Miya Osamu - Accomplice

Accomplice

共犯者



Miya Osamu x Reader

___________________


Pertemuan pertamamu dengan Miya Osamu adalah ujung hari di mana petang mulai menjelang. Dia menemukanmu yang tengah tertidur di sebuah ruangan paling ujung di perpustakaan, mengingatkan bahwa kau akan terjebak di ruangan itu hingga pagi hari kalau tidak segera bangun dan pulang.


Menjadi satu kelas dengan saudara kembarnya —meskipun kalian tidak pernah bertegur sapa— membuatmu mengira bahwa dia adalah Miya Atsumu, yang kau kenal selalu berisik tanpa peduli berapa banyak orang yang terganggu dengan kelakuannya.


“Ah, Miya-kun ....” Kau mengerjap saat orang yang kau pikir adalah rekan sekelasmu itu menepuk bahumu, memintamu untuk bangun. Dan saat penglihatanmu mulai jelas, kau mengernyit melihat warna rambut yang tak kau yakini sebagai Miya Atsumu yang biasanya.


“Kau mengenalku?”


“Miya Atsumu, bukan? Aku teman sekelasmu, kalau kau lupa.” Jawabmu. Meskipun kau sedikit kesal, mengira bahwa seseorang tengah melupakan keberadaanmu dalam kelas.


“Ahー,” dia mengangguk, paham. “Ngomong-ngomong aku bukan Atsumu.”


Menurut kabar yang beredar, Miya Atsumu memiliki saudara kembar yang juga berada ke sekolah yang sama dengan sekolah yang kau masuki. Namun kau tidak akan pernah menyangka kalau kalian akan bertemu dengan cara seperti ini.


“Jadi dia benar-benar kembar ya ....” Kau menggumam, tidak cukup lirih untuk tidak terdengar oleh pemuda yang kini duduk di sebuah kursi di depanmu.


Tadinya kau berpikir bahwa kau hanya perlu berterima kasih lalu bersiap untuk pulang, meskipun kau sama sekali tak ingin pulang saat ini. Tapi belah pinang Miya Atsumu itu justru membuatmu tak bisa segera berlalu dari tempat itu.


“Jadi kau mengenal saudara kembarku? Apa kalian cukup akrab?”


Akrab? Dia bercanda? Atsumu bahkan tidak akan pernah masuk ke dalam lingkaran pertemananmu, kalaupun kau tipe orang yang senang berteman.


“Hanya teman sekelas.”


“Heeh ….”


“Ngomong-ngomong, terima kasih sudah membangunkanku.” Katamu kemudian, berharap dia segera menyudahi obrolan yang tidak penting ini.


“Aku Osamu. Miya Osamu.”


“Y-ya?”


“Aku hanya tidak ingin kau salah menyebutku dengan nama saudara kembarku.”


Kau bahkan sedang tidak berada dalam mood untuk berkenalan dengan orang baru. Tapi tidak menjawabnya juga akan membuatmu terlihat tidak sopan, mengingat dia pula yang datang untuk membangunkanmu sebelum kau terkunci dalam perpustakaan sampai pagi nanti.


___________________


Itu bukan obrolan terakhirmu dengan Miya Osamu, karena setelah hari itu dia jadi lebih sering datang ke ruangan tersembunyi di perpustakaan untuk sekedar menyapamu setiap latihannya di klub bola voli usai.


Tidak senang?


Pasti.


Kau bukan tipe orang yang senang berbincang dengan orang yang baru saja kau kenal kecuali untuk hal yang cukup urgen. Tapi Osamu mendobrak prinsipmu itu bahkan semenjak dia datang padamu dan mengenalkan diri.


“Sudah sore, kau masih belum pulang?”


“Sebentar lagi.”


“Kemarin pun kau bilang begitu, dan kau baru pulang setelah petugas hampir mengunci ruang perpustakaan.”


Berawal dari obrolan tidak penting itu, kau mulai bertukar cerita dengannya. Tentang apa yang selalu dia lakukan selain bermain voli dan tentang mengapa kau lebih suka berada di ruang kecil di ujung perpustakaan dibanding mengikuti pelajaran layaknya yang lain.


Ya, kau jarang mengikuti kelas dan tak ada yang peduli soal itu karena kemampuan akademismu tidak menurun. Tidak ada yang tahu bahwa kau selalu bersembunyi di tempat ini alih-alih berada di ruang kesehatan dengan alasan sakit. Sampai kemudian datang Osamu yang mulai mengganggu ketenanganmu.


Tak jarang dia datang di tengah jam pelajaran dengan dalih bahwa dia juga tengah bosan dengan wali kelasnya.


Saat itu kau mulai jujur dan terbuka tentang dirimu sendiri dan apa yang terjadi padamu hingga kau yang dikenal sangat ambisius perihal akademik ini memilih untuk memberontak.


Orang tuamu bertengkar hebat beberapa bulan belakangan. Kau pikir itu tidak akan lama mengingat bukan sesekali cekcok ringan terjadi karena masalah kecil. Biasanya pertengkaran akan mereda setelah beberapa waktu berlalu. Namun itu tidak terjadi dengan pertengkaran terakhir yang mereka lakukan. Pertengkaran yang kemudian membuatmu tak nyaman berada di sekitar mereka, pun berada di dalam rumah yang kalian tinggali itu sendiri.


Kau yang dekat dengan keduanya hanya ingin mereka tetap bersama, seperti yang telah kalian jalani selama ini. Tapi api pertengkaran mereka seolah semakin berkobar hari demi hari.


Keberadaan Osamu yang awalnya cukup mengganggu waktu sendirimu, kini berangsur berganti menjadi sosok baru yang bisa meminjamkan telinganya untuk mendengar segala keluh kesahmu.


Meskipun kau tidak pernah berharap bahwa dia akan memberikanmu solusi yang masuk akal.


“Bagaimana kalau kau kabur selama beberapa hari?” Usulnya tiba-tiba.


Hari ini pun dia datang setelah latihannya selesai. Tapi kau tidak menyangka dia akan memberikan ide absurd yang tidak mungkin kau lakukan karena kau tidak terbiasa bepergian, pun kau tidak memiliki teman yang cukup akrab untuk ditumpangi.


“Ini minggu terakhir sebelum liburan musim panas dimulai. Bukankah ideku ini bagus?” Dia menyeringai jumawa, seolah idenya itu masuk akal.


“Kau bercanda,” dengusmu dengan raut kesal. “Kau mau bertanggung jawab kalau aku tidak bisa pulang?”


“Mana mungkin!” Pungkasnya. “Mungkin sih kalau kau sendirian, tapi kau lupa kalau ada aku?”


“Ha?”


Kau mendapati Osamu menaikan kedua alis tebalnya ketika kau menoleh, seolah meyakinkanmu untuk mempertimbangkan usulnya itu. Dan kau berakhir menyetujuinya.


Awal liburan musim panas. Ketika hampir seluruh anak SMA menggunakan waktu ini untuk mulai bersenang-senang, namun kau menggunakan hari pertamamu untuk mengemasi banyak barang. Osamu menjemputmu di tengah hari, ketika kedua orang tuamu tengah berada di luar dengan kepentingan mereka.


Dia membawamu ke hutan kecil dekat kuil yang katanya berada tak jauh dari rumah keluarganya. Kau cukup was-was bahwa Osamu mungkin akan melakukan hal tak senonoh padamu, tapi pikiran itu segera berlalu begitu kau melihat sebuah rumah pohon di tengah hutan yang lantas menarik perhatianmu.


“Bagaimana kau tahu ada tempat seperti ini?” Kau antusias. Tumbuh bersama berpuluh jilid buku petualangan membuatmu cukup bersemangat melihat hal-hal baru yang jarang kau temukan di sekitarmu.


“Aku dan Tsumu selalu menghabiskan waktu di sini,” jawabnya. “Tenang, dia tidak akan ke sini untuk sementara.”


“Kenapa?”


“Sibuk berkencan dengan pacarnya.”


Kau membulatkan bibirmu, seolah mengerti apa yang cukup lazim dilakukan oleh Miya Atsumu, saudara kembarnya di liburan musim panas ini.


Semua berjalan cukup mulus. Kau mematikan gawai setelah kau cukup yakin bahwa orang tuamu menemukan secarik surat yang kau tinggalkan untuk mereka. Yang secara garis besar berisikan keinginanmu agar mereka kembali akur dan menjalani hari-hari dengan damai.


Osamu yang mendukung semua rencana ini bahkan membawakanmu banyak barang, bahkan selimut dan bantal agar kau merasa nyaman tidur di tempat asing hanya berbekal pencahayaan lilin yang tak cukup terang.


“Sampai kapan kau akan terus membaca buku?” Protes salah satu pemuda Miya itu saat kau masih mengumpulkan fokusmu pada lembar demi lembar halaman buku yang sedang menarik minatmu.


Kadang kau akan terlena dengan kegiatan membacamu saat kau menemukan buku yang benar-benar menarik. Tidak peduli bahwa kau akan memerlukan kacamata baca ketika matamu mulai lelah. Seperti saat ini.


“Sedikit lagi!” Katamu, yang tetap tak berpaling dari buku di tanganmu.


Entah apa yang ada dalam pikiran Osamu saat dia mendekat lalu memaksamu menatapnya.


“Kenapa?” Kesalmu.


Namun alih-alih mendapatkan jawaban darinya, dia justru melepas kacamata bacamu lalu mendekatkan wajahnya perlahan. Mencium bibirmu.


Satu, dua, tiga..., kau lupa menghitung berapa detik terlewat saat bibir kalian saling bersentuhan. Yang jelas kau merasa berdebar ketika hal itu terjadi, dan bahkan setelah Osamu melepaskan bibirnya darimu.


“Bagaimana kalau kita kawin lari?”


Kau sempat ingin menanyakan apa maksudnya, sebelum suara lain di luar sana datang mengagetkan. “Hah?!”


Miya Atsumu, kini berdiri di salah satu anak tangga dan tengah menyingkap tirai yang menutup pintu masuk rumah pohon di mana kau dan Osamu berada sekarang.


___________________


Pelarian yang kau pikir sukses ternyata gagal dalam sekejap mata. Atsumu datang mencari saudara kembarnya setelah mendengar bahwa sepasang suami istri mendatangi keluarga Miya, menanyakan apakah salah satu putra mereka membawa pergi anak gadisnya. Konon ada tetangga yang melihat kau dan Osamu pergi bersama, lalu melaporkannya pada orang tuamu saat mereka gaduh mengetahui kau kabur.


Malam itu kau kembali setelah minta maaf kepada Osamu, dan anggota keluarga Miya yang lain. Kau tidak mengatakan hal apapun pada orang tuamu bahkan meskipun mereka mencoba mengajakmu berkomunikasi.


Sampai esok harinya, mereka membawa berita yang membuatmu menghambur keluar rumah selepas kau mendengarnya.


Mereka memutuskan untuk bercerai. Keputusan yang bahkan tak ingin kau dengar seumur hidupmu. Bagimu, mereka yang memutuskan untuk berpisah sangatlah egois seolah tak memikirkan perasaanmu.


Kau berlari, dan terus berlari. Sampai kau merasa kau menemukan rumah yang semalam kau datangi untuk meminta maaf.


Kau melihat Atsumu tengah sibuk menyiram tanaman pada pot-pot kecil di depan rumah. Namun kau belum melihat sosok belah pinang yang tiba-tiba kau rindukan padahal baru semalam kalian terakhir bertemu.


Sembari menahan tangis yang nyaris meledak, kau berdiam diri dengan berjongkok di belakang tiang listrik. Berharap sosok yang kau harapkan muncul hingga kau bisa mengatakan apa yang ingin kau katakan padanya.


“Apa yang kau lakukan di sini?”


Kemudian, suara familier itu datang mengagetkanmu. Meskipun ia membawa rasa tenang secara bersamaan setelah mengetahui pemiliknya adalah orang yang sama dengan orang yang kau harap untuk datang.


Kau bangkit, memeluknya erat hingga kantung plastik yang semula dia bawa terjatuh ke atas aspal, menghamburkan isinya ke segala arah.


Tangismu pecah. Yang kau rapal di tengah tangismu hanyalah namanya. Berharap dia memberikan ketenangan yang kau inginkan setelah hari terburuk dalam hidupmu.


___________________


“Berpisah bukan berarti mereka tidak saling mencintai, bukan?”


Kau diam saat ibu si kembar Miya mulai berkata sambil menggosok piring makan lalu memberikannya padamu untuk dibilas.


“Mereka saling menghargai keputusan satu sama lain, karena itu mereka memilih untuk berpisah.”


Kau sempat berpikir bahwa kedua orang tuamu egois, dan tidak mau mengerti keinginanmu untuk memiliki keluarga yang utuh. Tapi hari ini kau sadar bahwa mereka telah menahan ego mereka sendiri nyaris selama mereka membesarkanmu.


“Ada hal yang tidak bisa dipaksakan. Bukankah mereka cukup berusaha untukmu selama ini?”


Benar. Mungkin kini saatnya kau untuk berkorban.


Kau beranjak ke kamar tamu yang dipinjamkan khusus untukmu hari ini. Padahal kau bukan siapa-siapa, tapi kau sudah merepotkan keluarga ini dengan masalah pribadimu.


“Bukan siapa-siapa ya ...,” gumammu lirih.


Osamu yang datang tak lama setelah kau masuk kini duduk di sebelahmu.


“Osamu ....”


“Ya?”


“Hubungan kita ini sebenarnya seperti apa?”


“Menurutmu?”


“Jangan biarkan aku memutuskannya sendiri!”


“Aku mungkin sudah menikahimu kalau aku telah memiliki semua yang kuimpikan.”


“Hah?”


“Apa itu 'hah'?”


“Maksudmu kau tidak mau menikahiku kalau kau belum memiliki semua yang kau inginkan?”


“Bukan begitu!”


“Lalu?”


Osamu memberi jeda sejenak, sebelum dia menatapmu dengan lebih intens. Kau diam saat dia mendekat, lalu seperti yang kau duga, dia kembali menempelkan bibirnya padamu. “Untuk sementara, jadilah pacarku.” Bisiknya setelah itu.


Kau menunduk tersipu.


Malam itu berakhir dengan obrolan kalian tentang apa yang terjadi sebelum kalian bertemu. Tentang kau yang sekali dua kali berpikir bahwa perceraian kedua orang tuamu adalah hal yang cepat atau lambat akan terjadi. Dan tentang bagaimana selama beberapa bulan terakhir, Osamu yang terus memperhatikanmu dari balik jendela ruang perpustakaan yang terlihat dari luar gedung olahraga, lalu jatuh cinta.


Terdengar klise dan sesuatu yang hanya kau temukan dalam shoujo manga. Tapi kau menyukainya. Kau menyukai bagaimana kini ia mencoba mengisi segala kekosongan setelah kenyataan buruk tentang orang tuamu.


Saat tangannya terus menggenggammu sepanjang malam, kau merasa bahwa kau tidak akan berakhir sendiri esok hari. Saat kau mungkin memutuskan untuk memulai hidup sendiri. Dan sebelum memulai hidup barumu dengan seorang Miya Osamu.


___________________


Comments