Shirabu Kenjiro - Cup of Cofee
Cup of Coffee
Colored panel credit to: @neriko0529
Shirabu Kenjiro x Reader
Aku masih menatap bungkusan bening dengan indikasi penggunaan pada permukaan kemasannya. Orang depanku itu menyebutnya dengan valium, dan aku harus mengonsumsinya lagi.
Iya, lagi. Setidaknya dia menyarankanku untuk tidak melewatkan medikasiku dengan terus memberi nasihat dan bungkusan obat yang harus aku konsumsi selama dua bulan terakhir ini.
"Mari kita coba kurangi jumlah konsumsinya. Mulai hari ini, minumlah obat ini sebelum kau tidur saja," ucap Shirabu-sensei. Dokter sekaligus psikiater yang menjadi mentor kesehatan mentalku selama enam bulan ini.
Benar. Mentalku tidak sehat, itulah mengapa aku harus merelakan sebagian tabunganku terbang untuk biaya medikasiku yang tidak sedikit.
"Apa ada keluhan yang ingin kau sampaikan?" Tanya pria itu, suaranya yang tenang terdengar menular dan membuat persendianku berangsur rileks dan mulai berkata-kata.
Dunia ini terus berputar sesuai dengan poros dan orbitnya, tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah hanyalah aku yang tidak bisa mengatur duniaku sendiri. Sebelumnya, semua tidak sepelik ini sampai aku memutuskan untuk meminta Shirabu-sensei menjadi mentorku.
Aku hanya manusia biasa, sama seperti banyak orang di sekitarku yang terus beraktivitas untuk tetap hidup. Makna hidup bagi setiap orang itu berbeda, begitu pula denganku. Aku yang selama ini lebih lama hidup seorang sendiri pasti tidak sama dengan beberapa orang yang menghabiskan waktunya bersama orang lain. Mereka lebih tahu bagaimana caranya untuk tetap bertahan dari tekanan, dan juga mencari perlindungan. Lain denganku yang mulai tak tahu arah ketika berbagai tekanan datang.
Aku bekerja, aku mencoba bersosialisasi, tapi semua tak berjalan mulus seperti yang aku bayangkan. Sebagian orang akan bilang kalau semua orang pun mengalami tekanan, dan bisa jadi tekanan yang orang lain dapatkan lebih berat dibanding milikku. Tapi mereka abai kalau kualitas mental seseorang itu tidak sama, dan aku adalah salah satu orang yang berada di level rendah. Aku berusaha agar orang tak memberi cap 'gila' padaku. Aku berusaha bersikap normal meskipun aku tahu, aku tersiksa oleh hal itu. Dan sekarang aku hanya bisa bersandar pada pria di depanku ini agar aku tak kehilangan asa dalam hidupku.
Percayalah, bertahan hidup di saat kau ingin sekali mati adalah hal yang paling sulit dan menyesakkan. Tetapi, aku ingin semua orang tahu, bahwa seseorang yang ingin mati justru adalah orang yang benar-benar ingin tetap hidup.
Ironis bukan?
"Kau bilang ada rekan kerja yang mencoba mendekatimu, bagaimana hubungan kalian sekarang?" Pemuda itu―maksudku, Shirabu-sensei bertanya. Mengingatkanku pada seorang gadis dari bagian penjualan yang tiba-tiba selalu muncul di depanku saat makan siang tiba.
"Sepertinya dia tahu tentang obat ini, dan dia melihatku mengkonsumsinya," aku menjawab pelan. Aku yakin kalau bukan hanya aku yang melakukan kontak dengan obat macam ini, dan kalaupun gadis itu memberitahukannya pada orang lain, aku juga tak yakin semua orang akan tiba-tiba baik kepadaku karena bagi mereka sakit mental itu kurang lebih sama dengan gila.
"Mau ambil cuti?" Shirabu-sensei bertanya lagi. Dia sudah menganjurkan hal itu semenjak aku datang padanya pertama kali, tapi aku menolak dengan catatan bahwa aku akan rutin menjalani medikasi. "Setidaknya sampai kau yakin kalau kau baik-baik saja," sambungnya.
Aku menggeleng, karena aku yakin kemungkinan aku akan dipecat karena cuti lebih tinggi dibanding saat mereka mengetahui bahwa aku butuh medikasi untuk kesehatan mentalku.
Ya, tidak banyak atasan yang mau mengerti keadaan bawahannya, mereka sudah dicukupkan dengan melihat baik tidaknya performa bawahan mereka. Aku hanyalah satu dari banyak budak yang mereka bawahi di perusahaan, dan akan sangat mudah bagi mereka untuk mendapatkan penggantiku. Aku belum ingin mengambil resiko untuk diberhentikan sementara aku masih membutuhkan penghasilan untuk tetap bertahan. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak punya seseorang untuk bergantung. Baik secara psikologi maupun finansial.
"Kau tidak akan memikirkannya lagi bukan?" Shirabu-sensei memastikan dengan terus menatapku. "Dengan begitu, sebagai mentormu aku yang akan memutuskannya. Aku akan datang ke kantormu besok!"
Aku sedikit memiringkan kepalaku sebelum menegaskan padanya kalau aku benar-benar tidak bisa mengambil liburan meskipun aku berhak mendapatkannya. "Sensei, aku butuh pekerjaan ini."
"Aku tahu," dia menukas. Pelan tapi pasti. "Karena itu kau harus ambil cuti, atau kau tidak akan bisa bekerja sama sekali nantinya. Kita harus fokus pada kesehatanmu."
Pemuda itu bangkit, menuju ujung ruangan bersama cangkir kopinya yang sudah landai. Dia sudah dua kali mengisi cangkirnya sejak aku datang kemari, tiga sampai ia kembali saat ini. Fokusnya belum penuh terpusat padaku ketika aku mencoba menanyakan solusi yang lain. Dari sama aku melihat kalau kantung matanya makin membesar dan menggelap hari demi hari.
Pekerjaannya pun pasti melelahkan. Mendengarkan keluhan orang sepertiku, apa yang yang lebih buruk lagi?
"Kau baik-baik saja? Apa aku mengganggu tidurmu lagi?"
Tentu saja! Aku datang menjelang dini hari karena aku benar-benar tidak bisa tidur dengan insomniaku yang kian parah. Dan dia selalu terjaga saat aku mengetuk pintunya, lalu berkata bahwa kebetulan dia pun belum tidur.
"Aku baik-baik saja. Jadi mari kita pikirkan baik-baik tentang masalah kesehatanmu ini. Kau harus cuti."
"Tapiー "
"Tapi?"
"Aku takut ini akan memakan waktu lama hingga aku tak bisa lagi meneruskan medikasiku ini karena kendala finansial."
"Aku ada ide. Kalau kau tidak keberatan tentunya. "
"Ya?"
"Tinggalah denganku!"
Bibirku bungkam seketika saat kalimat itu terlontar dari bibirnya. Meskipun aku tahu kalau yang dia maksud dengan tinggal bersama pun tak lebih untuk kepentingan medikasi semata. Namun sepertinya dugaanku itu salah, dan hal itu aku ketahui setelah dia menyambung kemudian.
"Kalau kau percaya bahwa seseorang butuh orang lain untuk bersandar, maka kau pun harus tahu kalau aku pun sama."
Aku masih diam, mencoba menangkap maksud dari kata demi kata yang dia ucapkan.
"Kau pasti bingung ya?" Dia kembali menyesap kopinya, lalu tersenyum. "Aku tidak tahu bagaimana normalnya seseorang memulai sebuah hubungan. Tapi dengan mengenalmu selama setengah tahun ini, aku jadi lebih ingin mengenalmu lebih dalam."
"Kenapa?"
"Karena kopi buatanmu enak."
Alasan yang tidak begitu masuk akal. Aku hanya membuatkannya kopi ketika kebetulan datang dan dia nampak begitu letih. Aku tahu kliennya bukan diriku seorang. Namun aku pun tahu kedatanganku di tengah malam adalah hal yang paling mengganggunya. Dan dia tidak pernah mengusirku.
"ーsepertinya, aku mulai terbiasa dengan kau yang tiba-tiba datang seperti ini …."
"Maafkan aku."
"Tidak. Kau tidak perlu minta maaf karena aku sedang mencoba berkompromi denganmu."
"Berkompromi?"
"Ya. Aku akan menjadi jaminanmu kalau kau tidak bisa kembali pada pekerjaanmu nanti. Sebagai gantinyaー"
"Sebagai gantinya?"
"Bagaimana kalau kau mencoba untuk menyukaiku?"
Ada sedikit raut bercanda di sana, tapi aku lega mengetahui bahwa dia tidak sedang bermain-main dengan senyumnya yang nampak tulus.
"Akan kupikirkan dengan baik-baik. Terima kasih." Aku membalasnya, tak lupa dengan menampilkan senyum terbaik yang aku bisa.
Comments
Post a Comment