Miya Atsumu - Misunderstanding
Misunderstanding
誤解
Miya Atsumu x Reader
___________________
Riuh tepuk tangan dan sorak sorai penonton masih membubung di seluruh penjuru gimnasium. Kau berusaha berdiri untuk bergabung dengan tepuk yang sedikit dibumbui sesal itu, dengan kedua netramu yang menukik ke barisan para pemuda berseragam hitam kelam yang kini nampak membungkuk di hadapan para pendukungnya.
Tahun ini pun hanya sampai di sini. Padahal mereka berlatih dan berjuang setiap hari demi turnamen nasional yang hasilnya kini mengecewakan. Kau tahu mereka mengerahkan segalanya untuk ini. Dan kau mungkin paham bagaimana perasaan mereka sekarang, karena kau pun mengalami kegagalan yang sama.
“Berisik kau, Atsumu!” Salah seorang pendukung berteriak. “Pertandingan yang bagus harus selalu mendapatkan tepuk tangan!”
Entah apa yang terjadi di bawah sana sebelum teriakan itu sampai padamu. Hanya saja, kau bisa melihat rasa kecewa mendalam yang semakin jelas mengambang pada raut para pemain bola voli putra dari sekolahmu, Inarizaki yang harus kalah oleh tim dari sekolah lain yang bahkan belum pernah kau dengar seluk-beluknya selama beberapa tahun belakangan ini.
Penonton mulai bertolak dari kursinya setelah para pemain keluar dari arena. Kau pun melakukan hal yang sama. Namun alih-alih mengikuti rekan-rekanmu yang lain, kau justru mengambil jalan lain menuju ruang ganti para pemain.
Tidak banyak yang kau temui di ruangan itu, kecuali Kita Shinsuke, kapten tim yang kini tengah membereskan bawang bawaannya. Dia hanya tersenyum tipis saat melihatmu datang, seolah mengetahui apa tujuanmu datang kemari.
“Tahun ini hanya sampai di sini,” katanya.
Bukan kau yang melalui semua itu, tapi kau pun merasa sesak mendengarnya. Membayangkan jerih payah mereka selama setahun belakangan yang tak berbuah sesuai keinginan mereka.
“Otsukaresama …,” katamu. “Kami semua bangga memiliki kalian.”
Klub bola voli putra Inarizaki memang menjadi salah satu kebanggaan kota, bahkan prefektur Hyogo sendiri. Masuk ke dalam turnamen nasional dan mendapat julukan sebagai penantang terkuat adalah prestise tersendiri bagi mereka. Hanya saja kesempatan sedang tidak berpihak pada mereka sekarang.
Kau meninggalkan ruang ganti setelah menyelesaikan basa-basimu dengan sang kapten. Bus yang kau tumpangi dari Hyogo berada tak jauh dari gedung utama yang digunakan untuk bertanding, dan kau berniat menyusul rekan-rekanmu yang lain untuk bergabung kemudian pulang setelah turut andil dalam menelan pil pahit bernama kekalahan.
Sampai kemudian, kau menemukan pemuda berkepala puding yang kini tengah menyiram kepalanya di bawah keran air di bagian luar gedung.
Miya Atsumu. Pemain yang menjadi fokus utama pertandingan hari ini.
Kau masih bisa melihat rasa kesal yang tidak bisa diungkapkan pada rautnya yang kini menunduk, disiram oleh dinginnya air musim semi.
“Otsukaresama!” Katamu, meskipun itu jelas tidak akan membuatnya lebih baik.
Pemuda Miya itu menoleh, mematikan keran, lalu menghadap ke arahmu sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
“Senpai? Kupikir kau tidak datang.” Ucapnya.
“Mana mungkin! Aku kan ingin melihat momen kalian di kompetisi nasional. Karena kami, tim putri tidak bisa melakukannya.”
Atsumu menghela napas panjang. “Meskipun hasilnya tidak menyenangkan?”
“Pohon tidak selalu menghasilkan buah yang manis tidak peduli seberapa besar usahamu untuk merawatnya, bukan?”
Kau berusaha agar terdengar filosofis, tapi tentu saja itu tak lantas membuatnya tersenyum dan setuju dengan pendapatmu.
“Kalian hebat. Dan aku merasa kalian tidak layak merasakan perasaan macam ini. Tapi dalam suatu pertandingan, bukankah akan selalu ada yang kalah? Sayang sekali kita berada dalam pihak itu.”
“Sayang sekali …,” gumamnya, mengulang kata-katamu. “Seandainya aku tidak seceroboh itu.”
Miya Atsumu, yang digadang-gadang akan menjadi salah satu setter terbaik di seluruh Jepang terlihat menciut saat dia berada dalam keputusasaan. Kau tidak suka itu. Karena itu pula tanganmu secara reflek menepuk punggung lebarnya keras-keras.
“Apa yg kau pikirkan? Kau masih punya tahun depan 'kan?!”
Atsumu yang masih belum menyahut itu terlihat meringis kesakitan karena tepukan yang kau berikan dengan kekuatan ekstra. Lalu beberapa detik kemudian kau mengingat sesuatu.
Kau merogoh isi tas kecil yang menggantung pada salah satu bahumu lalu mengeluarkan benda kecil berwarna hitam dengan ornamen berwarna emas di beberapa sisinya.
“Seharusnya aku berikan sebelum kalian bertanding sih, tapi aku terlambat melakukannya. Jadi jadikan ini reservasiku untuk kompetisi tahun depan.” Katamu, menyisipkan benda itu ke dalam genggaman tangan Atsumu. “Aku tidak tahu siapa yang akan mengemban tugas kapten saat itu, tapi menanglah untukku juga!”
Tanpa menunggu bagaimana tanggapannya, kau beranjak memutar tumit lalu berlari menuju bus yang kini sudah hampir penuh oleh para suporter.
___________________
Sekitar dua bulan berlalu setelah kekalahan yang masih menyisakan kekecewaan itu. Kau masih tetap melihat kegigihan para anggota tim bola voli, yang tentu saja minus anggota dari kelas tiga karena tuntutan akademis sebelum mereka lulus. Termasuk kau, yang sudah mengundurkan diri sejak kompetisi Interhigh pertengahan tahun lalu berakhir. Kau sibuk menyiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi hingga hanya waktu-waktu tertentu saja kau bertolak ke gedung olahraga sekolah untuk sekedar menyapa para juniormu.
Tapi hari ini kau datang setelah sekian lama berkutat dengan bertumpuk-tumpuk buku pelajaran. Rasa jengah berada di tengah materi tiada akhir, dan kerinduanmu pada bola memantapkan dirimu untuk kembali menapaki lantai kayu beraroma nostalgia itu. Sayangnya, kau tidak menemukan sekelompok gadis yang biasanya akan menyambutmu dengan wajah ceria saat kau datang.
Rupa-rupanya jam latihan yang digilir secara berganti setiap bulan membuatmu melewatkan jadwal latihan tim putri. Kau hanya menemukan sekelompok laki-laki di yang tengah memungut bola yang berserakan kemana-mana. Di tengah kelompok itu kau melihat kepala perak mantan kapten, Kita Shinsuke yang masih mengurus klub meskipun dia sudah tidak bermain lagi untuk tim.
“Sibuk?” Tanyamu.
Kedatanganmu mengundang keributan yang bahkan kau herankan.
“Ah. Hanya latihan tambahan untuk persiapan Interhigh,” si kepala perak menjawab sementara di sekitarnya masih ada yang berkasak-kusuk. Membuatku bertanya-tanya.
“Ada masalah?”
“Menurutmu?” Shinsuke kemudian melayangkan fokusnya pada sosok berkepala puding yang kini berada di balik keranjang penyimpanan bola. Entah apa yang dia lakukan, tapi kalau kau boleh berasumsi, dia berada di posisi antara ingin bersembunyi atau tidak.
“Kenapa dia?”
“Kenapa kau tidak tanya sendiri?” Shinsuke menganjurkan dengan senyum tipis yang terlihat seperti ejekan di matamu.
Kau mengernyit, sebelum meraih bola lalu menghampiri keranjang. “Apa yang kau lakukan, bodoh?” Tanyamu sambil melemparkan bola itu tepat di ubun-ubun sang setter, Miya Atsumu.
Pemuda berkepala pudding itu mengaduh sebelum berdiri menatapmu dengan bibir manyun. “Senpai, bisa tidak sih kau berhenti melakukan kekerasan padaku?”
“Bukankah kau sudah menganggap bola sebagai pacarmu? Menyenangkan bukan bisa terus bersentuhan dengannya?”
Kau bisa mendengar suara tawa yang lain, meskipun kau tidak yakin apa yang sedang mereka tertawakan.
“Lagi pula, kau menganggapku seperti setan atau apa sampai bersembunyi seperti itu?”
“Abaikan dia, Senpai! Dia hanya grogi melihatmu.” Yang menyahut kali ini adalah pemuda dengan wajah sama dengan si kepala puding. Saudara kembarnya, Miya Osamu.
“Hah?”
Kau belum mendapat jawaban akan pertanyaanmu saat tiba-tiba Atsumu berdiri memotong. “Aku lupa ada urusan hari ini. Aku duluan!” Lalu dia melesat pergi setelah menyambar tasnya secepat angin purba.
Yang lain mengutuk kepergian Atsumu lantaran hari ini adalah jadwal piketnya untuk membersihkan ruang klub. Sementara dirimu hanya menganga, mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.
___________________
Kelakuan aneh Atsumu tidak berhenti sampai pertemuan kalian di gedung olahraga. Kau beberapa kali mendapatinya yang berusaha kabur saat berpapasan denganmu.
Kau tidak merasa melakukan hal aneh yang membuatnya tidak enak berhadapan denganmu. Karena itu kau merasa kesal.
Hari ini pun sama. Kau menahan rasa kesalmu itu karena kau tidak tahu kapan kau akan bertemu dengan adik kelas yang membuatmu jadi bahan pembicaraan tanpa tahu kesalahan apa yang kau lakukan hingga Miya Atsumu, orang yang biasanya akan menempel kesana kemari karena sifat supelnya yang berlebihan itu tiba-tiba menghindarimu.
Kau mencoba mengusir rasa penasaran yang dibalut oleh emosi itu dengan membuka kumpulan soal simulasi ujian. Sayangnya, kau bahkan tidak bisa memusatkan konsentrasimu. Sampai kemudian semua pecah saat salah satu temanmu datang dengan peluh memenuhi dahinya.
“A-apa? Apa yang terjadi?” Kau panik melihat napasnya terpenggal-penggal.
“Kk-kau, harus lihat ini!”
Dia memperlihatkan layar ponselnya yang cukup besar. Memperlihatkan foto halaman sekolah dan gedung 3F yang membentang di seberangnya.
Kau membelalak saat kau melihat namamu ditulis dengan huruf super besar, di atas spanduk kain yang kini menjuntai dari atas gedung.
Senpai, menikahlah denganku! Begitu kalimat yang tertulis di bawah namamu, masih dengan huruf dan ukuran yang besar.
“Siapa orang gila yang melakukan ini?” Kau sudah melontarkan pertanyaan yang menggambarkan kondisi emosimu sekarang. Namun kau segera tahu jawabannya begitu melihat sosok kepala puding yang berdiri di atas atap sambil melambai, berharap seseorang memperhatikan keberadaannya.
___________________
Apa yang ada di dalam otak si bodoh itu?
Setelah sengaja menghindarimu selama beberapa waktu, apa yang membuatnya tiba-tiba mengutarakan perasaannya dengan cara tidak wajar?
Orang bodoh memang tidak bisa ditebak.
Kau terus merutuk sambil berjalan terburu, mengabaikan padangan puluhan pasang mata yang sepertinya tahu arah yang kau tuju.
Tidak sedikitnya orang yang berkumpul di halaman utama membuatmu menciut. Kau cukup malu untuk berjalan ke barisan paling depan untuk menghentikan perbuatan bodoh Atsumu yang kini justru senang mendapat perhatian dari berbagai penjuru.
Rasanya kau ingin pulang saja.
Di tengah keputusasaan, kau mendapati Osamu tengah berdiri di samping gedung sambil menikmati ulah bodoh saudara kembarnya. Kau sengaja menutup sebagian wajahmu dengan tangan agar Atsumu tidak menyadari kedatanganmu, dan memilih untuk menghampiri saudara kembarnya yang kau anggap lebih waras.
“Osamu!” Kau memanggilnya.
Pemuda berambut abu-abu itu menoleh, mengalihkan fokusnya dari atas sana hanya untuk memastikan bahwa kau memanggilnya.
“Ah, Senpai?”
“Jelaskan apa yang sedang terjadi! Ada apa dengan si bodoh itu?”
Kedua alis tebal Osamu nyaris bertaut, tidak mengerti. Atau lebih sederhananya, sepertinya dia juga tidak begitu tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Kupikir kau tahu apa penyebab dia berlaku setolol itu,” ujarnya.
“Aku? Kenapa aku?”
Setelah itu Osamu menceritakan bagaimana keadaan kakak kembarnya itu setelah pertandingan di Tokyo pada turnamen musim semi lalu. Atsumu jadi lebih sering menanyakan pendapatnya tentangmu, yang kau sendiri tidak tahu atas dasar apa.
“Dia bilang kau memberinya omamori sebelum kembali ke Hyogo.”
Ya, itu benar. Tapi orang bodoh mana yang tiba-tiba melamar seseorang hanya karena memberinya omamori?
“Dan, omamori untuk en-musubi.”
Hah?!
Kau mengernyit, mencoba mencerna apa yang Osamu katakan sebelumnya.
En-musubi?
Sontak kau membelalak begitu kau mengingat sesuatu. Dengan terburu kau merogoh saku seragam untuk mengambil ponselmu di dalam sana.
“Sial.” Ucapmu saat kau memeriksa gantungan dari kain hitam berhias ornamen emas di beberapa sisinya. Bagian tengah pada benda itu terdapat tulisan yang bisa kau baca dengan jelas.
Hissho kigan.
Seminggu sebelum kau bertolak ke Tokyo untuk mendukung tim bola voli putra sekolahmu, kau sempat berkunjung ke kuil Izumo bersama orang tuamu. Sebagai kenang-kenangan, sekaligus untuk mencapai resolusimu untuk memiliki pacar, kau membeli en-musubi omamori beserta omamori untuk kau berikan pada kapten tim waktu itu, Kita Shinsuke.
Buruknya, kau memberikan benda yang salah pada Atsumu, orang yang kau anggap akan menggantikan posisi Shinsuke suatu saat nanti. Dan sekilas kau kembali mengingat saat pemuda puding itu tampak memerah saat menerimanya. Kau pikir itu hanya perasaanmu karena dia cukup kelelahan waktu itu.
“Osamu, apakah dia berpikir bahwa aku mengajaknya menikah? Apa yang harus kulakukan sekarang?” Kau meminta pendapat adik kelasmu itu. Namun yang kau terima hanya gelengan prihatin beserta tepukan pelan pada bahumu. Dia yang paling tahu bahwa tidak mudah berurusan dengan kebodohan Atsumu. Tapi kau harus menghentikannya.
Kau berlari menuju lapangan dan berteriak sekuat tenaga.
“MIYA ATSUMU! TURUNKAN BENDA ITU SEKARANG ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU?!”
___________________
Note:
*En-musubi: satu jenis omamori yang diperuntukan agar lancar jodoh.
*Hissho kigan: salah satu frasa yang lumayan umum tertulis dalam omamori. Artinya, absolute victory.
Comments
Post a Comment