Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu|♯2. Fragments

 



Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu
~欠片~




Ranjang susun dan satu unit meja belajar. Hampir sama seperti saat keduanya pertama kali meninggalkan tempat ini untuk merantau ke kota besar. Yang sering Atsumu pikirkan adalah, kenapa orang tua mereka hanya menyiapkan satu meja belajar sementara dia dan Osamu menempati kamar itu bersamaan?

Karena pada dasarnya mereka jarang belajar?

Selain dua barang tadi, tidak ada hal lain yang cukup mencolok untuk dijadikan bahan nostalgia. Namun itu tak lantas membuat Atsumu kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan obrolan dengan kedua orang tuanya di meja makan. Dia justru membuka tirai kamar, melihat di kegelapan di luar sana.

Hal yang selalu ia lakukan hampir selama belasan tahun, sebelum dia menetap di Osaka.

Alasannya hanya satu. Dia ingin memastikan bahwa sesorang yang tinggal di kamar lantai dua di samping rumahnya itu masih terjaga. Dan Atsumu bisa mengganggunya dengan melempar barang acak yang dia temukam di kamar.

Namn sepuluh tahun telah berlalu sejak dia berhenti melakukan keusilan itu. Dan seperti yang ia duga, kamar itu gelap tak berpenghuni. Pemiliknya merantau ke Tokyo dua tahun setelah mereka lulus SMA.

Atsumu tidak sempat mengucapkan salam perpisahaan saat itu. Selain karena tidak ada komunikasi yang terjalin sejak liburan musim panas berakhir, dia juga sibuk dengan kehidupan asrama selepas ia bergabung dengan tim bola voli yang hingga kini terus ia gawangi.

Meskipun hari ini dia pun kembali untuk pernikahan Osamu, tidak besar kemungkinan dia akan tinggal cukup lama di tempat ini lagi. Begitu pula dengan Atsumu yang sudah tidak betah untuk segera kembali ke kamarnya yang nyaman di Osaka.

Kamar nyaman yang tidak akan membuatnya mengingat hal-hal bodoh yang pernah ia lakukan sepuluh tahun lalu. Hal-hal yang membuat jalinan hubungan selama belasan tahun lamanya serasa sirna tanpa bekas.

Kalau ada yang membekas, itu hanyalah penyesalan yang sesekali mengambang dari relung hati Atsumu.

Hidup hanya itu berisi onggokan penyesalan, begitu yang pernah Atsmu dengar.

Namun seandainya bisa mengulang masa lalu, dia bersedia mempertaruhkan apa yang dia miliki sekarang untuk memperbaiki masa yang rembas kala itu.



Laju kereta yang cukup berisik membuat Atsumu enggan untuk menutup mata. Meskipun dia tahu bukan hanya itu alasannya.

Sebelum dia meninggalkan rumah tadi, ada obrolan singkat dengan adik kembarnyaーyang hingga saat itu pun masih jumawa karena dia yang menikah duluan, bukan Atsumu. Bertengkar untuk hal sepele memang sudah menjadi rutinitas saat mereka bersama. Hanya saja, mengapa hal seperti itu tak terjadi saat ini benar-benar membuat Atsumu sadar, bahwa mereka telah sepenuhnya dewasa.

"Dia datang," kata Osamu. Tepat ketika pria berambut pirang tak sempurna itu menenteng tasnya, bersiap mengerjar kereta terakhir yang akan membawanya ke Osaka malam ini.

"Aku tahu."

"Kau tidak menyapanya?"

"Untuk apa?"

Osamu nampak menghela napas. Dia paling tahu seperti apa pengecutnya kakak kembarnya ini, namun dia takjub bahwa bagian itu yang tidak berubah darinya hingga saat ini.

"Tsumu, kau tahu?" Osamu memulai lagi.

"Apa?"

"Ada satu hal esensial dalam suatu hubungan selain perasaan satu sama lain."

Atsumu masih diam.

"ーwaktu."

Atsumu tidak perlu lagi mengingat berapa lama waktu yang telah dia sia-siakan. Dan berapa banyak kesempatan yang ia lewatkan. Itu hanyalah satu bukti dari kenyataan bahwa dia hanyalah seorang pengecut.

Atsumu terlalu pengecut hingga dia memilih untuk tak melakukan apa-apa saat ia menemukan sosoknya di dekat meja minuman siang tadi.

Warna pastel pada gaunnya terlihat sangat sempurna menonjolkan kecantikan yang sepuluh tahun lalu masih tertutup oleh karakter tomboinya. Bagaimana dia tumbuh seperti gadis pada usianya, jika pergaulannya sejak dini hanya dipenuhi oleh dua manusia. Kembar bersaudara yang banyak banyak memicu keributan bahkan hingga awal kedewasaan mereka.

Namun kalau harus mengakui, Atsumu lah yang paling kekanakan dan yang paling sering mengawali semua keonaran yang kerap mereka lalui.

"Sebaiknya kau berhenti bermain, dan mulailah serius dengan hubunganmu." Pesan Osamu, sebelum mereka benar-benar berpisah.

Menikah lebih dulu sepertinya menjadikannya cukup sombong untuk berpetuah.

"Siapa yang bermain, hey?" Atsumu memprotes.

Memang hubungannya kerap kali terendus media karena yang dia kencani bukanlah orang biasa. Sebagian dari mereka adalah wanita yang memiliki nama hingga setiap apa yang dia dan pasangannya lakukan menarik perhatian khalayak.

Sebagian besar orang memberinya cap 'pemain' karena hubungan yang tidak pernah langgeng. Osamu pun tak terkecuali. Dia menganggap kakak kembarnya ini hanya berusaha mengalihkan fokusnya pada cinta yang hingga kini belum bisa ia gapai. Itu benar, sekaligus salah, karena setiap Atsumu mencoba berhubungan, dia selalu berharap bahwa orang yang menjadi pasangannya itu adalah orang yang tepat. Orang yang bisa menghapus bayang gadis dari masa sepuluh tahun lalu yang kerap datang dalam benaknya. Tapi tak seorang pun yang bisa.

"Kalau kau memang tidak bermain, cepatlah ungkapkan perasaanmu sebelum semuanya terlambat!"

Terlambat.

Satu kata itu kerap terngiang. Bahkan sejak akhir liburan musim panas ketika hubungan segitiga itu mulai terguncang.

Atsumu menghela napas panjang sementara kedua maniknya terpaku pada pemandangan gelap di luar sana. Masih sekitar satu jam estimasi sampai ia sampai di Stasiun Osaka. Dia cukup lelah, namun tidur tak akan menjadi pilihan. Pelampiasan terakhirnya hanyalah sejilid buku catatan yang sebelum berangkat tadi ia temukan di laci meja belajar.

Yang pertama kali dia sadari saat membuka buku itu hanya satu.

"Sejelek inikah tulisanku semasa SMA?" Atsumu tergelak lirih. Sekarang pun tak jauh berbeda. Kalaupun ada, Atsumu yang sekarang tidak akan menulis semua yang dirasakannya seterperinci ini.

Laporan Riset, begitu huruf besar yang tertulis di halaman pertama. Sebuah frasa yang membuat ingatannya melompat ke masa sepuluh tahun yang lalu.

Masa penuh penyesalan yang terus membayanginya hingga saat ini.

TBC


Comments