Hyogo yang memiliki jarak lebih dari lima ratus kilometer dari Tokyo bisa merubahmu menjadi sedikit lebih terbuka dan mau berkompromi dengan mereka.


“Bagaimana dengan hari ini? Apa kau berubah pikiran untuk pergi ke sekolah bersamaku?”


Kau mendengar pertanyaan yang sama setiap pagi hingga kau berpikir kapan Shinsuke akan merasa bosan mengucapkannya dengan dialek Kansai-nya yang sangat kental.


“Tidak,” jawabmu.


Kau hampir tidak pernah menjawab setiap pemuda Kita itu bertanya. Tapi hari ini, kau pun tidak tahu apa yang membuatmu tergerak untuk mengeluarkan suara yang bahkan nyaris tidak pernah kau keluarkan selama enam bulan terakhir.


“Sou nan?” Tanggapnya.


Setelah itu kau mendengar langkahnya menjauh. Namun tak lama kemudian langkah yang mulai kau kenali itu kembali. Kali ini dia datang membawa nampan berisi sarapan. Hal rutin yang biasa dia lakukan untuknya setiap pagi. Tetapi yang kau herankan saat ini adalah, dia membawa dua porsi makanan sekaligus.


“Bangunlah, ayo sarapan bersama!” Ajaknya.


Kau cukup malas melakukan itu, tapi nyatanya kau tidak bisa menolak saat kemudian Shinsuke menarik meja lipat dari sudut ruangan dan meletakkannya di hadapanmu.


“Kenapa?”


“Hm?” Shinsuke menghentikan gerak pada sumpitnya saat mendengarmu bertanya sedemikian rupa.


“Kenapa kalian tidak segera mengirimku ke tempat lain?” Kau menyambung.


“Karena kami tidak pernah berpikir untuk melakukannya ....”


Hening.


Shinsuke melanjutkan suapannya. Aroma sup miso dan tamagoyaki yang katanya menjadi menu andalan ketika sarapan di keluarga Kita menguar, menggelitik perutmu.


“Aku hanya menyusahkan kalian 'kan? Aku tidak tahu berapa banyak yg kuasa hukum orang tuaku berikan pada keluarga ini, tapi aku yakin itu tidak banyak untuk mengurus seorang penyendiri sepertiku.”


Alih-alih menjawab, Shinsuke justru menyodorkan sumpit ke arahmu. Mengisyaratkan agar kau pun segera memakan sarapan yang sudah susah payah ia bawa. Kau pun memilih untuk menerimanya lalu berkata “itadakimasu” sebelum mulai menyumpit nasi dalam mangkuk kecil berwarna gelap.


“Aku pun tidak tahu berapa banyak uang yang keluarga kami terima untuk mengurusmu. Sedikit atau banyak, itu tidak membuat orang tuaku ragu untuk menjadikanmu bagian dari keluarga kami.” Akhirnya dia mulai bicara setelah menyelesaikan sarapannya. “Dan perlu kau ketahui, keluarga petani macam kami sekalipun tidak akan merasa kekurangan hanya karena mengurus seorang gadis yang bahkan tidak mau menghabiskan makanan yang disediakan untuknya.”


Terdengar seperti ceramah karena kau seolah tidak menghargai orang yang memasak untukmu, memang begitulah. Kau bahkan lupa bagaimana menikmati makanan dalam kesendirianmu, namun kau juga tidak ingin membuang tenaga untuk menghabiskan waktu dengan orang baru.


Shinsuke sudah menumpuk alat makannya, tetapi tidak ada tanda bahwa dia akan segera beranjak dari ruangan berukuran tiga tikar tatami yang sejak tiga bulan lalu menjadi ruang pribadimu.


“Kau tidak ke sekolah?” Tanyamu. Melihat dia sudah rapi dengan seragam lengkap sekolahnya, kau yakin pertanyaan ini hanya akan menjadi retoris belaka.


“Tidak ada latihan pagi hari ini. Aku masih punya waktu sampai kau benar-benar menghabiskan sarapanmu.” Jawabnya.


Kau ingin berkata bahwa dia tidak perlu melakukannya. Tapi berdebat dengan orang yg lebih ahli dalam melakukannya pasti sangat melelahkan. Hanya saja kau tidak tahan dengan kecanggungan yg menyelimutimu saat dia terus memaku matanya padamu yang masih berusaha menghabiskan sesuap demi sesuap dari semua makanan yang ada.


“Apakah sekolahmu menyenangkan?” Entah apa yang kau pikirkan sebelumnya sampai kau spontan menanyakan pertanyaan yang terasa cukup aneh bagi orang yang mencoba menarik diri dari pergaulan sepertinya.


“Tentu saja. Aku kapten tim bola voli yang memiliki rekan-rekan hebat. Bukankah itu menyenangkan?”


“Benarkah?”


“Kau tertarik?”


Kau tersenyum kecut mendengar pertanyaan terakhir Shinsuke, yang seolah mencoba menarikmu untuk kembali ke dunia yang selama beberapa bulan ini kau tinggalkan.


Beberapa detik terlewat. Sebelum pemuda itu kembali berkata, kau mencoba memulainya. “Menurutmu apa yang akan terjadi padaku kedepannya?”


Kau yakin bahwa semua orang yang mengenalmu, sedikit banyak mengetahui hal yang terjadi padamu selama enam bulan ini dan apa yang menjadi penyebabnya.


Kau yang terlalu ambisius, melakukan semuanya hanya untuk membuktikan bahwa harapan yang orang tuamu gantungkan padamu bisa kau jawab. Kau melakukannya hampir seumur hidupmu. Dan ketika orang tuamu tiada, kau merasa bahwa kau perlu melakukannya lagi. Karena mereka tak akan melihatmu. Mereka tak akan mengelus kepalamu saat kau berhasil meraih hasil terbaik dari jerih payahmu.


“Apa menurutmu aku terlihat menyedihkan?” Tambahmu.


“Untuk sekarang, 'ya'.” Shinsuke serta merta menjawab pertanyaanmu tanpa keraguan. “Kau berpikir bahwa yang kau lakukan selama ini tidak berguna 'kan?”


Tatapannya serasa mengintimidasi hingga kau memilih untuk menghindarinya. Tapi anehnya, kau masih bisa merasakan ada kelembutan dari setiap kata yang keluar dari bibirnya.


“Hasil hanyalah bonus. Yang paling penting adalah proses yang sudah kau lalui sejauh ini. Tidak ada yang percuma dari setiap hal yang kau lalui,” ujarnya. “Ditambah, akan selalu ada orang yang melihatmu dan apa yang kau lakukan. Jadi, lakukan hal yang menurutmu terbaik bagi dirimu sendiri.”


Shinsuke berhenti di sana ketika melihatmu tak lagi merespon. Hingga kemudian dia meninggalkanmu setelah merasa bahwa sudah waktunya dia pergi. Ke tempat yang tidak ingin kau kunjungi sampai saat ini.


Entah dengan hari esok.


“Besokー,”


Shinsuke menoleh saat kau mencoba menghentikan langkahnya dengan kalimat yang bahkan masih ragu untuk kau selesaikan.


“Ya?” Di sedikit memiringkan kepala peraknya, siap mendengarkan apa yang akan kau lontarkan selanjutnya.


“Besok, apakah kau akan kemari lagi?”


“Bukankah itu rutinitasku?”


“Dengan seragam yang kau perlihatkan beberapa waktu lalu.”


Kau melihat bagaimana ujung bibirnya tertarik mengulas sebuah senyum tipis. “Tentu,” ucapnya.

___________________


Comments