Kuroo Tetsuro - The Feeling were Left Unchanged

The Feelings were Left Unchanged


Kuroo Tetsuro x Reader


___________________


Kau tidak pernah berpikir akan bertemu dengannya, saat ini, dan di tempat ini. Saat di mana kau merasa telah membuang masa lalumu, dan tempat di mana kau menemukan kehidupan baru yang tidak akan pernah menghadirkan sosoknya lagi.


“Kau kuliah di sini?” Tanyanya, setelah kalian keluar dan kau sudah memastikan bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan gerak-gerik kalian.


“Ya.” Jawabmu pendek. Kau tidak ingin berlama-lama dekat dengannya, pun kau tidak mau ada yang menyadari bahwa kalian saling mengenal. Karena itu kau hanya menjawab semua pertanyaannya sesingkat mungkin dan bahkan tidak menanyakan hal apapun tentangnya termasuk apa kabarnya selama dua tahun belakangan ini.


“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau pindah waktu itu? Dan kenapa kau tidak membalas semua pesanku? Hampir semua orang di klub tahu kemana kau pergi, tapi tak seorang pun memberitahuku.”


Kau paling tahu jawaban dari rentetan pertanyaannya. Kau hanya ingin dia tidak lagi berada di kehidupanmu bahkan setelah kau dan keluargamu pindah ke pusat kota. Tokyo tidak terlalu sempit untuk mempertemukan dua orang yang tidak ditakdirkan bersama secara kebetulan, karena itu kau langsung mengiyakan saat dua tahun lalu orang tuamu berniat ikut membawamu pindah ke pusat kota, alih-alih meninggalkanmu tetap fokus belajar mengingat tes masuk universitas cukup dekat.


“Temanku memanggil. Aku harus pergi sekarang.” Katamu, begitu kau melihat bala bantuan yang kau harapkan datang dengan sekelompok gadis yang datang ke arah kalian. Hanya seulas senyum yang kau berikan sebagai tanda perpisahan untuknya, dengan harapan bahwa ini adalah pertemuan terakhir. 


Karena, semuanya telah berakhir. Bahkan sebelum kalian memulainya.


___________________


Dua tahun lalu adalah awal dari semuanya. Ketika kau menyadari bahwa kau menaruh perasaan padanya meskipun kau tahu dia belum mengakhiri perasaannya untuk gadis lain.


Kuroo Tetsuro. Siapa yang tidak mengenal sosoknya? Dia cukup populer untuk mendapat sapaan dari para gadis di sekolahmu meskipun tak satu pun dari mereka yang menarik perhatiannya. Semua orang menganggapnya wajar karena prioritasnya adalah klub dan bola voli yang berada di bawah kepemimpinannya. Namun, tidak semua orang tahu bahwa dia tidak tertarik dengan gadis lain karena dia sudah memiliki tambatan hatinya.


Kau tahu itu dan aku terlalu masochist untuk menerima kenyataan. Kau mendedikasikan masa SMA-mu selama hampir tiga tahun dengan menjadi manajer klub dengan harapan kau bisa mendekatinya.


Bukankah tidak ada perasan yang akan tetap sama seiring berjalannya waktu?


Kau percaya itu. Kau juga percaya bahwa kau akan bisa dekat dengannya selama dia terus berada dalam jangkauanmu. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu, karena kalian berangsur lebih dekat selah nyaris tiga tahun berlalu. Dia selalu terbuka padamu tentang apapun perasaannya, termasuk perasaannya pada gadis setahun lebih tua yang juga merupakan mantan kayak kelas kalian.


Kau tahu bahwa dia masih menyukai gadis itu hanya dengan melihat rautnya saat ia menyebut namanya. Tapi Tetsuro pernah berkata, bahwa bagaimanapun juga kisah mereka telah berakhir. Kalau ada yang belum menerima akhir itu, dia adalah Tetsuro sendiri.


“Kau tidak bisa mendekati gadis lain sebelum kau melupakannya. Atau kau akan berakhir melukainya.” Ujarmu waktu itu. Dan dia setuju dengan pendapatmu.


Meskipun banyak yang bilang bahwa satu-satunya cara mengobati patah hati adalah dengan mencari cinta yang baru. Tapi kau tidak menyukai solusi itu, karena kau yakin bahwa satu pihak pasti akan terluka karenanya. Kendati kau tahu bahwa perasaannya pada gadis itu sudah seperti kebiasaan yang mendarah daging, namun itu tak lantas membuatmu mundur dan menjauh darinya. Kau masih mengharapkan celah kecil pada hatinya di mana kau bisa menyusup dan menjadi bagian di dalamnya.


Kalian dekat. Tidak sedikit orang yang mengira kalau ada sesuatu yang sedikit kabur pada hubungan kalian. Namun kau tidak peduli karena setiap hubungan pun akan berjalan beriringan dengan waktu. Sampai akhirnya Tetsuro memintamu untuk menjadi kekasihnya di tengah musim panas. Di dalam kamarnya ketika kedua orang tuanya pergi keluar kota.


Kau ambruk di atas dipan ketika dia mendorongmu hingga dia bisa mendominasimu waktu itu. Bibir kalian bersentuhan selama beberapa puluh detik setelah itu. Ada buncah bahagia saat kau tahu bahwa dia menginginkanmu, tapi detik berikutnya kau sadar bahwa bukan bayangan dirimu yang dalam netranya yang dalam.


“Dinginkan kepalamu! Bukan aku yang kau inginkan.” Ucapmu, berusaha untuk tetap tenang, meskipun kau ingin sekali berteriak dan menangis sekencang mungkin saat itu.


Kalian saling diam semenjak kejadian yang cukup membuatmu ingin menghindarinya. Semua orang berpikir kalian bertengkar karena suatu masalah. Yaku, yang biasa ribut dengannya pun turut prihatin dan beberapa kali mempertemukan kalian dengan harapan adanya rekonsiliasi secepat mungkin.


“Kau menyukainya sejak lama. Kenapa tidak kau terima saja?” Tanya salah satu temanmu yang kau percaya untuk mendengar setiap keluh kesahmu.


Dengan cukup percaya diri kau menjawab, “Aku tidak ingin menjadi pengganti orang lain.”


Kau tidak ingin Tetsuro mengharapkan satu sisi darimu yang dia anggap mirip dengan gadis yang disukainya, karena itu kau menolaknya. Kau berpikir akan lebih baik dia kembali pada gadis itu daripada mencari sisi yang sama dalam gadis lain, termasuk dirimu sendiri.


Tapi itu hanyalah harapanmu yang kemudian hancur berkeping setelah kau tahu bahwa seminggu setelah dia memintamu menjadi pacarnya, muncul kabar bahwa dia memacari adik kelas yang bahkan tidak pernah dia pedulikan sebelumnya. Kau sangat marah saat salah satu temanmu menyebar fotonya bersama gadis baru itu ke sebuah grup obrolan di mana kau ada di dalamnya. Mereka terlihat keluar dari sebuah hotel, yang hingga saat ini pun kau tidak ingin percaya bahwa seorang Kuroo Tetsuro bisa melakukannya.


Hatimu remuk berkeping-keping, kecewa. Karena itu, saat ayahmu menanyakan apakah kau bersedia ikut pindah ke tempatnya dimutasi kau langsung bersedia tanpa memikirkan apakah hal itu berpengaruh pada status akademikmu yang akhir-akhir menurun karena sesuatu yang konyol.


Cinta itu memang konyol. Sayangnya, tak sedikit orang yang terjebak olehnya. 


Tidak satupun orang yang tahu tentang kepindahanmu hingga hari terakhirmu di sekolah. Kau hanya berpamitan pada pelatih dan Yaku setelah tiga hari sebelumnya mengurus surat pengunduran diri secara diam-diam. Kau merindukannya, tapi murkamu padanya lebih dari itu sehingga kau tak ingin berpapasan dengannya.


Sialnya, sesuatu tak selalu mulus seperti yang kau inginkan. Kau bertemu dengannya di depan loker, tepat saat kau selesai menyimpan uwabaki-mu dan bersiap pulang.


"Aku ingin bicara," katanya.


Kau muak, namun kau tidak ingin memperjelas apa yang tengah kau rasakan di depannya.


"Aku terburu-buru. Selamat tinggal!" Katamu sembari menarik pegangan payung dari tempatnya.


Rintik hujan datang sejak lonceng usai pelajaran berbunyi. Kau yakin tidak lama lagi curahnya akan menjadi-jadi, ditambah kau tidak ingin berlama-lama berduaan dengan seseorang yang menjadi sumber sakit hatimu saat ini, karena itu kau memutuskan untuk segera berlalu.


Sekali lagi, sesuatu tak selalu berjalan mulus seperti yang kau inginkan. Jantungmu berdegup saat kau merasa seseorang meraih pergelangan tanganmu, yang tidak lain tidak bukan adalah Tetsuro. Dia memaksamu berbalik menatap manik tajamnya.


"Selamat tinggal?"


Kau selalu ingat, setiap kalian berpisah maka kau akan mengucapkan "sampai jumpa". Selamat tinggal adalah frasa melankolis yang hanya kau katakan saat kau tidak akan lagi bertemu dengan lawan bicaramu.


"Selamat tinggal." Ucapan terakhir, sebelum kau menghapus bayangan Tetsuro dan kisah cinta pertamamu yang kandas bahkan sebelum kau memulainya. 


___________________


Rasanya cukup naif saat kau mengira bahwa pertemuan di circle antar fakultas akan menjadi pertemuan terakhir kalian, karena pada akhirnya banyak kegiatan yang membuatmu terus berpapasan dengannya.


Kau masih teguh untuk pura-pura tidak mengenal dekat Tetsuro sebelumnya meskipun beberapa dari rekanmu mulai mempertanyakan apakah kalian pernah saling mengenal sebelumnya. Dia hanya bilang bahwa kau adalah kawan seangkatannya di SMA, tidak lebih. Mungkin dia cukup paham bahwa kau tidak ingin membawa hubungan di masa lalu kalian yang begitu rumit ini diketahui oleh pihak baru.


Meskipun cukup kesulitan, kau tetap berusaha tak terlibat terlalu dekat dengannya di setiap kegiatan. Tetapi berbeda denganmu, Tetsuro terus mencari kesempatan untuk bisa bicara denganmu hingga kau benar-benar merasa mustahil untuk menghindarinya.


"Apa maumu?" Tanyamu kesal, saat mengetahui bahwa dia terus mengikutimu padahal yang ingin kau tuju tidak lain adalah toilet wanita yang berada cukup jauh dari tenda terbuka di mana sebagian peserta kegiatan berkumpul.


"Aku masih mencari kesempatan untuk bisa bicara denganmu."


"Aku tidak yakin apakah kita masih punya masalah untuk dibahas."


"Aku butuh penjelasanmu."


"Hah?" Matamu memicing tidak percaya. Kau tidak merasa kalau kau berhutang penjelasan padanya.


"Kenapa kau pergi dariku?"


Ah ….


Seandainya kau masih naif seperti dulu, mungkin kau akan menjawab dengan jujur bahwa kau pergi karena kau tidak ingin lagi tersakiti. Tapi menjadi sedikit lebih dewasa memaksamu untuk lebih pandai menahan emosi dan perasaanmu sendiri. 


"Ayahku harus pindah ke pusat kota. Aku meninggalkan semuanya, termasuk siapa yang ada di Nekoma. Bisakah kau tidak terlalu subyektif dan menganggapku hanya meninggalkanmu? Orang-orang akan salah paham kalau mendengarnya.


"Kau pikir aku tidak tahu kalau kau sedang berbohong?"


"Kebohonganku bukan sesuatu yang akan merugikanmu." Tukasmu. "Sudah cukup? Aku ingin ke kamar kecil."


Menghindarinya membuatmu mengeluarkan tenaga ekstra, termasuk membohongi sekelilingmu. Kau sama sekali tidak menyukai itu, tapi kau lebih tidak ingin untuk terus terperangkap oleh masa lalu yang ingin kau lupakan.


"Aku menyukaimu!" Tetsuro mempertinggi desibel suaranya, hingga memaksamu berhenti dan kembali melempar fokusmu padanya. "Bahkan tanpa kuketahui sejak kapan. Saat kau menghilang, aku sadar bahwa ada bagian dariku yang berkurang," sambungnya.


Rasa kehilangan memang datang saat kau merasa memiliki sesuatu, lalu dia pergi begitu saja tanpa kau tahu bisa menemukannya lagi di mana.


Seharusnya itu tidak terjadi pada Tetsuro. Karena bukan kau yang dia inginkan.


"Apa yang kau harapkan dengan mengatakan itu padaku sekarang?"


"Aku ingin kau tahu."


"Lalu? Apa kau juga ingin tahu perasaanku waktu itu?" 


Kau menatapnya lurus, seakan kau ingin menembus manik dan isi hatinya. Mencari validasi akan kebenaran dari semua yang dia katakan, meskipun dia tetap akan meragukannya.


"Musim panas dua tahun lalu, orang yang kusukai menciumku dan memintaku menjadi pacarnya. Aku menolaknya karena aku tahu bahwa dia masih menyukai gadis lain yang bahkan tak sedikit pun menghilang dari benaknya. Aku berpikir untuk menunggu sampai dia benar-benar bisa beralih, dan datang padaku kembali agar kami sama-sama tidak tersakiti. Tapi seminggu kemudian dia bergandengan dengan gadis lain  yang bahkan tidak pernah aku ketahui apakah kau benar-benar mengenalnya. Di saat aku ingin melupakannya, dia datang lagi dan membawa mimpi burukku kembali."


Kau tidak bisa melihatnya, tapi kau bisa merasakan bahwa tetesan air mata sudah mengalir membentuk dua parit kecil di kedua belah pipimu. 


"Maaf…." Tetsuro berkata lirih.


Satu kata yang tidak ingin kau dengar dari bibirnya, karena itu hanya membuatmu merasa lebih menyedihkan.


"Kau tidak perlu minta maaf karena awal dari semuanya adalah salahku. Tidak seharusnya aku menyukaimu…."


"Aku tidak menganggap perasaanmu padaku adalah hal yang salah. Karena aku pun merasakan hal yang sama, meskipun aku terlambat menyadarinya. Kau tidak perlu memaafkanku karena aku pun tidak yakin apakah aku pantas dimaafkan. Tapi yang harus kau tahu adalah, aku tidak sedang berbohong hanya untuk membuatmu berpaling padaku lagi."


Percakapan yang harusnya tak berlangsung lama berakhir begitu melankolis hingga kau tidak lagi bisa menahan kesedihanmu yang kau pendam cukup lama.


"Aku mencintaimu. Dulu, pun sekarang."


___________________


Isi kepalamu keruh. Kau tak lagi bisa berkonsentrasi pada satu hal karena kau terus terpikir oleh perkataannya. Tentang dia yang menyukaimu, dulu dan bahkan sekarang. Semua terlalu mendadak untukmu yang ingin melupakannya. Tapi, kau sendiri tidak bisa berkilah kalau ada rasa lega yang aneh saat kau tahu bahwa cintamu tidak bertepuk sebelah tangan. Namun bukan berarti kau bisa menerimanya begitu saja karena satu alasan.


Kau tidak ingin kembali mengalami hal yang bisa menyakiti hatimu. Karena itu pulalah kau berusaha untuk tidak dekat dengan lawan jenis meskipun tidak jarang ada yang tertarik padamu.


Tidak ada perasaan yang tak lekang oleh waktu. Namun kau terus bertanya kenapa sangat sulit menghapus jejaknya dalam hatimu.


Matamu menerawang angkasa yang beberapa tingkat lebih gelap tertutup awan mendung, tak lebih cerah dari hatimu yang kini dirundung kegalauan. Sebentar lagi hujan, kau hafal akan hal ini dan kau lupa membawa payung lipatmu.


Sekitar sudah sepi mengingat ini sudah hampir pukul sembilan di mana kegiatan dalam gedung kampus sangat dibatasi  di malam hari.


Kau bangkit dari bangku dan mulai menyusuri jalan berlapis blok paving warna-warni yang sama sekali tak membuat hatimu tertarik. Berjalan di atasnya selama hampir dua tahun tentu membuatmu tak lagi mengagumi betapa artistiknya jalan itu.


Di langkah kelima, rintik hujan mulai terlihat. Titik-titik di permukaan jalan membuatmu mengingat masa dua tahun lalu, saat kau mengucapkan selamat tinggal pada Tetsuro seolah kalian tidak bertemu lagi. 


Bukan. Lebih tepatnya, kau tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi takdir berkata lain.


"Berjalan di tengah hujan malam-malam begini, kau gila ya?"


Kau cukup terkejut mendengar seseorang berkata demikian sambil menutupi kepalamu dengan jaketnya. Dalam waktu singkat kalian berlindung di bawah benda yang sama.


"Apartemenku dekat. Kau tidak perlu melakukan ini," katamu, berusaha menolak. Meskipun kau melakukannya untuk menutupi kenyataan bahwa jantungmu tengah bekerja maksimal sekarang.


"Bukankah justru lebih bagus kalau tempatmu dekat?"


Dirimu saat mengucapkan perpisahan dua tahun lalu pasti tidak pernah membayangkan bahwa dua tahun kemudian kalian akan berlari bersama berlindung di bawah hujan. Sesuatu yang menurut orang-orang sangatlah romantis.


"Terima kasih. Aku bisa memberimu handuk dan secangkir teh kalau kau mau." Kau berkata setelah kalian tiba di depan pintu apartemenmu.


"Tidak perlu."


"Ah, begitu…."


"Aku tidak ingin mengulangi kesalahanku dulu."


Dulu?


Ah, sewaktu dia menciummu.


"Kalau begitu, selamat malam." Katamu kemudian. 


"Selamat ma-,"


Dia nampak terkejut saat tiba-tiba kau datang padanya, lalu mengecup bibirnya dalam waktu singkat. 


"Aku cukup plin-plan. Aku tidak yakin kau tahan dengan hal ini," tambahmu, sebelum kau menghampiri pintu dan memutar kenopnya. Saat itu kau merasa pergelangan tanganmu yang bebas terasa digenggam.


"Boleh aku memastikan satu hal?"


"Ya?"


Detik berikutnya, dia sudah meraihmu dalam pelukannya dengan bibir kalian yang saling mengunci.


Tidak ada perasaan yang tak lekang oleh waktu, tapi kalian percaya bahwa perasaan pun bisa berevolusi dengan menyisakan yang pernah ada.


___________________


Comments