Miya Atsumu - Switch Over

Switch Over

切り替え

Miya Atsumu x Reader x Kita Shinsuke



A continuation of Misunderstanding

________________


Lonceng penanda kelas telah usai baru berbunyi beberapa menit lalu, namun rentang waktu yang terlewat sejak saat itu cukup membuat seisi sekolah kosong. Kau hanya berpapasan dengan beberapa anggota ekstrakulikuler lain yang masih bertahan dengan kegiatan mereka setelah keluar dari ruang guru tadi.


Hari ini sangat ribut. Padahal kau tak merasa berbuat sesuatu yang berakibat fatal pada masa depanmu kelak. Tapi wali kelasmu memberimu lektur panjang lebar tentang dunia dan isinya.


“Kalau kau masih punya waktu untuk berpacaran, kenapa kau tidak serius memikirkan masa depanmu? Kau bahkan belum mengisi lembar konsultasi karirmu!” Kalau boleh tidak sopan, kalimatnya itu lebih mirip hardikan dibanding nasihat yang diberikan seorang wali kelas terhadap muridnya. Menjadi bujang di umur empat puluhan mungkin jadi pelatuk baginya untuk membenci murid yang terlibat masalah percintaan. Meskipun dalam kasusmu, itu hanyalah salah paham.


Kau menghela napas sambil terus melangkah menyusuri lorong menuju gimnasium, tempat di mana kau akan melampiaskan kekesalanmu kali ini.


Konsultasi karir, katanya?


Siapa orang waras yang akan mengonsultasikan sisa hidupnya pada seseorang yang bahkan dianggap tidak kompeten menjadi seorang pengajar?


Rasa kesal terus membumbung di atas ubun-ubunmu hingga kau nyaris tidak sadar kalau kau telah memasuki gedung olahraga, di mana anggota klub bola voli putra sudah mulai melakukan latihan mereka.


Kecuali si kepala puding yang kini bersimpuh di atas lantai kayu bersama pemuda berkepala perak yang kemudian sadar akan kedatanganmu.


“Ah, kau sudah kembali.” Katanya.


“Sebenarnya aku ingin langsung pulang sih,” ujarmu membalas sapaan Shinsuke, sebelum kau beralih pada si kepala puding yang sepertinya tengah menghindari kontak mata denganmu. “Atsumu, ada yang ingin kau katakan padaku? Kecuali mengajakku menikah dengan spanduk tentunya.”


Kalimat terakhirmu mengundang kekehan kecil dari beberapa orang yang berada di sana, termasuk belah pinang dari si puding, Osamu.


Kau tidak tahu apa yang sebelumnya Shinsuke lakukan hingga Miya Atsumu, pemilik kepala puding itu bersimpuh di depannya.


“Aku minta maaf ...,” gestur tidak menjengkelkan terlihat saat dia berucap sambil memanyunkan bibirnya.


Kau ingin memprotes caranya minta maaf, tapi kau sendiri sadar kalau semuanya berawal dari salah paham yang kau timbulkan karena salah memberikan sesuatu padanya. Namun kau terlalu gengsi untuk minta maaf pada sosok yang seharian ini membuatmu kesal sekaligus malu.


“Sudahlah,” tukasmu. “Ini omamori-mu, sekarang kemarikan punyaku.”


Masih dengan bibir mengerucut, Atsumu merogoh kantung jaketnya lalu mengeluarkan benda kecil berwarna hitam dari sana. Dia nampak ragu saat hendak mengulurkan benda itu padamu, tapi itu tak lama sampai kau melotot ke arahnya.


“Aku juga akan pulang setelah ini. Mau pulang bersama?”


Kau berpikir sejenak. Meskipun beberapa detik kemudian kau mengangguk, mengiyakan ajak sang mantan kapten, Kita Shinsuke.


Orang yang seharusnya menjadi targetmu.


________________


Tidak ada orang yang tahu bahwa kau menyukai pemuda Kita yang memiliki umur sama denganmu ini.


Baik hati, pintar, dan rajin adalah kualifikasi utama Kita Shinsuke, yang membuatnya digilai nyaris sebagian besar murid perempuan di sekolahmu, SMA Inarizaki. Siapa yang tak ingin memiliki pasangan sesantun dan sebaik Shinsuke? Kau pun tak terkecuali. Ditambah, sama-sama mengemban posisi kapten di waktu yang sama membuatmu berkesempatan untuk lebih banyak bicara dengan. Tak jarang, kalian juga pulang bersama seperti saat ini. Meskipun kalian bukan lagi bagian dari Tim Bola Voli Putra, atau Tim Bola Voli Putri.


“Bagaimana dengan konsultasi karirmu?” Tanyanya dalam perjalanan pulang.


Ketika matahari mulai menyingsing, di tengah jalan dengan sawah bertumbuh tanaman padi yang mulai menghijau di akhir musim semi. Harusnya saat ini menjadi momen yang cukup romantis, andai Shinsuke tidak tiba-tiba membawa topik tentang konsultasi karir. Topik yang membuatmu tertekan nyaris beberapa bulan belakangan ini.


“Aku belum mengisinya,” jawabmu.


“Kau ingin tetap tinggal di Hyogo?” Shinsuke kembali bertanya.


Pertanyaannya kali ini membuatmu mengambil jeda untuk berpikir, apakah kau sudah mulai membulatkan keputusanmu. “Aku ingin pindah ke kota besar. Kalau kau sendiri, bagaimana?”


“Aku akan tetap di sini.”


Menurut yang kau dengar dari beberapa rekannya di klub bola voli, Shinsuke tidak memiliki rencana untuk melanjutkan sekolah pun menjadi pevoli profesional. Baginya voli hanyalah salah satu hal yang ia suka, namun bukan hal yang harus ia tekuni. Hampir sama sepertimu. Hanya saja dia tidak memiliki determinasi kuat untuk meninggalkan Hyogo dan memulai hidup baru di tempat lain karena ia lebih memilih untuk menjadi petani, seperti yang selama ini dilakukan oleh keluarganya.


“Sayang sekali...,” ucapmu. Seolah jawabannya itu adalah sebuah penolakan terhadap perasaanmu padanya, yang bahkan belum sempat kau utarakan.


“Benar, sayang sekali...,” tanggap Shinsuke yang kemudian membuatmu menoleh.


“Hah? Apanya?”


Shinsuke tertawa pendek, lalu melanjutkan. “Dengan begitu kita akan jarang bertemu, bukan?”


Kau tidak membalasnya dan hanya tersenyum tipis, mencoba kembali menyembunyikan perasaanmu ke dasar hatimu yang paling dalam. Tidak akan berhasil, kalau pun kau memaksakannya. Karena hal paling esensial dalam suatu hubungan adalah waktu. Orang bisa saling menyukai seiring waktu yang mereka habiskan berdua, pun bisa kehilangan perasaan mereka ketika tak ada waktu lagi untuk sekedar saling mengungkapkan perasaan.


“―yang tadi itu benar-benar menggelikan.”


Kau hampir tenggelam dengan pikiranmu sendiri kalau saja Shinsuke tidak membahas kejadian tadi siang.


“Ah, Atsumu?” Kau memutar bola matamu kesal. “Aku tahu dia tolol dan impulsif, tapi melamar dengan spanduk? Kenapa tidak dengan baliho sekalian?”


“Maksudmu kalau dia melamarmu dengan baliho kau akan menerimanya?”


“Hah?”


“Aku bercanda,” Shinsuke kembali tertawa renyah.


Entah berapa waktu yang tersisa untukmu bisa berjalan berdampingan dengannya sambil membicarakan hal-hal tak penting seperti ini.


“Tapi, kurasa dia benar-benar menyukaimu.”


________________


Kalau orang yang mengatakannya, kau mungkin akan ragu. Tapi ketika hal itu dikatakan oleh Kita Shinsuke, maka hal apapun tidak akan pernah lepas dari benakmu.


Atsumu menyukaimu?


Hal yang kau pikir tidak akan pernah terjadi setelah kalian mengenal selama hampir dua tahun. Kau yang kadang kasar padanya sering kali ia sebut sebagai gorila betina. Sering kali membuatmu kesal, tapi begitulah Miya Atsumu. Dia mengatakan semua hal yang dia inginkan sesuka hati sampai kadang ingin melemparnya dari atap sekolah, kalau kau bisa dan kalau itu tidak terhitung sebagai tindak kriminal.


Setelah perkataan Shinsuke itu, kau mulai berpikir bahwa yang telah kau lakukan pada Atsumu bisa dibilang buruk.


Sejak awal kau yang salah memberi omamori, meskipun orang waras pasti berpikir seribu kali untuk menyimpulkan bahwa memberi omamori “percintaan” berarti orang tersebut tengah mengajakmu menikah.


Kau merasa tidak nyaman dengan perasaanmu sejak saat itu. Bukan perihal cinta sepihakmu pada Shinsuke, melainkan perasaanmu pada Atsumu yang mana kau mulai mempertanyakannya.


Meskipun mulutnya pedas, Atsumu adalah orang yang bisa diandalkan. Buktinya dengan karakternya yang blak-blakan itu, dia terpilih menjadi kapten tim setelah Shinsuke mundur. Dan kendati dia cukup populer dan terkesan mata keranjang, dia tidak pernah terlibat memiliki hubungan secara romantis dengan seorang gadis. Kau tahu salah satu alasannya adalah karena dia lebih memprioritaskan voli.


Dia pemuda yang baik, walaupun lebih sering membuatmu kesal. Lalu saat ini pun, kau masih kesal karena hal-hal tentangnya masih terus mengambang dalam pikiran dan membuyarkan seluruh konsentrasimu dalam menelan pelajaran.


Kau memilih menutup buku, lalu beranjak keluar rumah begitu kau ingat tidak ada kudapan yang bisa kau kunyah di rumah. Konbini terdekat ada sekitar lima puluh meter dari rumahmu, tapi kau memilih konbini lain dengan jarak yang lebih jauh.


Kau butuh udara segar. Tapi yang kau kau temukan setelah itu tak lain adalah sosok berkepala puding yang tengah bersandar pada dinding pagar konbini sambil menggigit bakpau daging yang masih berasap.


“Atsumu ...,” kau tidak berniat memanggil tapi bibirmu spontan menyebut namanya.


Senpai? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?”


“Kau sendiri kenapa baru pulang hampir tengah malam begini?”


“Aku baru selesai piket.”


Terdengar ajaib saat dia bilang bahwa dia pulang malam karena piket. Padahal sebelumnya ia selalu melarikan diri dengan banyak alasan agar tidak melakukannya. Sepertinya waktu menjadikannya lebih dewasa.


Kau masuk ke dalam konbini setelah menyuruhnya cepat pulang dan beristirahat. Tidak ada lagi yang perlu kau bicarakan dengannya meskipun beberapa hari ini pikiranmu dipenuhi olehnya. Dan keluar membeli kudapan kali ini adalah salah satu caramu untuk mendistraksi agar pikiranmu tak lagi terfokus padanya.


Sayang, itu pun tak berhasil.


Kau masih menemukan Atsumu masih berdiri di tempat yang sama saat kau keluar.


“Kenapa masih di sini?” Tanyamu.


“Sudah malam. Biar kuantar.”


Kau ingin bilang tidak perlu, tapi dia segera mendorongmu untuk mulai berjalan.


________________


Jalanan cukup sunyi hingga yang terdengar hanya langkah kaki kalian berdua. Cukup canggung rasanya berjalan dengan seseorang yang sampai beberapa jam lalu mengganggu pikiranmu hingga kau butuh udara segar untuk melupakannya, namun sialnya kau justru harus berakhir bersamanya sekarang.


Senpai, kau mau masuk universitas mana?” Tanyanya, memecah keheningan.


“Aku masih memilih sesuai kemampuan otakku. Yang jelas aku ingin kuliah di kota besar.”


“Sayang sekali.”


“Apanya?”


“Kau tidak akan sering bertemu dengan Kita-san, setelah ini.”


”ーeh?”


Kau bingung mengartikan ucapannya. Apakah dia hanya asal bicara, atau dia memang tahu bahwa kau menaruh perasaan pada Shinsuke.


“Ke-kenapa nama Shinsuke yang keluar?” Rasanya cukup gugup ketika rahasiamu diketahui oleh orang lain.


“Bukankah kau menyukainya?”


Deg!


Kau menoleh serius ke arah Atsumu tanpa sadar bahwa langkahmu terhenti oleh kalimat terakhirnya itu.


“Aku tidak akan bilang padanya kok, kalau kau tidak mau,” lanjutnya kemudian.


Bagaimanapun juga kau tetap terkejut bahwa Atsumu menyadari perasaanmu pada Shinsuke. Selama ini kau berpikir bahwa intuisi si puding ini lebih tumpul dari yang lain sehingga hal trivial seperti perasaanmu pada Shinsuke bukanlah hal yang akan disadarinya.


“Bagaimana kau tahu itu?” Tanyamu, saat kau memilih untuk melanjutkan perjalanan.


“Tentu saja aku tahu. Aku selalu memperhatikanmu.”


Entah apa yang kau pikirkan. Tapi kau merasa pipimu memanas setelah kau mendengar kalimat terakhir Atsumu.


“Begitu kah?” Tukasmu, berusaha menutupi rasa malumu yang mungkin sudah tertutup oleh gelapnya malam.


“Tapi, bukankah hubungan jarak jauh itu cukup sulit untuk dilakukan?”


“Ha?”


“Ini hanya skenario kalau kalian benar-benar pacaran nantinya....”


“Mana mungkin!”


“Apanya yang mana mungkin?”


“Aku sudah ditolak.... Ya, meskipun tidak secara langsung sih.”


Hening. Kau tidak tahu lagi harus mencari topik apa untuk memecah kecanggunggan yang kembali menyelimuti kalian berdua.


“Senpai, yappari ore to tsukiaehen?” [1]


Kau tidak menyangka kalau kalimat itu akan kau dengar darinya  di malam ketika kau ingin menghempaskan seluruh pikiranmu tentang Atsumu. Tapi, jauh di dasar hatimu sana, kau mungkin berharap bahwa suatu saat nanti kau akan mendengar itu darinya.


“Aku akan jadi pevoli profesional setelah lulus SMA. Aku akan tinggal di kota besar. Kau bisa menjawab pertanyaanku ini kapan pun kau mau jadi...,” kalimat Atsumu terputus ketika sepertinya dia merasa bahwa ia tak cukup bisa merangkai kata untuk meyakinkanmu.


“Ee yo!” [2] Jawabmu yang singkat membuatnya membelalak tidak percaya.


”ーkalau kau tidak merasa bahwa aku cepat berpindah haluan.”


Atsumu tidak mengatakan apapun untuk membalasnya. Tapi kau bisa merasakan bahwa kini tangan besarnya tengah berusaha menggandengmu, dan mulai menyisipkan jari-jarinya pada jarimu dengan pelan, namun pasti.


________________


Note:


1. Senpai, bagaimana kalau kau pacaran denganku saja?

2. Boleh.


Comments