Terushima Yuji - Different Christmas

Different Christmas



Terushima Yuji x Reader

___________________


Menurut data yang kau temukan di internet, sembilan dari sepuluh orang pernah mengalami patah hati. Dan menurut sebuah penelitian, wanita dipercaya lebih menderita dibanding pria ketika mereka sama-sama patah hati.


Sayangnya itu hanyalah hasil penelitian pada sekelompok orang yang memiliki kualitas mental berbeda. Kau jelas tidak dapat memvalidasi yang pernah kau baca dengan keadaanmu sekarang, ketika kau tengah bertahan saat kau kembali dicampakkan oleh pria yang sempat kau percaya bahwa dia akan menjadi orang yang bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamamu.


Pria itu brengsek, begitulah kata hampir setiap wanita yang tengah dilanda pahitnya putus cinta. Meskipun setelah menemukan benih cinta yang baru, sebagian dari mereka akan lupa apa yang mereka katakan sebelumnya.


Mungkin benar kata orang-orang, bahwa untuk melupakan cinta lama kau hanya perlu menemukan cinta baru dalam hidupmu. Namun bagimu yang berulang kali merasakan bagaimana sulitnya menjalani sebuah hubungan, perasaan untuk menemukan sosok baru dalam hidupmu kini menjadi hal paling sekunder di antara hal-hal sekunder lainnya. Bisa menemukannya adalah keberuntungan, tidak pun bukan masalah.


Lagi pula dengan populasi lansia yang cukup tinggi, Jepang mungkin termasuk salah satu negara dengan dukungan terbaik terhadap kehidupan para pensiunan. Yang berarti kau tidak akan kerepotan jikalau hingga akhir hidupmu pun kau tetap sendiri. Hal yang terlalu dini untuk kau pikirkan di usiamu yang masih berada di kepala dua. Tapi, kurang lebih itu menggambarkan bagaimana kau tidak terlalu mementingkan sebuah hubungan romantis seperti yang banyak diimpikan oleh wanita seusiamu.


Hanya saja, kau kadang merasa iri di setiap akhir pekan atau di perayaan tertentu ketika kau melihat banyak pasangan saling bergandengan, menikmati kebersamaan mereka di tengah hiruknya perkotaan.


“Cih,” tanpa sadar kau mendecih. Muak dengan sebagian orang yang sengaja memamerkan kebersamaan mereka tanpa ingin tahu bagaimana perasaan orang lain. Seperti dirimu, contohnya.


Malam Natal seringkali dikatakan sebagai salah satu momen terbaik untuk berkencan. Ironis sekali bukan, malam yang seharusnya menguatkanmu secara spiritual justru diromantisasi sebagai dengan cara tak seharusnya. Tapi apa boleh buat, kau hidup di tengah masyarakat  yang cukup apatis dengan hal-hal agamis. Meskipun bagimu, malam Natal tidak lebih dari satu malam paling boros energi dari 365 hari yang terlewati selama satu tahun.


Kau tidak pernah ingin bepergian di malam Natal, kecuali untuk kepentingan mendesak seperti berbelanja. Kalau dipaksa untuk menjawab pertanyaan tentang hal apa yang mungkin kau sukai dari malam itu, maka jawabanmu hanya satu. Diskon besar-besaran yang kerap diberikan oleh supermarket di sekitar tempat kau tinggal. Dan keperluanmu keluar kali ini pun masih sama seperti tahun lalu, belanja untuk kebutuhan seminggu ke depan.


Maraknya diskon yang ada tentunya membuat banyak orang berbondong-bondong datang memenuhi pusat perbelanjaan. Kau terus berkeliling memastikan bahwa barang yang kau butuhkan tersedia, lalu memasukkannya dalam troli belanja. Tak jarang kau juga harus berlomba dengan banyak wanita paruh baya yang juga datang memburu diskon. Saat itu kau harus mundur dan mengalah sambil berharap masih ada barang yang tersisa untukmu.


Sebelum beranjak ke kasir, kau menyempatkan diri untuk menghampiri rak berisi macam-macam selai. Kau ingat kalau persediaan selaimu habis, saat yang tepat untuk mencoba varian baru. Diskon tiga puluh persen berada di depan mata, dan kau yakin bisa mencicipi selai buah persik yang menurut tesmoni temanmu sangat enak itu.


Tinggal satu toples. Kau merasa beruntung menemukan itu sebelum orang lain.


Sampai kemudian kau melihat tangan lain menyentuh kepala toplesnya saat kau juga memegangnya.


“Ah, maaf—”


“Ah—”


Seorang pemuda dengan gestur dan wajah cukup familier berdiri di sebelahmu. Mantelnya yang tebal membuatmu tak begitu sadar oleh perawakannya tadi, namun setelah beberapa detik memastikan, kini kau yakin bahwa dia adalah salah satu teman sekelasmu sewaktu SMA.


“Terushima?”


Tidak ada embel-embel san maupun kun yang kau gunakan, karena begitulah kau memanggilnya sejak dulu.


“Kau, apa kabar? Apa yang kau lakukan di sini?”


Tentu saja, “Berbelanja!” Jawabmu.


Kepalanya masih berwarna honey blonde, sama seperti dulu. Begitu juga beberapa giwang yang masih bertengger pada telinganya, yang justru bertambah.


“Ngomong-ngomong, boleh aku ambil ini?” Tanyamu, mengarah pada toples selai yang kini masih kalian pegang bersama.


“Oh, tentu!” Terushima dengan cepat melepaskan tangannya pada kepala botol selai buah persik yang kau idamkan.


“Sudah lama sekali sejak reuni terakhir. Apa yang kau lakukan sekarang?” Mendapatkan selai yang kau inginkan tak membuatmu lekas berlalu ke kasir dan mengakhiri rutinitas belanja mingguanmu. Kau memilih untuk mengobrol sejenak dengan pemuda itu.


“Aku bekerja sebagai hairstylist,” lalu dia merogoh saku mantelnya, mengeluarkan beberapa carik kertas yang selanjutnya ia sodorkan padamu. “Di salon dekat sini. Ini kupon diskon salon kami, kalau kau berminat.”


“Eh?” Matamu berbinar melihat lembaran itu. “Untukku? Terima kasih!” Bagi seorang oportunis sepertimu, hal seperti ini adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Meskipun kau tidak tahu kapan kau bermaksud memotong atau merawat rambutmu.


Kalau tidak salah ingat, terakhir kau memotong rambutmu adalah tiga hari setelah kau putus dengan mantan pacarmu yang terakhir. Sudah sekitar setengah tahun lalu. Dan kini, rambutmu sudah memanjang tanpa perawatan khusus yang mungkin membuatnya nampak kusut tak terawat. Kau terlalu malas merawatnya sendiri, pun tak berniat datang ke salon untuk meminta bantuan.


Beberapa tahun belakangan kau selalu memotong rambutmu sendiri, setelah kau sadar bahwa kau tidak terlalu suka melakukan kontak fisik dengan orang lain. Karena tak ada yang memprotes rambutmu dengan bilang bahwa modelnya aneh, maka kau meneruskan treatment pribadimu itu hingga saat ini.


“Ngomong-ngomong, kau sendirian?” Kali ini dia yang memulai pertanyaan.


“Ya.”


“Yang benar? Bukankah biasanya wanita senang belanja bersama di malam Natal?”


“Kau membicarakan siapa? Pacarmu?”


“Tentu saja kau!”


Kalian berpindah ke tempat yang lebih kosong setelah melihat beberapa orang mulai mendatangi rak selai.


“Aku sendirian.” Ucapmu pendek.


Bagi Terushima Yuji yang terkenal playboy pada masanya, status lajangmu mungkin akan membuatnya tertawa.


“Jadi apa kau ke sini menemani pacarmu?” Sambungmu kemudian.


“Aku pun datang sendiri.”


Kau menganggut kecil. Kalaupun dia datang sendiri bukan berarti dia tidak punya pacar. Dengan karakternya yang tak terlihat berubah, kau yakin bahwa Terushima setidaknya memiliki satu atau bahkan dua pacar sekaligus.


“Kalau begitu sampai jumpa lain waktu!” Kau berniat mengakhiri pembicaraan, namun dia segera menyahut detik berikutnya.


“Kau ada rencana setelah ini?”


“Um …, pulang kemudian tidur. Mungkin.”


“Bagaimana kalau makan, atau minum?”


“Bersamamu?”


“Ya, bersamaku.”


Kau tidak pernah bilang kalau Terushima tidak menarik, hanya saja dia bukan tipemu. Kau terlalu serius untuk pria yang gemar bermain semacamnya. Tapi kau mengiyakan ajakannya itu karena mungkin ini akan menjadi malam yang berbeda, dengan bernostalgia tentang masa SMA yang sempat kalian lewati bersama.


___________________


Malam sudah cukup larut saat kalian keluar dari izakaya[1], tempat kalian bertukar cerita selama beberapa jam terakhir. Kau menahan diri agar tak minum terlalu banyak, pun Terushima yang hanya memesan ginger ale dan kudapan ringan selama obrolan kalian mengalir dengan derasnya.


“Kau tinggal di mana?” Tanyanya sambil menyibak noren[2] yang menggantung di pintu masuk izakaya.


“Di sebuah apartemen, satu stasiun ke utara dari sini. Kau sendiri?”


“Aku di satu stasiun ke selatan. Tapi aku lebih banyak menghabiskan waktuku di salon.”


“Sepertinya kau sangat menyukai pekerjaanmu,” kau terkekeh kecil. Seorang Terushima Yuji yang kau kenal jarang serius dengan apa yang dia lakukan, ternyata memiliki passion dalam satu hal, itu terdengar menyenangkan. Lebih menyenangkan dibanding kehidupanmu yang hanya mengikuti arus.


“Membuat seseorang tampil lebih keren, bukankah itu menyenangkan?”


Kau mengangguk, setuju.


“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kau tidak merawat rambutmu?”


“Eh?”


Dia tahu kalau kau tidak gemar merawat rambut.


“Lihat, ujungnya bercabang dan lebih terlihat kusut dibanding rambut yang biasa kutemui.” Kini tangannya menjamah ujung rambut sebahumu yang semula tertutup syal.


“Ah—, aku memang jarang merawatnya karena terlalu sibuk.”


“Mau kubantu?”


“Ya?”


Kemudian kau berakhir di sebuah ruangan bergaya minimalis dengan cermin besar di beberapa sisinya. Kau melihat Terushima berdiri di belakangmu dengan alat tempur kebanggaannya. Botor spray, gunting, sisir, dan beberapa alat yang tidak kau ketahui namanya.


“Jangan gugup,” ucapnya sebelum mulai menggunting ujung rambutmu.


“Kenapa aku harus gugup?”


Terushima tak lebih dari teman sekelas yang bisa dengan mudah kau ajak bicara karena sifat supelnya. Gugup karenanya tentu saja bukan hal yang bisa kau terima.


Tapi itu beberapa tahun lalu. Sebelum kau mengetahui bagaimana raut seriusnya saat melakukan suatu hal yang ia suka.


Jari-jarinya bergerak terampil pada rambutmu. Sesekali dia mendekat untuk memeriksa apakah potongannya sudah sesuai dengan yang dia harapkan. Hanya gerak kecil, namun sanggup membuatmu sedikit salah tingkah saat melihatnya cukup dekat di permukaan cermin.


“Kau bilang kau free sekarang, bukan?”


“Ya.”


“Tidak berniat mencari yang baru?”


Kau menghela napas begitu mendengar pertanyaannya.


“Aku tidak berniat mencari yang baru untuk menggantikan yang lama kalau semua hanya akan berakhir sama.”


Terushima memberi jeda selama beberapa puluh detik sampai dia memulai kembali pembicaraan, “Sepertinya kau punya pengalaman yang buruk dalam menjalin hubungan ....”


“Kalau aku boleh bilang, sering.”


“Hmm ....”


“Aku ingin tahu dari sudut pandang seorang pria, apakah menurutmu tidak tertarik dengan apa yang mayoritas wanita suka itu adalah sebuah kekurangan?”


Kau melihat alis pria di belakangmu itu nyaris bertaut, “Kenapa memang?”


“Kurang lebih itu alasan mengapa aku sering dicampakkan.”


Tangan Terushima masih bergerak pada rambutmu yang mulai tertata rapi. “Menyukai dan tidak menyukai adalah hak setiap orang. Tapi aku tidak akan menyangkal kalau mayoritas laki-laki menyukai wanita yang bisa membuatnya terlihat lebih keren.”


“Hah?”


“Dilihat dari karaktermu, kau sepertinya bukan wanita yang gemar bergantung pada lawan jenismu. Tapi pada akhirnya, insting lelaki untuk selalu ingin menjadi seseorang yang bisa diandalkan pun kadang jadi masalah tipikal wanita sepertimu.”


Kau mengangguk, meskipun kau masih menganggap hal itu sebagai sesuatu yang kurang masuk akal.


“Lalu, apa kau juga sama seperti mayoritas laki-laki yang kau bicarakan ini?” Tanyamu.


“Aku sudah keren, kenapa aku harus bergantung pada wanita padaku untuk terlihat lebih keren?”


Ah—, dengan karakter playboy-nya itu mungkin akan lebih mudah baginya untuk bermain dengan wanita lain kalau pacarnya tidak terlalu manja padanya, bukan?


”—aku bercanda.” Lanjutnya kemudian. “Tentu saja aku ingin pasanganku bergantung padaku. Kalaupun di awal belum, aku hanya perlu membuatnya senyaman mungkin agar dia mau membuka hatinya untukku. Bukankah begitu?”


Ah, rasanya kau belum siap.


Kau belum siap bertemu Terushima baru dengan banyak hal yang harus kau setujui pada setiap kata-katanya.


“Sudah selesai.”


Kira-kira satu jam berlalu sejak kau duduk di atas  kursi di mana Terushima berada di belakangmu. Dan kini kau sudah menjelma menjadi sosok baru yang lebih segar dilihat.


Rambut bob sebahumu kini lebih pendek dengan highlight warna abu. Kau cukup, ah bukan, sangat puas dengan hasilnya.


Senyummu mengembang saat menoleh, dan menemukan Terushima sudah menunduk mendekatkan kepalanya di sebelahmu. Kau terkesiap dan sejenak membatu saat fokus kalian bertemu dalam jarak paling dekat dalam kontak yang pernah kau lakukan bersama seorang pria.


“Apa kau tidak ingin mencoba membuka hatimu untukku?”


Kau mencoba menghindari tatapan matanya sejenak, lalu menghela napas panjang. “Apa ini yang kau katakan setiap merayu wanita?”


“Kalau kau mau percaya, ini pertama kali aku melakukannya. Dan ya, aku sedang merayumu.”


“Akan kupikirkan setelah ini.”


Kedua ujung bibir Terushima tertarik membentuk sebuah senyuman sebelum dia mundur dan mengakhiri kontak yang cukup intens itu.


“Mau kuantar pulang?”


“Karena aku masih bisa pulang sendiri, maka aku menolaknya.”


“Bagaimana kalau kau memberikan kontakmu?”


“Untuk apa?”


“Aku akan terus memastikan bahwa kau tidak lupa kalau kau berhutang jawaban padaku.”


Bola matamu memutar, kesal. Tapi kau tetap memberikannya, tanpa lupa meminta kontaknya juga.


Dia melambaikan salam perpisahan saat kau mulai beranjak meninggalkan salon yang sudah sepi, sama seperti saat kalian masuk bersama tadi.


Kau melangkah begitu ringan menyusuri trotoar menuju stasiun, meskipun belanjaan di tanganmu cukup berat.


Malam Natal tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan kau tahu apa penyebabnya.


___________________



Note:

1. Izakaya: kedai untuk minum-minum.

2. Noren: tirai belah dua yang biasanya ada di kedai-kedai Jepang.


Comments