Miya Osamu - Dream Shoes

Dream Shoes



Miya Osamu x Reader





Kau membanting tubuh ke atas ranjang empuk berbalut sprei putih yang baru saja dipasang pagi tadi. Fokusmu terarah pada atap sementara pikiranmu kembali melanglang buana.


"Apakah kau yakin kalau dia serius menjalin hubungan denganmu?" 


Pertanyaan yang dilontarkan oleh ibumu lewat sambungan telepon beberapa hari lalu itu terus menggema dan serasa masih baru, memenuhi pikiranmu.


Di usiamu yang telah mencapai kepala tiga ini, bukan hal yang aneh kalau kedua orang tuamu mulai rewel. Dan sama seperti wanita seusiamu yang belum menikah, kau pun serasa diburu oleh kewajiban untuk menjadi sosok konseptual dari wanita seutuhnya seperti yang diidamkan oleh mayoritas orang. 


Menikah dan punya anak.


Terserah apakah kau akan terus bekerja atau tidak, namun yang jelas wanita sepertimu tidak akan terlihat sempurna apabila belum menjadi seorang istri, dan ibu. 


Kadang kau berpikir, dunia itu sering tidak adil pada. Namun kau cukup beruntung berhubungan dengan pria yang setidaknya selalu mendukung apa yang selalu ingin kau lakukan.


Kalian saling mengenal selama kurang lebih tiga belas tahun, dan menjalin hubungan sebagai pasangan selama sepuluh tahun. Menghargai satu sama lain merupakan pondasi yang membuat hubungan kalian cukup awet hingga saat ini, namun kau mulai ragu apakah hubungan ini akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius.


Tentu saja pikiran itu muncul bukan hanya pengaruh dari ibumu yang kerap kali bertanya, apakah Osamu, pria yang kau cintai itu sudah memberi kode tentang kelanjutan hubungan kalian yang tidak lain tidak bukan adalah pembicaraan tentang pernikahan. Kau selalu mengalihkan pertanyaan ibumu itu dengan pembahasan lain, seperti kesibukanmu dan juga Osamu yang membuat kalian jarang bisa berbincang panjang lebar mengenai sesuatu yang serius.


Kemudian saat kau ingat-ingat lagi, kalian bahkan tidak pernah menyinggung soal pernikahan di setiap kesempatan yang ada. Kalau pun pernah, mungkin hanya sekali. Ya, hanya sekali.


Waktu itu. Ketika kau tak sengaja melempar fokusmu ke etalase toko sepatu, di tengah kencan kalian yang teramat jarang.


"Cantik ya," Ucapnya saat itu. "Kau suka yang seperti ini?"


Kau menatap sepasang stiletto berwarna putih dengan taburan swarovski di beberapa bagian, yang terpanjang anggun berbingkai kotak kaca dengan ornamen yang tak kalah indah. Kau tidak terlalu sering memakai sepatu jenis ini, namun kilaunya kali ini membuatmu cukup lama terpaku menatap benda itu. 


Bebatuan berbentuk pita manis yang terpasang pada punggungnya membuat berhak sepatu langsing itu terlihat elegan dibanding sepatu lain yang berjajar di sampingnya. Kau yakin tak satu pun wanita yang melewati toko ini yang pandangnya tak terpaut olehnya.


“Sepertinya sepatu ini bukan sepatu yang cocok dipakai setiap hari.”


“Hmm, lebih cocok jika digunakan bersama gaun pengantin.” Sahutnya.


Nuansanya memang lebih cocok untuk sesuatu yang sakral. Tapi kau tidak menyangka hal berbau pernikahan akan keluar secara spontan dari bibir Osamu. Atau mungkin dia hanya mengatakan sesuatu yang kebetulan terlintas di kepalanya saja?


“Aku harap sepatu ini masih ada saat aku memutuskan untuk menikah,” ucapku.


“Aku”, bukan “kita” karena kau tidak ingin membebaninya sebuah kalimat tendensius yang terdengar seolah kau memaksanya untuk menikahimu.


Semua orang tidak bisa memilih kepada siapa mereka jatuh cinta, tapi setidaknya mereka bisa memilih dengan siapa mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Pun kau, yang secara kebetulan bertemu dengan Osamu dan berakhir menyukainya. 


Kurang lebih setahun lalu kalian memutuskan untuk tinggal bersama ーyang tentu saja kau rahasiakan dari keluargamu, namun sejak ibumu terus memojokkanmu mengenai pernikahan, kau mulai bertanya apakah kau akan menjadi seseorang yang dia pilih untuk berada di masa depannya.




Kau tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tapi kau adalah tipe orang yang membutuhkan sebuah pelatuk untuk mengawali sesuatu.


Selama beberapa hari ini kau terus berpikir, mungkin ini saat yang tepat untuk memutuskan apakah kalian perlu melanjutkan hubungan ini, atau justru menyerah sampai di sini saja. 


Dengan alasan itu pula, kau mengunjungi toko sepatu itu setelah memeriksa apakah uang di akun tabunganmu cukup lega untuk menjemput barang itu dan menjadikannya sebagai salah satu hak milik.


Sepatu itu masih kuu lihat terpajang di balik kaca etalase minggu lalu, dan kau yakin kalau dia tetap akan berada di sana hingga hari ini. Namun kenyataannya, sepatu itu sudah tidak ada di sana.


Padahal kau ingin sekali membawanya pulang, lalu berkata pada Osamu dengan penuh percaya diri kalau kau ingin menikah. Apapun jawabannya, kau akan merasa lebih kuat kalau sepatu itu ada bersamamu.


Sepatu yang bagus akan mengantarmu ke tempat yang bagus pula. Begitu kata sebuah pepatah yang pernah kau dengar.


Kurang lebih itu harapanmu sebelum kau datang ke toko itu. Namun sepertinya kau belum diberi kesempatan untuk keluar dari lingkaran keputusasaan untuk saat ini.


Kau yang pulang dengan tangan kosong menemukan Osamu tengah bersantai di atas sofa ruang tengah, dengan sejilid majalah yang bertengger pada tangannya. Dia keluar apartemen di waktu yang cukup pagi hari ini. Bukan sesuatu yang baru, karena dia kerap kali sibuk dengan pekerjaannya sebagai juru masak sehingga ia harus berangkat cukup pagi. Tapi kau tidak menyangka akan mendapatinya di hari yang masih cukup siang, karena dia terbiasa pulang di kala petang.


“Okaeri!” Sambutnya.


Kau membalas sebelum mencuci tangan, kemudian duduk di sampingnya. 


“Aku mengambil cuti hingga dua hari ke depan. Katakan padaku kalau ada tempat yang ingin kau kunjungi!” Raut heranku pasti sudah terbaca olehnya, hingga dia segera melontarkan kalimat itu dengan senyum cemerlang.


Tapi, kau sedang tidak ingin bepergian.


“Bisakah kita di rumah saja?” Tanyaku.


Kau bisa merasakan wajahnya sedikit redup setelah kau melihat senyumnya berangsur memudar. “Kau sedang tidak enak badan?”


Kau menggeleng, “Bagaimana kalau kita memasak, dan menjadikan makan malam kali ini lebih romantis.”


“Kau tidak begitu pandai memasak, dan kauー,”


“Kau pikir kau tidak berprogres?!” kau memajukan bibirku, kesal. Meskipun kau tahu bahwa Osamu berkata demikian karena dia lebih ahli darimu dalam hal memasak.


Tapi, kalau bukan sekarang, kapan lagi kau bisa mempromosikan dirimu sendiri di depannya? Berharap dia menyadari bagaimana kualitasmu sebagai istrinya kelak.


Itu pun kalau dia menginginkanmu.


“Baiklah. Kalau begitu mari belanja!”


Belanja bersama adalah hal yang masih baru mengingat kalian lebih sering belanja bergantian karena jadwal yang tidak menentu. Biasanya, kau hanya perlu menelponnya dan bertanya makanan apa yang ingin dia makan. Atau dia yang menelponmu, bertanya apa yang kau butuhkan.


Kau tidak begitu terampil memasak, tapi kali ini mungkin adalah kesempatanmu untuk unjuk kebolehan sebagai calon ibu rumah tangga yang bisa diandalkan. 


Ya, meskipun kau tidak terlalu berharap dia akan menyadari kalau kau tengah mempromosikan dirimu sendiri, sih.


"Apakah aku perlu menyulut lilin?" Tanyanya setelah seluruh hidangan makan malah tertata rapi di atas meja makan.


"Untuk apa?"


"Agar terasa lebih romantis?"


Alismu sedikit bertaut meskipun beberapa detik kemudian mengiyakan idenya itu. Makan malam dengan pencahayaan temaram mungkin terasa sedikit picisan, namun kau tidak membenci keadaan ketika kalian hanya berdua ditemani oleh denting alat makan yang beradu. Beberapa kali kalian saling tatap, kemudian melempar senyum.


"Kau benar-benar tidak ingin pergi keluar? Aku ambil libur hingga besok, lho."


Pada dasarnya, kau hanya ingin berada di tempat di mana dia berada. Tidak perlu tempat lain, karena berada di sampingnya sudah menjadi hal yang paling istimewa bagimu. Namun, batinmu mulai teriris saat ditampar oleh kenyataan bahwa mungkin semua ini tidak akan berlangsung untuk selamanya.


"Hey, kau mendengarku?"


"Hm?" kau mengembalikan fokusmu padanya ketika dia mengulurkan salah satu tangannya untuk meraih jemarimu.


"Ada yang kau pikirkan?"


Sejenak kau terdiam hingga keheningan serasa menelan kalian berdua. Hal yang tidak pernah terjadi selama ini karena kalian terlalu cocok bahkan dalam saling melempar topik dan pembahasan.


"Osamu ...."


"Ya?"


"Aku ingin menikah."


Lagi. Alih-alih mendapatkan jawaban darinya, keheningan kembali menyeruak. Kau mendapatinya tengah menatap lurus ke ruang kosong yang ada di antara kalian.


Kau benci itu. 


Kau benci menduga bahwa bukan dirimu yang diinginkannya. Terlebih saat dia memilih berdiri dan meninggalkanmu sendiri di ruang temaram yang sampai beberapa menit lalu masih terasa romantis oleh gelak tawa kalian.


Semuanya telah berakhir, dan kau harus menyerah.


Sepatu beserta tempat yang kau dambakan. Kau tak mendapatkan keduanya. Namun yang lebih menyesakkan adalah, saat kau menyadari bahwa kalian di esok hari tak akan sama seperti hari ini, dan hari-hari sebelumnya.


Kau menjatuhkan wajahmu di atas meja, menutupnya dengan tanganmu agar isakan yang kau hasilkan ini tidak terdengar oleh siapa pun. 


Sayup kau mendengar langkah kaki, yang tentu kau percayai sebagai langkah Osamu. Ketika derap itu tak lagi terdengar, kau merasa ada kehangatan yang menjalar di pergelangan kakimu. 


Sedikit kaget, kau mengangkat wajahmu hingga menemukan sosoknya yang tengah berlutut di samping kursi yang kau duduki. Di depannya terdapat sebuah kardus berhias pita cantik yang sudah setengah terbuka.


Osamu masih terdiam, sementara kau mencoba membaca apa yang akan dia lakukan dengan menarik kedua kakimu ke arahnya.


Saat konsentrasimu kembali penuh, kedua kakimu sudah dibalut oleh kilau kristal yang hingga beberapa menit lalu kau sayangkan karena kau tidak bisa mendapatkannya.


"Menikahlah denganku!" Pintanya, pelan.


Kau tidak mempersiapkan jawaban, karena kau yakin bahwa tidak ada hal yang lebih benar dibandingkan dengan datang memeluknya hingga dia terkapar di lantai, dengan kau yang tidur menindihnya. 


Entah bagaimana rautmu saat ini, yang jelas kau memilih untuk memendam wajahmu di dadanya alih-alih menatapnya intens untuk mencurahkan emosi bahagia. 


Kemudian kau berkata bahwa kau sangat mencintainya.


"Jawabannya?"


"ーun." sahutmu, parau.


Dengan sedikit keberanian kau mengangkat wajahmu, lalu membawanya mendekat padanya untuk mendaratkan sebuah kecupan.


Dan malam itu berakhir dengan kalian yang terus terjaga. Berlomba membisikan kata cinta, dan bersikeras atas siapa yang paling unggul dalam mengungkapkannya.


Saat ini, kau mulai percaya bahwa kalian memang ditakdirkan untuk bersama.




Comments