Miya Atsumu - Emotion

Emotion



Miya Atsumu x Reader

___________________


Emosi.


Hal esensial yang dimiliki oleh manusia di mana ia bisa mengekspresikan banyak hal lewatnya.


Esensial, namun tak semua orang mengerti seperti apa konsep emosi hanya berbekal apa yang telah dilalui dalam hidup mereka selama ini. Pun denganmu yang memilih untuk menyimpan emosimu dalam-dalam dan tak mencoba untuk berkutat dengannya.


Kau yang dibesarkan oleh orang tua tunggal, belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu bahkan sejak kau dilahirkan. Ayahmu memilih untuk tak menikah lagi karena rasa cinta pada ibumu yang tak terganti. Pun sayang, dia terus larut dalam kesedihannya tanpa memberikan apa yang seharusnya kau terima sebagai darah dagingnya. Kasih sayang.


Hingga saat ini, kau lebih sering menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang kau inginkan karena kau tahu bukan kau yang ayahmu prioritaskan. Kau berpikir untuk tetap seperti itu sampai kau bisa menghidupi dirimu sendiri. Kau menyimpan seluruh emosimu karena kau tahu memperlihatkannya pada orang lain sama halnya dengan membawa dirimu sendiri pada kekalahan. Dan kau tidak ingin kalah, persetan dengan penilaian mayoritas orang terhadapmu yang menganggap bahwa kau tidak lebih dari robot yang tak memiliki perasaan.


Kendati demikian, tak sesekali terbersit dalam lubuk hatimu bahwa kau pun ingin tahu bagaimana bisa mengekspresikan sebuah emosi. Kau juga ingin tahu bagaimana rasanya bisa berinteraksi dengan orang lain dengan bertukar perasaan yang sama. Karena itu pula, kau mengiyakan saat seseorang dari klub bola voli yang berada di kelasmu datang padamu. Memintamu untuk menjadi manajer klub.


Entah apa alasan yang membuatnya memilihmu dari sekian banyak gadis yang ingin berada di sana. Yang jelas kau berterima kasih karena setidaknya sekarang kau memiliki lingkungan baru yang sedikit lebih menerimamu apa adanya.


Ya, meskipun sesekali mereka akan mengeluhkan betapa susahnya berinteraksi denganmu.


“Kami sedang bercanda, kau seharusnya tertawa.” Kata Ginjima Hitoshi, beda kelas namun seangkatan denganmu.


“Bukankah hari ini menyenangkan? Kau harus lebih banyak tersenyum.” Ujar Kita Shinsuke, senior dan kapten tim bola voli putra saat ini.


“Makanannya tidak enak? Mukamu terlihat serius sekali.” Miya Osamu, satu kelas denganmu dan merupakan orang yang melakukan scout agar kau masuk klub bola voli.


“Aku sedang mengambil video, bisakah kau berekspresi sedikit saja? Marah pun tidak apa, kau bisa tarik rambut Atsumu kalau mau.” Suna Rintaro, seangkatan dan kelasnya berada tepat di sebelah kelasmu.


Hampir semua anggota tim bola voli selalu memintamu lebih ekspresif. Tapi tak satu pun dari mereka yang menganggap kekuranganmu ini sebagai masalah besar yang bisa membuatmu dikucilkan, seperti apa yang dilakukan sebagian besar orang terhadapmu sampai saat ini. Mereka, orang-orang yang tak segan bilang bahwa kau terlihat menyeramkan karena mereka tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan. Namun kau tak lagi memikirkan hal itu semenjak kau menemukan 'rumah' baru, klub bola voli.


Kau menyukai seluruh anggota tim bola voli tanpa kecuali. Meskipun 'tanpa kecuali'mu ini cukup rumit mengingat ada satu orang di klub yang cukup sulit untuk kau ajak berinteraksi karena perbedaan kalian yang cukup mencolok. Miya Atsumu.


Berbeda dari saudara kembarnya, Miya Osamu yang lebih minim ekspresi, Atsumu adalah tipikal orang yang sering dianggap mengganggu melihat betapa mudah suasana hatinya berubah. Bila dibandingkan denganmu, sosok Atsumu ibarat langit sementara kau adalah buminya.


Kau berusaha untuk meminimalisasi interaksi dengannya karena secara hasil, kalian tidak akan berada pernah dalam kondisi yang baik. Tentu saja karena dia yang terlalu ribut, dan kau yang terlalu diam. Tak jarang dia memprotes, kenapa kau hidup seapatis ini.


“Kalau bisa aku juga ingin bisa sepertimu,” katamu datar ketika ketika dia mendapat jatah piket untuk menjemur seragam di halaman belakang sekolah sementara yang lain masih berada di dalam gedung olahraga untuk menuntaskan latihan pagi mereka.


Sejak kalian keluar membawa cucian ke luar tadi, dia berusaha mengucapkan banyak guyonan yang menurutnya lucu, tapi kau tidak tahu sebelah mana yang bisa dikatakan lucu. Kau bukan Aran, anggota klub bola voli tingkat tiga yang bahkan berusaha bereaksi saat kakak dari pasangan anak kembar ini berulah.


Atsumu terlalu menyilaukan bagimu yang lebih banyak berkubang dalam kegelapan. Meskipun tak terlalu mahir di bidang akademik, Atsumu memiliki kemampuan yang handal dalam olahraga. Dia bahkan diundang ke dalam training gabungan yang dilakukan secara nasional. Banyak yang bilang bahwa masa depannya cerah sebagai pevoli profesional. Bagi pecinta voli sepertinya, tentu itu adalah masa depan yang diimpikannya.


Silau. Terlalu silau.  Namun, dia adalah orang yang secara ajaib lebih banyak menghabiskan banyak waktu di klub bersamamu meskipun sebagian besar waktunya dia gunakan untuk mencecar dan memprotes dirimu yang terlalu apatis.


Keberadaan Atsumu yang banyak tertawa, marah, merajuk, dan bahkan menangis adalah hal yang lazim dan terlalu wajar. Kadang dia menyapamu di pagi hari dengan senyum lebar, lalu hari berikutnya dia akan menyapamu dengan gerutu panjang, merapal nama saudara kembarnya yang semalaman membuat ia kesal. Kau terbiasa dengan hal itu.


Yang tidak biasa adalah ketika suatu hari dia datang, melewatimu begitu saja padahal kalian bertemu pandang selama beberapa detik sebelum dia berlalu. Konon, dia marah karena kau tak bercerita padanya bahwa hari sebelumnya ada anak laki-laki di kelasmu yang memintamu datang ke atap sekolah untuk memintamu menjadi pacarnya. Kau tak memiliki perasaan khusus padanya karena kalian tak pernah berinteraksi, tapi kau menerima perasaannya itu dengan berharap bahwa kau akan tahu bagaimana menjadi gadis SMA normal yang memiliki pacar.


Sayangnya harapanmu itu tidak terkabul karena kawan sekelasmu itu hanya mempermainkanmu. Osamu yang bilang padamu secara langsung kalau itu adalah taruhan kecil yang dilakukan oleh sekelompok anak laki-laki di kelas untuk menghilangkan rasa bosan. Kau tidak heran. Tapi kau nyaris merutuki dirimu sendiri karena sempat berpikir bahwa kau bisa berubah.


“Aku hanya ingin terlihat normal. Dan itu tidak ada hubungannya denganmu, bukan?” Ucapmu ketika Atsumu membawa permasalahan itu dalam obrolan kalian setelah hampir sebulan dia menghindari interaksi denganmu.


“Gadis normal tidak menerima pernyataan cinta secara acak,” cetusnya.


“Lalu menurutmu siapa yang tidak secara acak akan memilih orang sepertiku untuk dijadikan pacar?” Kau menegaskan kata 'orang sepertiku' dengan sengaja agar Atsumu tahu, bahwa gadis-gadis yang ia sebut normal itu jauh berbeda denganmu.


Atsumu nampak ragu, terlihat dengan jeda cukup panjang yang dia berikan sebelum dia kembali berkata, “A-aku mungkin akan melakukannya!”


Dahimu mengernyit, mencoba mengurai kalimatnya agar lebih mudah dicerna oleh otakmu.


Atsumu dan kau, berpacaran? Bukan ide yang bagus.


Meskipun begitu, kau tidak pernah menolak saat dia berusaha mendekat dengan mulai mengajakmu pulang bersama, memintamu untuk menemaninya berbelanja, dan bahkan dia dengan jelas mengajakmu kencan. Hal-hal baru yang belum pernah kau lakukan.


Seluruh anggota tim bola voli mengira kalian benar-benar pacaran meskipun kau masih ragu untuk memvalidasi bahwa hubungan kalian memang demikian. Atsumu tidak pernah secara langsung bilang bahwa dia menyukaimu, kau pun tidak memiliki inisiatif untuk menanyakannya.


Kau pikir hubungan menggantung ini tak akan bertahan lama mengingat banyak gadis yang menginginkan Atsumu untuk menjadi pacar mereka. Namun nyatanya, ini berlangsung bahkan hingga kalian menginjak tahun ketiga SMA.


Menjadi kapten yang baru kerap kali membuatnya sibuk dengan berbagai hal, tapi dia tidak melewatkan paling tidak satu atau dua hari dalam seminggu untuk pulang bersamamu. Begitu pula hari ini, hari terakhir sebelum akhir pekan, ketika kalian terjebak di halte bus dekat konbini karena hujan.


Atsumu membeli sebuah bakpau daging dan sekaleng kokoa hangat sebelum kalian datang untuk berteduh tadi. Kau tahu uang saku anak SMA memang tak seberapa ditambah dia sibuk dengan ekstrakulikuler hingga tak memiliki kerja sampingan seperti beberapa orang di kelasmu. Tapi itu tak membuat Atsumu enggan memberikan setengah dari bakpau yang dia beli serta beberapa sisip kokoa hangatnya, meskipun sebelumnya ia terus mengeluh betapa laparnya dia.


“Akan kupastikan aku yang membayar jajanmu lain hari,” katamu saat dia terus memaksa agar kau menerima setengah bakpaunya itu.


“Aku tidak masalah dengan ini,” sahutnya cepat.


“Kalau begitu ....”


“Hm?”


“Perlukah aku membuatkanmu bekal setiap hari?”


Kau melihat mulut Atsumu menganga setelah mendengar pertanyaanmu, yang kemudian membuatmu sadar kalau yang kau katakan itu cukup agresif.


“Ma-maksudku, kau tidak perlu mengiyakan kalau kau tidak mau!” Ucapmu salah tingkah.


“Ya, aku mau! Tapi kau akan kesulitan kalau membuatkanku setiap hari, jadi lakukan seluangmu saja.”


Melihatnya yang mengatakan itu dengan wajah cukup serius membuatmu tanpa sadar menarik kedua sudut bibir, membentuk sebuah busur yang kelak kau ketahui bahwa itu senyum pertama yang kau perlihatkan padanya.


“Kau baru saja tersenyum?”


“Eh? Benarkah?”


“Kau baru saja melakukannya!”


Kau ingin bertanya apakah itu aneh, tapi segera mengurungkannya saat hujan turun semakin deras, membawa suara bising yang menutup aksesmu pada suara-suara lain. Kau bahkan tidak mendengar saat Atsumu memanggil namamu berulang kali, dan berakhir dia menumpuk telapak tangannya pada tanganmu yang berada di atas bangku.


Saat kau menoleh, wajahnya sudah dekat. Cukup dekat hingga kau bisa merasakan deru napasnya menyapu kulit wajahmu.


Di sanalah ciuman pertama kalian. Di tengah suara hujan, dan kabut yang membungkus ruang.


Kau pernah mendengar bahwa rasa ciuman itu sangat manis dan memabukkan. Tapi yang kau ingat dari ciuman pertamamu dengan Atsumu hanyalah bawang dengan sedikit aroma kokoa yang cukup kental. Hanya saja, kau tak merasakan emosi lain yang memenuhi rongga dadamu kecuali kebahagiaan yang bahkan belum pernah kau rasakan.


___________________


Comments