Semi Eita - Serendipity

Serendipity

煌めく程偶然の出逢い


Semi Eita x Reader

__________________


Kadang kau tidak akan pernah menduga siapa yang akan kau temui dan apa yang akan terjadi dalam hidupmu.


Pun saat ini, ketika kau tengah meyakinkan dirimu bahwa petugas pajak yang sedang melayanimu tidak lain adalah musisi jalanan yang selalu kau lihat setiap akhir pekan di dekat taman kota.


Awalnya kau ragu dengan sosoknya yang terlihat lebih konvensional ditambah kacamata yang membingkai kedua netranya. Dua huruf kanji yang tertulis dalam kartu tanda pengenalnya sama sekali bukan nama yang kau kenal.


Semi.


Kalau tidak salah, musisi yang selalu mencuri perhatianmu itu bernama Eita. Bisa saja itu hanya nama panggungnya. Karena itu kau masih mencari hal familiar yang bisa kau kenali dari petugas yang masih menatap layar komputer dengan jari-jarinya yang menari di atas keyboard, mengalkulasikan berapa uang dari sebagian gajimu bulan ini yang harus kau sumbangkan ke pemerintah kota.


Biasanya kau ingin rutinitasmu setiap bulan ini cepat berakhir. Tapi untuk pertama kalinya, kau berharap petugas bernama Semi itu melakukan kesalahan hingga kau bisa menunggu lebih lama.


“Sudah selesai. Silakan bukti pengurusannya!” Katanya, sembari mengulurkan selembar kertas berisi informasi pengurusan pajak.


Kau menerima kertas itu tanpa absen dalam mengamatinya. Dan benar! Kau menemukan bukti yang cukup otentik untuk meyakinkan bahwa dia adalah Eita.


Jari-jarinya.


Anoo, boleh aku bertanya sesuatu?”


“Silakan,” dia menjawab ramah.


“Eita-san, bukan?”


Sebagai penggemarnya, kau selalu memperhatikan setiap detil dari idolamu itu. Kau tahu bahwa kuku-kukunya sedikit terlihat tidak sehat karena terlalu banyak memetik senar gitar. Kau bahkan membeli kuteks yang rencananya akan kau berikan sebagai hadiah pada saat dia tampil akhir pekan ini.


Eita, ah maksudmu Semi, nampak kaget dan kau cukup awas bahwa dia tidak ingin rekan kerjanya yang lain tahu bahwa dia adalah musisi jalanan yang setiap akhir pekannya memetik gitar, menyanyikan lagu penuh mimpi dan cinta di dekat taman kota.


“Aku mengerti.” Katamu kemudian dengan desibel paling rendah, bahkan tanpa menunggu pemuda itu mengatakan sesuatu. “Aku penggemarmu sejak aku melihat penampilanmu di dekat taman kota sekitar lima bulan yang lalu.”


“Te-terima kasih.” Kau bisa mendengar dari ucapannya bahwa dia tengah gugup.


Tak ingin memperpanjang atmosfer itu, kau memilih untuk pamit. “Kalau begitu, sampai jumpa. Semangat untuk penampilan akhir pekan ini!” Ujarmu sembari bangkit. Lalu perlahan meninggalkan kursi di depan meja layanan di mana Eita berada.


“Ahー,” baru beberapa langkah terlewati saat kemudian kau ingat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk memberinya kuteks yang kini berada di dalam tasmu.


“Kudengar kuteks bisa melindungi kuku dari kerusakan karena memainkan alat musik. Silakan, kalau berkenan!” Katamu setelah berbalik.


Kau bisa melihat bahwa saat ini Eita sedang memperhatikan kukunya sendiri karena terpengaruh ucapanmu. “Benarkah? Terima kasih banyak!”


“Sama-sama,” melihat wajah sumringahnya, senyummu pun turut mengembang.


“Kau akan datang akhir pekan ini, 'kan? Aku baru saja menyelesaikan lagu baru.”


“Benarkah? Aku tidak sabar untuk mendengarnya.”


“Kalau begitu sampai jumpa akhir pekan nanti!”


Un, sampai jumpa.”


__________________



Sayangnya, akhir pekan yang kau nantikan itu tak datang dengan awal yang menggembirakan. Kau melakukan kesalahan pada pekerjaanmu sehingga divisimu harus merevisi dari awal laporan perencanaan pada sebuah proyek yang cukup penting. Kau seharusnya sudah berada di barisan paling depan pada pertunjukan musik Eita, tetapi rencana itu gagal oleh kecerobohanmu sendiri.


Sekitar taman kota sudah sepi saat kau datang dengan napas terengah, mencoba mencari jejak keramaian yang mungkin tersisa. Namun nihil, hanya jalanan kosong disertai hembusan angin dingin yang menerpamu dalam diam.


Kalau kau tidak melakukan kesalahan mungkin kau masih bisa mendengarkan dan menerima energi baru dari lagu baru yang Eita ciptakan.


Kau duduk di bangku sebelum menghela napas panjang, mencoba menjadikan hal yang terjadi dalam hidupmu sebagai lelucon yang menyedihkan.


Padahal kau mengharapkan hari ini datang lebih cepat. Nyatanya, lembur di kantor dan kecerobohanmu membuatmu melewatkan hal yang seharusnya membuatmu bahagia.


“Kupikir kau tidak akan datang.”


Kekacauan dalam pikiranmu sekejap tergeser oleh suara familiar yang datang dari arah yang tidak pernah kau sangka. Di depanmu kini berdiri seorang Eita, dengan gitar yang kini menggantung di belakang punggungnya.


“Hari ini kau pulang agak larut, ya?” Lanjutnya.


Retorisnya itu membuatmu nyaris berurai air mata, kalau saja kau tidak segera sadar bahwa menangis di depan orang yang baru beberapa hari lalu kau ajak bicara bisa membuatnya risih.


“Aku tahu kedai ramen yang cukup enak di dekat sini. Mau pergi bersama?”


Sebelum dia berubah pikiran, kau segera mengangguk. Kapan lagi kau bisa makan malam bersama musisi yang kerap membantumu menaikkan mood setelah tekanan yang kau alami dalam pekerjaan.


__________________


“Kupikir kau sudah pulang saat aku tiba di tempat biasanya kau tampil,” celetukmu sambil membenarkan posisi dudukmu di depan Eita.


Setelah makan malam di kedai ramen tadi kalian memutuskan untuk berhenti di suatu tempat yang cukup sepi alih-alih segera pulang. Malam masih panjang, katanya. Dan dia pun masih ingin memperdengarkan lagu barunya padamu.


“Hm, aku hanya penasaran apakah kau benar-benar akan datang. Dan, sebenarnya aku juga ingin memperlihatkan ini.” Dia menjawab sambil mengangkat punggung tangannya, menampilkan kuku-kukunya yang sudah berlapis kuteks berwarna hitam. Tentu saja dengan polesan yang kurang rapi.


Kau terkekeh, meskipun dalam lubuk hatimu kau merasa senang dia benar-benar menggunakannya. “Seharusnya kau meminta pacarmu yang lebih ahli untuk mengaplikasikannya.”


“Apa aku terlihat seperti punya pacar?”


“Ah, jadi kau free? Kalau begitu kau bisa minta tolong salah satu penggemarmu kelak.”


“Baiklah. Aku akan meminta bantuanmu jika saatnya tiba.” Sahut Eita, dengan senyum tersimpul pada bibirnya.


Tampan. Tidak ada definisi lain yang bisa kau sematkan pada paras berbingkai rambut abu-abu menuju putih itu.


“Ngomong-ngomong, kau tidak berencana untuk debut?”


“Sebagai musisi profesional?”


“Ya.”


“Tidak.”


“Kenapa?”


Ada sedikit jeda sampai kemudian pemuda di depanmu itu menjawab pertanyaan yang kau lontarkan.


“Aku hanya ingin kehidupan yang stabil. Dan aku bukan orang yang senang bermimpi.”


“Meskipun banyak orang yang ingin melihatmu seperti itu?”


“Pada akhirnya aku yang akan menjalaninya, bukan?” Dia balik bertanya. “Mungkin aku terdengar sangat realistis sekarang. Tapi jarang orang yang menyadari bahwa menjadi seorang pemimpi berarti kau harus lebih siap dalam menghadapi kenyataan yang ada dalam mencapai mimpimu itu. Bukankah itu lebih realistis dari orang yang berusaha untuk terdengar realistis?”


Masuk akal. Tapi kau masih tidak mengerti dengan pilihannya. Dia bisa saja menggapai mimpinya itu melihat prospek

yang ada padanya. Siapa yang tidak akan menyukai lagu dan musiknya?


”ーselain itu, aku hanya tidak ingin kehilangan kebebasanku.”


Kebebasan.


Satu kata yang kau rindukan. Sesuatu yang kau dambakan di saat kau mulai menanjak tangga kedewasaan.


Kau setuju bahwa alasannya sangat masuk akal, meskipun kau menyayangkan kompetensinya yang menurutmu akan sia-sia. Tetapi kemudian kau disadarkan bahwa hal yang Eita lakukan bukanlah hal yang sia-sia, mengingat dia bisa membuatmu merasa lebih baik di saat kau dihantam oleh keputusasaan.


“Ah, kalau aku boleh memberi testimoni. Menjadi pelayan publik itu bukan hal yang buruk lho. Mungkin ada sebagian orang yang berpendapat bahwa itu adalah pekerjaan yang membosankan, tapi nyatanya aku cukup bisa menikmatinya. Gaji pun tidak bisa dibilang sedikit. Rasanya tidak ada hal yang ingin aku keluhkan selama aku masih bisa melakukan yang kusuka, dan menikmati hidupku.”


Selaras dengan ungkapan, jangan jadikan preferensimu sebagai tolak ukur kebahagiaan orang lain. Kau setuju dengan hal itu, tapi kau merasa seperti munafik saat kau berpikir bahwa masa depan yang lebih baik bisa pemuda itu dapatkan dengan memilih jalan yang menurutmu benar.


“Ah, ngomong-ngomong aku terpikir sebuah lagu baru. Mau mencoba mendengarnya?”


Menjadi orang pertama yang mendengarkan lagu dari idolamu? Tentu saja, kau mengangguk cepat. “Nyanyikan untukku!”


“Aku masih memikirkan lirik yang cocok sih, jadi kau bisa membantuku memilihkan diksi yang menurutmu bagus.”


“Eh, aku?”


“Ya, kau.”


Eita memperbaiki setelan gitarnya sebelum mulai memetik benda itu pelan, tapi pasti. Melodi indah mengalir membuai telingamu. Senandung kecil dari bibir Eita turut membuatmu rileks, sejenak membuatmu melupakan betapa ricuhnya dirimu seharian ini.


“Apa tema lagu ini?” Tanyamu.


Eita menghentikan jari pada gitar, dan juga senandungnya sejenak.


“Lagu ketika seseorang sedang jatuh cinta.”


Kau tidak ingin berprasangka, tapi senyum Eita setelah mengucap jawabannya itu cukup membuatmu tersipu malu.


___________________

Comments