Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu|♯4. Rule
Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu
1週間目: ルール
21 Juli
Keramaian karena debat tak begitu penting kali di tengah makan malam keluarga Miya selama hampir tujuh belas tahun belakangan. Penyebabnya sudah pasti, si kembar yang lebih sering tak akur.
Malam ini pun tak berbeda saat Rei datang, kemudian menemukan para Miya masih duduk mengelilingi meja makan dengan hidangan yang sudah mulai tandas. Dia berpikir untuk kembali berkunjung saat semua sudah selesai tapi ayah Miya justru memintanya tinggal agar dua kembarnya sedikit lebih jinak. Meskipun sebenarnya itu tidak berpengaruh apa pun karena mereka masih memperebutkan satu potong karaage terakhir.
"Tidak tahu malu kalian ini!" Cetus ibu mereka sembari mengangkut piring berisi satu potong karaage itu.
"Okan[1], itu milikku!" Osamu berteriak dengan sumpit mengacung pada sosok ibunya yang kini berjalan menghampiri Rei.
"'Milikku' kepalamu, jelas itu jatahku! Dasar kuso Samu!" Osamu menyahut.
Perdebatan keduanya tak lagi menjadi soal saat ibu Miya mendatangi gadis yang kini duduk manis di ruang sambil memantau acara televisi.
" Rei-chan, aaaー"
Mengikuti isyarat yang diberikan oleh ibu dari kedua sahabatnya, Rei membuka mulutnya saat ujung sumpit yang menjepit potongan ayam itu mendekat.
"Enak?"
Rei memberikan ibu jari sebagai jawaban saat mulutnya sibuk mengunyah barang keramat yang menjadi bahan perdebatan itu.
Atsumu yang datang dengan mangkuk makan malam di tangannya mulai memaki dan menunjuk wajah si gadis dengan sumpitnya. "Bodoh, kenapa kau memakannya?"
"Karena karaage bibi enak."
"Bukan itu maksudku!" Atsumu mendelik mengingatkan bahwa potongan terakhir itu adalah jatahnya. Kalau ibunya tidak memukul kepala serta merebut mangkuknya, mungkin Atsumu masih akan terus mempermasalahkan potongan terakhir karaage itu.
Lain hal dengan Atsumu yang masih terlihat kesal, Osamu sudah berpindah pada gelas puding mulai menyendoknya.
Keduanya meminta Rei datang tepat setelah dia selesai makan malam, namun mereka masih bersantai dan mempeributkan makanan yang bahkan hanya dilakukan oleh anak SD. Kalau tidak ingat bahwa bagi para Miya ini adalah hal yang sangat lazim, maka Rei tentu akan takjub dan memilih segera pergi dari sana.
"Bukankah hari ini kita akan membahas tentang proyek riset?" Rei memastikan kembali apakah kedatangannya ke rumah ini masih memiliki arti penting, sementara dia harus menyelesaikan banyak hal di rumahnya yang hanya terletak di sebelah.
"Ah iya, aku hampir lupa!" Osamu menepuk dahi yang mengundang decak kecil keluar dari mulut si gadis.
"Aku mengorbankan waktu tidurku untuk kemari, mengerti?" Rei mendumal saat Atsumu ternyata juga melupakan agenda mereka.
Tak menunggu waktu lama sampai mereka berkumpul di kamar dengan satu ranjang susun, satu meja belajar, dan satu lemari pakaian itu. Hingga sekarang Rei bertanya-tanya mengapa bibi dan paman Miya menempatkan dua monster yang tak pernah akur ini dalam satu kamar sementara mereka bisa menyiapkan kamar lain. Kalau mereka mau, tentunya.
"Jadi bagaimana kita memutuskan perannya?" Tanya Rei kemudian.
Osamu sudah bertengger di atas, sementara dia dan Atsumu duduk di ranjangnya yang berada di bawah. Mengingat mereka hendak merencanakan tugas bersama, si gadis heran mengapa tak ada yang punya inisiatif untuk duduk di kursi meja belajar sepertinya.
"Janken, apa yang lebih efektif dari itu?" Osamu mengusulkan.
"Yang menang bisa memilih peran apa yang bisa dia ambil." Atsumu menambah.
"Kalau begitu lakukan!" Rei meminta seolah tak ingin menghabiskan lebih banyak waktu lagi untuk keduanya. Memang, dia tak ingin.
Osamu meliuk, menurunkan tangannya sementara kakka kembarnya harus mendongak sambil mengulurkan tagannya pula.
"Jankenpon!" Seru mereka bersamaan.
Setelah beberapa kali mengeluarkan bentuk yang sama, akhirnya dipastikan bahwa Atsumu memenangkan kontes janken ini. Dengan kata lain, dia adalah kunci dari bagaimana proyek riset akan berlanjut.
"Cepat pilih!" Osamu terlihat tidak sabar, pun gadis yang kini cukup tegang meramalkan nasibnya sebulan ke depan.
Sementara yang mereka tunggu, Atsumu masih bersedekap dan terlihat berpikir keras seolah keputusannya ini bisa mempengaruhi nasib umat manusia di seluruh dunia.
"Kau memikirkan apa sih?" Rutuk Rei. "Atau aku saja yang jadi pencatat supaya kalian bisa berpacaran?"
"Kalaupun aku suka pria, aku tidak akan pernah memilih si bodoh ini sebagai partnerku!" Osamu yang pertama kali unjuk suara.
"Kau pikir aku mau?!"
Si gadis memutar bola matanya. Level kekesalannya sudah naik dua tingkat hari ini, dan dia tidak ingin menambahnya lagi meskipun tak jarang berhubungan dengan mereka membuat suasana hatinya lebih buruk.
"Atsumu, apa yang kau tunggu? Atau kau ingin jadi pacarku, tapi kau terlalu gengsi untuk mengatakannya?" Rei sengaja memancing.
"Hah? Kau mimpi? Aku jadi pencatat progres. Kalian yang pacaran!" Atsumu segera menyahut sambil menunjuk Osamu dan Rei bergantian.
Osamu mengangkat kedua bahunya sambil berkata, "Apa boleh buat?"
Kendati cukup skeptis dengan kelanjutan proyek riset, namun Rei hanya bisa pasrah karena keduanya akan lebih kesulitan apabila mengerjakannya sendiri.
"Masih ada yang perlu dibicarakan?" Tanyanya kemudian. "Apa yang harus kita lakukan untuk menyukseskan penelitian ini, misalnya."
"Itu dia!" Atsumu menaikkan desibel suaranya sebelum dia turun dan mendekat ke meja belajar, lalu menarik lacinya untuk mengeluarkan sejilid buku cacatan. "Aku sudah mencatatnya."
Rei menerima buku catatan yang kemudian disodorkan padanya itu, dan mulai membacanya.
Tak selang lima menit sampai Rei selesai membaca rentetan kalimat dengan huruf yang tersusun tak rapi, khas Atsumu.
"Atsumuー,"
Gadis itu belum menyelesaikan kalimatnya saat Atsumu menempelkan telunjuk pada dahi si gadis, lalu memotong, "Miya-kun. Kau harus terbiasa memanggilku begitu."
"Itu berlebihan dan akan butuh waktu lama untuk membiasakannya."
"Setidaknya kau harus berusaha untuk tidak memanggilku dengan 'Atsumu' mengingat aku hanya saudara kembar dari pacarmu selama sebulan."
Rei menghela napas, kemudian melempar buku itu ke arah Osamu yang masih bertahan pada ranjangnya, di atas.
Penelitian mereka berpusat pada hasil setelah riset selama satu bulan dilakukan. Apakah akan ada perasaan khusus yang muncul di antara Osamu ataupun Rei sebagai obyeknya. Tak ada hubungannya dengan Atsumu yang bertugas sebagai pencatat, karena itu Rei merasa tidak ada urgensi baginya untuk memanggil Atsumu seperti orang asing yang baru saja dikenalnya. Tapi dia tahu bahwa mendebat Atsumu hanya akan memperpanjang urusan, karena itu dia memilih untuk mengikuti rencananya.
"Aku akan pulang kalau sudah selesai." Gadis Kuwamoto itu bangkit setelah Osamu mengembalikan catatan dengan melempar kembali pada si pirang.
"Tunggu!" Cegat Atsumu.
"Apa lagi?"
"Samu, kau pacarnya. Jadi antar dia pulang!" Si pirang melontarkan kalimat itu pada saudara kembarnya yang kini berbaring malas di atas ranjang.
"Rumahku hanya di sebelah, kau ingat?"
"Peraturan tetap peraturan."
"Terserah."
Rei meraih kenop pintu lalu keluar setelah memastikan bahwa Osamu mengikutinya, atau kalau tidak pasti ada keributan babak kedua yang akan terjadi karena Atsumu pasti bersikeras dengan aturan yang telah dirancangnya.
TBC
Note:
1. Okan: panggilan ibu dalam dialek Kansai.
Comments
Post a Comment