Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu|♯6. Bow and Arrow
Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu
2週間目: 弓矢
31 Juli
Tidak banyak hal berkaitan dengan penelitian yang bisa dilakukan menjelang retreat klub panahan tiba. Hari ini pun Rei harus sibuk dengan persiapan ia pergi esok hari. Ditambah, sebagai salah satu pengurus klub dia pun harus ikut mengepak beberapa peralatan yang harus dibawa karena mereka tidak yakin bahwa penginapan sekaligus dojo yang mereka sewa menyediakan alat yang cukup untuk semua anggota.
Kebetulan, hari ini Osamu juga harus menyelesaikan piket membersihkan ruang klub setelah hampir sebulan dibiarkan berantakan.
Sejak senior-senior mereka lulus, beban untuk para anggota semakin berat karena tak ada lagi Kita Shinsuke yang selalu melakukan ritual pembersihannya setiap hari. Tidak ada juga yang akan mengingatkan dengan sangat bawel bahwa melempar jersey kotor sembarangan bisa membuat mereka kualat. Karena itu pula, ruangan yang dulu selalu bersih dan rapi menjadi sangat kotor dan bau dalam waktu kurang dari satu bulan.
"Bagaimana tidak bau kalau kalian saling lempar celana dalam setiap hari," keluh Gin yang kali ini menjadi partner Osamu untuk bersih-bersih.
"Aku rindu Kita-san." Osamu membalas sambil memeras lap basah.
Di dekat mereka, Atsumu, Suna, dan beberapa junior masih belum selesai mengganti pakaian sehingga Gin sengaja menyindir agar perang celana dalam itu tidak terjadi malam ini.
"Samu, masih lama?" Atsumu menyempatkan diri untuk bertanya selepas ia selesai berganti dan menyambar tasnya.
"Tidak lihat ya?" Balas si abu-abu kesal. "Kalau belum mau pulang kenapa tidak membantu?"
"Katakan itu setelah kau membantu saat tugas piketku tiba."
Osamu mendecih sambil menyeret ember ke sudut ruangan. Yang tentu segera mendapat teguran dari Ginjima bahwa itu bisa merusak dasar embernya.
"Aku akan ke tempat Rei." Atsumu kemudian berkata. "Akan kutanyakan apa dia mau menunggumu atau pulang bersamaku." Tanpa menunggu balasan dari Osamu, si kuning kemudian melenggang keluar ruangan.
Si kepala abu-abu tidak terlalu peduli dengan itu, hanya saja rekan setim yang kini tengah menggosok bangku kayu di salah satu sudut ruangan itu nampak heran.
"Kau tidak apa-apa?"
"Apanya?"
"Bukankah beberapa hari lalu kau bilang kalau Kuwamoto itu pacarmu?"
"Lalu?"
"Tidak apa-apa Tsumu yang menjemputnya?"
"Ahー," Osamu segera tahu apa maksudnya. "Kau tidak dengar ya kemarin kalau itu semua beralasan?"
Alis Ginjima bertaut, tidak mengerti. Mau mencoba mengerti pun dia tidak terlalu percaya diri dengan apa yang selalu dipikirkan oleh si kembar.
Sosok Rei tidak terlihat saat Atsumu tiba di depan ruang klub panahan. Menurut salah satu anggota yang dia temui di sana, gadis Kuwamoto itu masih berada di dojo untuk mengemas beberapa barang untuk retreat esok hari. Atsumu bergegas menuju gedung utama, tempat dojo panahan berada.
Di tempat itu pun hanya ada beberapa orang tersisa. Butuh waktu beberapa menit sampai ia menemukan gadis yang ia cari tengah berbenah di dekat pintu masuk.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya si gadis begitu Atsumu datang menyapa. Lalu si kuning itu menjelaskan keadaan yang membuat Osamu tak datang menjemputnya.
"ーjadi, kau pulang sekarang atau mau menunggunya?"
"Aku masih belum selesai. Beda cerita kalau kau berniat membantu."
"Aku datang kemari karena tidak ingin membantu Samu piket."
"Kalau begitu pulang sana!"
Rei bisa melihat bibir si kuning sedikit mengerucut karena kesal. Tapi dia memilih untuk tak mengindahkannya dan kembali mengangkut beberapa busur panah ke dalam dojo. Ia pikir setelah itu Atsumu akan lebih memutuskan untuk pulang atau melakukan hal tidak jelas lainnya, namun tak disangka kalau dia turut mengangkut busur panah ke dalam dojo setelah melepas alas kakinya.
Di dalam dojo tidak tersisa orang lain, hingga membuat Atsumu menyimpulkan bahwa Rei adalah orang terakhir yang berada di sana setelah beberapa orang di luar yang berpapasan dengannya tadi pulang.
"Kalau tidak salah tadi ada seseorang yang menolak untuk membantu," menemukan Atsumu berada di belakangnya, Rei justru menyindir si kuning itu hingga bibirnya kembali mengerucut kesal.
"Berisik!" Rutuknya.
Sekitar lima menit berlalu sampai mereka selesai merapikan busur beserta anak panah ke dalam lemari penyimpanan.
Dojo terlalu luas untuk disinggahi dua orang, hingga suasana terasa makin hening. Atsumu memilih untuk berputar, melihat apa yang ada sementara Rei absen sejenak untuk mengambil tasnya di ruang lain.
Apa yang menyenangkan dari klub ini? Pikir Atsumu.
Saat mereka SD hingga SMP dulu, Rei lebih sering turut bermain voli bersama mereka karena memang begitulah biasanya. Dia akan mengikuti apa yang Atsumu dan Osamu lakukan. Mungkin hal itu pula yang membuat Atsumu kesal saat di awal tahun pertama mereka di SMA, Rei memilih klub panahan sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Apa yang menarik dari olahraga yang mayoritas peminatnya adalah kakek-kakek?
Kata gadis itu, dia mulai menyukai panahan karena salah satu tokoh dalam drama favoritnya pun menekuni hal sama. Yang hingga saat ini masih Atsumu pikir sebagai alasan yang bodoh.
Padahal kalau dia turut bergabung dalam klub bola voli, setidaknya mereka berlatih di tempat yang sama.
"Rei, apa yang membuatmu masuk klub ini selain karena aktor kesayanganmu itu?" Atsumu bertanya seiring mereka melewati koridor yang cukup gelap.
"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Hanya penasaran."
Sebelumnya pun Atsumu akan sesekali menyinggung perihal dia tak ikut bergabung bersama tim bola voli. Karena baginya, pun bagi Rei kebersamaan mereka bertiga adalah hal yang paling wajar sehingga bukan tidak mungkin salah satu dari dua belah pinang itu akan menanyakannya.
Biasanya Rei akan lebih mudah menjawab apabila yang melontarkan pertanyaan itu adalah Osamu. Namun bagi Atsumu yang berpikir voli adalah bagian terpenting dalam hidupnya, Rei sedikit kesulitan untuk membuatnya mengerti. Namun, ini adalah kali pertama di mana Atsumu benar-benar menanyakannya tanpa sedikit pun membubuhkan implikasi bahwa yang dipilihnya adalah sebuah kesalahan.
"Aku juga ingin seperti Atsumu," mulainya.
Lalu satu-satu yang terdengar dari si kepala kuning itu hanyalah, "hah?"
"Aku ingin melakukan hal yang benar-benar aku suka, dan bukan semata-mata karena kalian juga melakukannya."
"Tapi dulu kau bilang bahwa kau suka voli."
"Karena aku bermain bersama kalian. Kalau tidak, mungkin tidak akan semenyenangkan itu."
Atsumu diam. Padahal biasanya dia akan mengonfrontasi setiap hal yang dia suka itu dibilang tidak menyenangkan atau membosankan.
Menyukai hal yang kedua sahabatnya sukai adalah hal yang selalu wajar bagi Rei sejak ia kecil. Namun itu berangsur berubah semenjak dia mengenal panahan, dan ketika dia mulai mengetahui apa yang sebenarnya dia inginkan sejak saat itu.
"Apa kau tahu representasi dari busur dan anak panah?" Rei kembali memulai setelah jeda yang cukup lama tercipta.
"Mana aku tahu." Salah besar menanyakan hal itu pada Atsumu yang hanya terobsesi pada voli.
"Kudengar busur dan anak panah itu adalah salah satu simbol dari kebahagiaan. Aku yakin sih, kau tidak akan tahu karena kerap bilang bahwa kau selalu tertidur di mata pelajaran Sastra Klasik."
Atsumu tidak membalas. Tapi kalau mereka berada di tempat yang cukup terang, Rei yakin kalau dia tengah memasang muka kesalnya yang tak kalah menyebalkan.
"Ah, satu lagi. Katanya, anak panah juga melambangkan sebuah prinsip yang teguh. Seperti dia yang tidak akan lagi menoleh setelah dilepaskan. Bukankah itu mirip denganmu?"
"Denganku?"
"Kau melesat, jauh seperti anak panah. Padahal rasanya seperti baru kemarin saat kita bertiga bermain bersama di taman. Tapi tahun kemarin saja kau sudah diundang untuk latihan bersama secara nasional. Rasanya bukan seperti temanku."
"Hah? Maksudmu?!"
Atsumu yang dia kenal itu bodoh dan naif. Mana pernah Rei membayangkan kalau dia akan berada di puncak, dan bahkan akan lebih bersinar lagi setelah ini.
"Bukan apa-apa. Lupakan!"
Bicara dengan Atsumu saat ini menjadi cukup canggung semenjak proyek riset mereka dimulai. Karena itu Rei memilih untuk menyudahi pembicaraan. Selain karena Atsumu pun belum tentu mengerti apa maksudnya.
Cahaya di ujung lorong sudah nampak selepas Rei mengucapkan kalimat terakhirnya. Di saat itu juga dia merasa ponsel di saku celananya bergetar, dan nama Osamu yang pertama kali ia lihat pada layarnya.
"Ya?" Ucapnya setelah panggilan tersambung.
"Atsumu sudah menjemputmu? Aku baru saja selesai."
"Dia bersamaku. Aku juga baru saja selesai."
"Aku tunggu di depan gerbang."
"Un."
Lalu sambungan terputus. "Osamu menunggu di gerbang, katanya."
Atsumu tidak membalas. Mereka terus berjalan beriringan sampai cahaya di ujung lorong terlihat dan gerbang sekolah nampak setelahnya. Di sana, Osamu tengah bersandar pada tembok pagar dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana latihannya.
"Ayo pulang," ucap Rei saat mereka berada di jarak yang cukup dekat.
Osamu mengulurkan salah satu tangannya, yang kemudian segera disambut oleh si gadis. Layaknya pasangan yang mengumbar kemesraan pada umumnya. Sepertinya mereka sudah mulai terbiasa melakukan ini setelah sebelumnya harus menunggu paksaan dari Atsumu.
Sebuah progres.
Namun entah mengapa Atsumu tidak begitu suka dengan hal itu.
Comments
Post a Comment