KuroYachi - Finding Mr. Right

Finding Mr. Right




ーa KuroYachi Alternate Universeー



****


Konon tampan, kaya, dan mempunyai intelegensi tinggi adalah tiga faktor penting bagi seorang wanita dalam memilih pria. Aku mungkin salah satu penganutnya, meskipun standar yang kutetapkan tidaklah setinggi wanita di luar sana yang memiliki wajah rupawan dan karir yang begitu cemerlang.


Aku hanyalah seorang Yachi Hitoka. Wanita yang banyak mendapat cap 'datar dan membosankan' dari orang-orang yang mengenalku, dan hanya bekerja sebagai pegawai kantoran biasa dengan gaji yang biasa pula. Tentu saja dengan kualifikasi sedemikian rupa, aku tidak akan memberikan standar tinggi terhadap laki-laki yang mencoba mendekatiku. 


Cukup mereka yang bisa mengerti diriku, dan bisa membuatku nyaman. Aku juga tidak akan menanyakan berapa penghasilan mereka dalam setahun, dan mengajukan berbagai pertanyaan materialistis semacamnya. Karena intuisiku dalam beridealisme selalu berkata bahwa materi bisa diupayakan asal suatu pasangan bisa saling mendukung.


Namun, semua idealismeku akan lelaki yang aku inginkan tiba-tiba kandas di tengah jalan saat tiba-tiba ayah memintaku menemaninya ke sebuah acara makan malam bersama salah satu koleganya. Dan sejak malam itu, aku tahu kalau mereka mencoba menyambung benang merah melalui sebuah perjodohan yang mengharuskan aku dan 'dia' untuk menikah suatu hari nanti.


Namanya Kuroo Tetsurou. Dua tahun lebih tua dariku, dengan riwayat pendidikan dan karir yang bagus. Dia masuk dalam daftar lulusan terbaik Universitas Nagoya dengan jurusan Hukum. Yah, meskipun Meidai belum bisa melampaui popularitas Universitas Tokyo dan beberapa Universitas lain yang berada di atasnya, setidaknya bagiku yang hanya bisa masuk ke Universitas swasta, hal itu merupakan pencapaian yang luar biasa. 


Profesinya sekarang adalah pengacara. Ya, pengacara. Profesi yang masih kuanggap keren sampai saat ini setelah menonton banyak drama bertema kasus kriminal. Dan hal paling penting yang ingin kujelaskan di sini adalah, dia tampan!


Percayalah padaku! Aku bisa memberi nilai 9,99 dari angka 10 hanya dengan melihatnya duduk di depanku malam itu. Tindak-tanduknya lugas dan membuat siapapun akan betah memperhatikannya. Dan aku ingat betul seluruh restoran terasa hening ketika dia datang saat itu.


Namun, itu tak lantas membuatku bermimpi untuk benar-benar menikahinya.


Kenapa?


Sudah pasti, karena kami tidak akan cocok. Aku pun yakin dia berpikir demikian. Dengan ketampanan dan karirnya yang cemerlang, bukan tidak mungkin seorang Kuroo Tetsurou bisa mendapatkan wanita mana pun yang dia inginkan. Dan jelas, wanita itu pasti bukanlah orang yang mendapat julukan datar dan membosankan seperti aku. Karena itu, aku berpikir untuk bernegosiasi dengannya untuk menolak perjodohan ini.


Tapi apakah kalian tahu apa jawabannya saat aku mengutarakan maksudku itu?


"Kenapa kita tidak mencoba untuk saling mengenal dulu, Nona Yachi?" Katanya, dengan senyum segar, sesegar embun pagi yang langsung membuatku waspada dengan kemungkinan bahwa pria ini terlalu terbiasa bermain wanita.


****


Lalu, dimulai lah proses pendekatan yang lebih ingin kusebut sebagai cara untuk tidak membuat ayahku stres karena putrinya tidak ingin menikah dengan pria yang dipilihnya. Aku yakin Tetsurou pun melakukan hal yang sama agar dia tidak dicoret dari kartu keluarga.


Sebagai langkah awal, pria itu mengundangku ke acara minum teh di rumah keluarganya. Konon chakai adalah tradisi keluarga Kuroo yang dilakukan secara turun-menurun. Hal itu membuatku merasa sedang memasuki tatanan feodal, dan juga membuatku berpikir bahwa aku akan terikat di dalam rumah ini apabila aku dan Tetsurou benar-benar menikah.


Karena itu aku mati-matian untuk melupakan betapa luwes dan rupawannya pria itu menggunakan setelan hakama dengan emblem keluarga Kuroo pada haori-nya.


Pria ini terlalu sempurna untukku. Dan aku tidak ingin jatuh cinta padanya.


Lalu, pertemuan kami berikutnya berupa kencan yang dia usulkan dengan dalih ingin lebih mengenalku. Aku sempat menolaknya, namun sepertinya dia telah meminta izin ayahku lebih dulu bahkan ia sebelum bertanya padaku. 


Bukankah itu yang disebut dengan 'sialan'?


"Aku ingin tahu sampai kapan kau akan berakting seperti ini, Tuan Kuroo?" Tanyaku sambil menyesap kopi dengan pelan dan mencoba untuk tetap tampak bersahaja. Tentu saja aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri di depannya, dan di depan banyak pasang mata yang beberapa kali memperhatikan kami yang memilih sudut kafe untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa kudapan yang enak.


"Berakting?" Kedua alisnya nyaris menyatu dengan kerut heran di dahi yang begitu jelas.


"Kenapa kita tidak mencoba untuk berkompromi dengan orang tua kita masing-masing untuk menghentikan perjodohan konyol ini?"


"Sayangnya aku lebih ingin berkompromi denganmu demi lancarnya perjodohan ini."


Hah?!


Dia tidak serius ingin menikahiku kan?!


Iya, aku tahu banyak pernikahan yang berakhir dalam perceraian. Dan aku tidak ingin aku juga berakhir demikian. Aku masih percaya bahwa pernikahan tanpa didasari rasa cinta itu lebih rentan guncangan. Meskipun banyak yang bilang bahwa pernikahan terjaga bukan hanya faktor perasaan saja, melainkan juga komitmen.


"Maafkan aku Tuan Kuroo. Aku takut aku tidak bisa menjawab harapanmu itu." Ujarku.


"Boleh aku tahu alasannya?"


"Sederhana. Sesederhana bagaimana pendapat orang-orang di sekitar melihat kita berdua," aku mulai menjawab setegas mungkin. "Berbeda."


"Bukankah dengan adanya perbedaan satu pasangan bisa saling melengkapi?"


"Benar. Tapi kau sudah sempurna, tidak perlu pelengkap lagi. Kau cukup mencari seseorang yang kurang lebih sama denganmu, itu saja."


Tetsurou melipat kedua tangannya sambil tersenyum. Ah, bukan. Itu seringai tipis yang sekilas nampak seperti senyuman seandainya aku tak teliti memperhatikannya.


"Aku mengerti," ucapnya. "Artinya kau tidak memiliki kepercayaan diri untuk bersanding denganku, begitu?"


Aku tidak bisa berkilah, tapi aku ingin sekali menyiram sisa kopi dalam cangkirku ke wajahnya. Dan tentu saja, hal itu tidak pernah kulakukan. Kemudian, kencan pertama kami hanya meninggalkan kesan negatif yang membuatku merasa bahwa pria itu sedikitー ah tidak, sangat narsis.


****


Kencan kedua lebih mengejutkan! Dia mengajakku mampir ke apartemennya yang berada di tengah kota.


Padahal tempat kerjanya tidak begitu jauh dari rumah keluarganya. Tapi dia memilih untuk tinggal selama tujuh hari dalam seminggu di apartemen yang dia sewa dengan alasan privasi. 


Dan yang dia maksud dengan privasi itu adalah rak penuh buku foto wanita berpakaian minim yang sebagian besar hanya mengenakan bra dan cawat saja. Aku menemukan benda-benda itu tertata rapi saat tidak sengaja menengok ke dalam kamar yang pintunya kebetulan terbuka.


"Bukankah laki-laki normal pasti punya satu atau dua jilid buku seperti itu?" Tanyanya tanpa merasa bersalah.


"Satu atau dua. Dan kau mempunyai puluhan. Kurasa aku perlu menanyakan kesehatan seksualmu, Tuan Kuroo!"


"Aku baik-baik saja. Dan kau boleh mencobanya kalau kau mau. Kupikir itu akan membuatmu menyukaiku lebih cepat dibanding berargumen seperti ini." Tentu saja, dia tidak melupakan ulasan senyum secerah mentari setelah berkata demikian. 


Aku muak.


Setidaknya hari itu keinginanku untuk tidak menikahinya menanjak sepuluh tingkat sekaligus.


****


"Malang sekali nasibmu, Hitoka!" Kiyokoー sahabat sekaligus kakak kelasku sewaktu SMA menepuk bahuku setelah menegak habis sisa bir dalam gelasnya. "Aku beruntung ayahku tidak sekolot itu."


"Aku tidak bisa memberimu solusi selain berhati-hati pada pria yang kau sebut dengan nama Kuroo itu!" Kata Runa yang hari ini sangat ajaib dengan tidak sibuk bermesraan dengan pacarnya, Yuji yang juga turut duduk di sebelahnya. "Dia bisa merenggut keperawananmu!"


"Keperawanan?"


Ingin rasanya aku menjejali mulut Runa dengan tisu toilet kalau saja dia tidak sedang mabuk. Mulutnya hampir sama seperti ember murahan yang sudah digunakan selama bertahun-tahun dan banyak berlubang saat dia tidak sadarkan diri.


Namun yang membuatku sedikit resah adalah, suara yang mulai familiar oleh telingaku yang terdengar mempertanyakan maksud kata-kata Runa tentang keperawanan beberapa detik yang lalu.


"Hey, siapa kau?" Dengan sisa-sisa kesadarannya Runa mencoba mengenali siapa yang kini mendekat ke arah meja mereka.


"Aku yang dia sebut dengan Kuroo, Nona."


Mendengar hal itu Kiyoko spontan Kiyoko menarik lenganku dan berbisik, "Kau tidak bilang kalau dia setampan ini!"


"Aku sudah bilang."


"Kau tidak merincinya!"


"Boleh aku bergabung?" Tanya Tetsurou. "Aku baru saja selesai dengan rekan-rekanku. Tapi sepertinya aku belum ingin pulang .…"


"Tidak!" Aku mencetus, namun kali ini Kiyoko menyenggol bahuku sambil menyahut, "tentu saja boleh!"


Tetsurou duduk di salah satu sisi meja yang kosong kemudian memperkenalkan diri dengan sangat sopan seperti biasanya. Saat itu pandangan teman-temanku menukik tajam ke arahku seolah menuduhku berbohong tentang Tetsurou.


"Mana yang kau bilang lelaki mental molester? Apa mempunyai tunangan setampan ini membuatmu tidak percaya kenyataan kemudian tiba-tiba sakit jiwa dan berhalusinasi?" Entah sadar atau tidak, kini Runa mengacungkan telunjuknya ke arahku.


Rasanya aku ingin menyumpal oshibori ke mulutnya saat itu juga kalau saja aku tidak ingat bahwa hanya kepada Kiyoko dan Runa saja lah aku bicara terbuka akan banyak hal, termasuk perjodohan yang direncanakan oleh dua makhluk kolot yang menjelma menjadi sosok ayahku, juga ayah Tetsurou yang merencanakan semua ini.


Ah iya, bukan mereka berdua saja. Karena kadang aku harus rela membagi rahasiaku dengan laki-laki yang kini masih duduk di samping Runa dan mencoba menenangkan gadis itu saat dia sudah mulai mengamuk. Dan kadang, Kiyoko juga akan membawa kekasihnya yang bekerja sebagai guru SD. Namanya Koushi, dan dia berkali lipat lebih dewasa dari kami hingga aku sering berharap dia datang agar bisa memberiku sedikit nasihat tentang kehidupan. Tapi kesibukannya membuat Koushi banyak melewatkan waktu untuk ikut berkumpul, bahkan untuk sekedar berkencan dengan Kiyoko. Berbeda dengan Runa dan Yuji yang lebih sering terlihat bersama karena mereka bekerja di tempat yang sama sebagai staf salon kencatikan.


"Siapa yang kau sebut dengan molester, Nona?" Tetsurou bertanya dengan tawa kecil sembari menoleh ke arahku setelah ia melepaskan pandangannya dari Runa yang kini sedang memukul-mukul bahu pacarnya.


Sejenak aku kehilangan kata untuk menjawabnya. Tapi aku pun yakin kalau dia tahu siapa yang Runa, ah, maksudku aku maksud.


"Kau menarik sekali! Mungkin kita harus banyak ngobrol!" Tetsurou menyambung. Dia mengeluarkan dompet dari saku jas, lalu menarik secarik kertas berupa kartu nama di dalamnya. Dia menyodorkan kertas itu pada Runa lalu berkata, "Aku berpikir untuk memiliki harem suatu saat nanti. Mungkin kau bisa menjadi istri keduaku setelah Nona Yachi."


Serta merta Yuji menepis tangan Tetsurou yang masih mengulurkan kartu nama itu, lalu menarik mundur tangan Runa yang berusaha untuk menerimanya.


"Ha-harem?" Kiyoko tergagap.


"Ah, mungkin kau tertarik?" Kini Tetsurou menyodorkan kartu itu ke arah Kiyoko yang masih sedikit terguncang mendengar kata "harem".


"Kau bercanda?!" Yuji yang sepertinya mulai terganggu dengan keberadaan pria baru itu akhirnya membuka suara.


"Entahlah. Hanya orang jenius yang bisa mengerti dan merespon candaku dengan benar."


Hah?!


"Kalau begitu aku jenius!" Sahut Runa, lalu merebut kartu di tangan Tetsurou. "Wah, kau pengacara?"


"Benar. Kau bisa menggunakan jasaku apabila ingin bercerai dengannya suatu saat nanti!"


"Uapa?!" Yuji berdiri, hingga perhatian semua orang nyaris terpusat ke meja kami. Dan aku hanya bisa memijat pelipisku, pening.


Sebelum terjadi keributan yang lebih parah lagi, aku menarik Tetsurou keluar dari izakaya tempat kami berkumpul dan bermaksud mengajaknya pulang. Stasiun yang kami tuju sama, hanya saja kami harus menaiki kereta yang berbeda. Karena itu aku pikir tidak ada salahnya untuk berjalan bersama sampai stasiun meskipun sebenarnya aku tidak ingin.


"Sepertinya aku harus berkenalan dengan semua temanmu. Sepertinya mereka unik." Ucap Tetsurou di tengah keheningan yang menyelimuti langkah kami berdua.


"Lalu menimbulkan kerusuhan seperti tadi?" Aku mencetus, menolak keinginanya dengan satu kalimat tanya.


Lagi pula aku tidak punya banyak teman yang bisa kukenalkan padanya, andai aku benar-benar terpaksa menyetujui perjodohan ini.


"Aku hanya tidak ingin menutupi seperti apa diriku di depan teman-temanmu."


Ya. Aku berterima kasih akan hal itu karena dengan demikian, mereka pun tidak akan meragukan perkataanku tentangnya yang punya mental molester. Aku bisa melihat ada impak luar biasa pada Kiyoko sesaat setelah Tetsurou mengutarakan gurauannya tentang 'harem'. Aku yakin temanku itu sedikit anti pada pria ini sekarang.


"Baiklah, baiklah. Terserah kau!" Balasku menyerah.


Jangan berdebat dengan orang bodoh. Meskipun aku yakin kalau IQ-nya lebih tinggi dariku, aku ragu kalau volume otaknya penuh dengan banyak hal yang bisa dinalar dengan akal sehat. Setidaknya, akal sehat dalam definisiku sendiri.


"Bagaimana denganmu?" Sambung Tetsurou lagi. Kali ini membuatku terpaksa berpaling ke arahnya, heran.


"Denganku?" Aku mencoba mengulang pertanyaannya.


Angka digital pada papan pemberitahuan menunjukkan angka sepuluh lebih empat puluh lima menit. Aku beruntung kami tiba sebelum kereta terakhir terlewat, karena aku tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan orang ini.


"Aku tidak mencoba berpura-pura menjadi orang lain di depanmu dan di depan orang-orang yang kau anggap spesial sebagai bentuk keseriusanku untuk mengenalmu. Bagaimana denganmu?" Tanyanya lagi.


"Maaf? Aku merasa aku yang di depanmu ini adalah diriku seutuhnya."


"Benarkah?"


Tepat setelah Tetsurou menyelesaikan kata itu, kereta yang ia tunggu telah datang. Memang, menurut papan jadwal keretanya akan datang lebih awal dibanding punyaku. Jadi aku tak harus sibuk memikirkan apa yang harus aku katakan untuk membalasnya.


"Baiklah, biarkan aku mengenalmu dengan caraku sendiri. Sampai jumpa!"


Lalu pria itu berlalu meninggalkanku dengan ikut berbaris dalam rantai para penumpang yang mengantre untuk masuk ke dalam kereta.


Sejenak aku bergeming, berdiri di belakang garis pada platform. Tidak mengindahkan orang-orang yang hilir mudik melewatiku. Aku menunduk, kemudian mataku menangkap pump shoes warna hitam yang selalu kupakai untuk untuk bekerja.


Aku tidak pernah nyaman dengan sepatu macam ini, dan selalu menyimpannya di loker perusahaan saat jam kerja selesai. Sebagai gantinya, aku selalu memakai sneakers saat keluar dari kantor. Tapi hari ini aku cukup terburu-buru dan hanya sempat memasukan sneakers-ku ke dalam tas supaya aku bisa memakainya di izakaya setelah aku selesai dengan teman-temanku. Tapi aku tak berakhir memakainya begitu aku ingat bahwa aku tidak boleh lengah di depan Tetsurou. Setidaknya, agar pria itu tidak mencemoohku yang tidak akan bisa memakai sepatu ber-high heels setinggi sepuluh senti dalam waktu lama karena pump shoes saja sudah membuatku pegal.


Aku duduk sejenak, melepas sepatu itu untuk diganti dengan sneakers yang lebih nyaman. Kemudian aku berpikir, mungkingkah ini yang dia sebut dengan tidak menjadi diriku sendiri?


Memangnya, apa yang dia tahu tentangku?


Mungkin, aku hanya terlalu memikirkannya saja.


Eh?


Aku, memikirkannya?!


****


Setelah merasa Tetsurou cukup mengganggu pikiranku selama beberapa waktu belakangan, aku lega dia tidak lagi mencoba menghubungiku atau tiba-tiba datang ke rumah untuk mengajakku kencan dan hal seperti itu tidak pernah bisa aku tolak karena ayahku tidak akan membiarkan itu terjadi.


Hariku begitu damai hingga aku nyaris lupa kalau hingga beberapa hari lalu ada seorang pria yang telah diatur untuk menikahiku dan dia sangat persisten sekali meskipun aku bilang bahwa aku menentang perjodohan yang mengharuskan aku dan dia terikat.


Nyaris.


Kalau saja aku tidak bangun dari tidurku hari ini, lalu turun untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi perut kosongku dengan masih mengenakan kaus dan celana pendek khas musim panas yang menurutku paling cocok sebagai pengganti musim panas.


"Ah, dia selalu jadi pemalas saat akhir pekan tiba." Terdengar suara ibuku dari bawah.


Aku menuruni tangga menuju ruang makan sambil menguap, dan satu tangan terselip ke dalam kaus untuk menggaruk salah satu bagian perutku yang gatal.


"Ah, itu dia!"


Aku masih dalam proses mengumpulkan seluruh kesadaranku saat aku melihat sosok yang beberapa hari ini tidak kulihat, maupun kudengar suaranya tengah duduk tenang di seberang ayahku sambil tersenyum dan mengucap, "Selamat pagi!"


Aku terguncang.


"KENAPA KAU ADA DI SINI?"


****


"Tinggal bersama kita?" Aku yakin dahiku berkerut saat memastikan hal itu pada ibuku.


Dia bilang, Tetsurou akan tinggal bersama kami selama beberapa minggu ke depan demi lancarnya pendekatan yang sedang kami lakukan.


Permisi! Aku tidak merasa sedang melakukan pendekatan dengannya!


"Apa yang terjadi di kepala kedua orang tua botak itu?!" Aku ingin mengumpat, tapi tidak kulakukan karena aku tahu ayah akan mendengarnya dari bawah. "Aku ini seorang gadis meskipun umurku sudah cukup untuk pernikahan dan sejenisnya!"


"Kau yang selalu berkata seperti ini yang jelas membuat ayahmu khawatir," ibuku berkomentar sebelum keluar dari kamar.


Baiklah. Itu berarti, selama Tetsurou berada di sini aku tidak boleh memakai pakaian sesukaku, tidak boleh ngemil di sembarang tempat, tidak boleh minum bir di tengah malam. Dan kalau perlu, aku tidak akan keluar dari kamarku.


Sialnya! Ayah memberikan kamar tepat di sebelah kamarku yang selalu kosong untuknya. Dan balkon yang ada pada kamar kami saling menyambung hingga dia bisa seenaknya mengetuk jendela geser kamarku di saat malam tiba. Aku yang sudah cukup suntuk oleh pekerjaan dan orang-orang di kantorku menjadi makin stres ketika jam tidurku semakin berkurang karena ulahnya ini. Lebih parah lagi, Tetsurou tidak akan berhenti mengetuk jendela sampai aku mau membuka. Namun itu sampai hari ini saja karena kemudian dia tau bahwa kunci jendela kamarku ternyata rusak jadi dia bisa keluar masuk sesukanya.


Aku ingin mati!


Bagaimana kalau dia tiba-tiba masuk saat aku sedang ganti baju?!


****


Aku berjalan menuruni tangga menuju ruang makan saat Tetsurou masih berkutat dengan ponselnya, menelpon seseorang. Tidak banyak yang aku dengar kecuali dia tampak ngotot dengan sesuatu lalu dengan cepat memutus sambungan teleponnya. Entah karena dia memang tidak ingin berbicara dengan lawannya itu lagi, atau karena dia sadar bahwa aku datang.


"Kemana ayah dan ibuku?" Tanyaku ketika aku sadar bahwa kedua orangtuaku tak ada di meja makan seperti biasanya.


"Sedang ingin olahraga, katanya." Dia menjawab, lalu mengantongi ponselnya dan berdiri.


Aku duduk di depan nampan berisi sarapan yang aku yakin bahwa itu adalah jatahku, sementara Tetsurou bergerak menuju lemari pendingin untuk mengambil sesuatu.


"Aku memasak sesuatu yang bisa jadi pencuci mulut, kalau kau mau." Katanya, kemudian kembali dengan mousse cake ber-topping irisan buah persik.


Memasak, katanya?


"Kau?" Aku melotot melihat betapa indahnya bentuk makanan itu, walaupun sebelumnya aku ragu apakah itu benar-bear makanan. Terlebih, Tetsurou yang memasaknya.


"Kenapa? Heran?"


Tentu saja! Aku baru tahu kalau manusia bermental molester seperti dia bisa mengolah bahan menjadi makanan!


"Mau coba?"


Aku mengangguk setelah menyeruput habis sup miso dalam mangkuk kecilku. "Kuharap aku tidak mati setelah memakannya. Atau, apakah harus menulis surat wasiat dulu?"


Tetsurou terkekeh mendengar kelakarku yang kupikir tidak terlalu lucu. Ada yang aneh padanya hari ini. Atau lebih tepatnya, sejak dia menutup sambungan telepon tadi. Aku terus memperhatikannya, bahkan sampai ia selesai memotong kue dan menyodorkannya padaku.


"Kenapa? Kau mulai jatuh cinta padaku?" Tanyanya, membuatku bergidik cepat.


Aku mendecih meskipun tanganku bergerak menerima potongan mousse cake langsung dari tangannya. "Kau tidak bekerja?" Sambungku kemudian, begitu aku sadar dia masih memakai baju santai yang tidak mengindikasikan bahwa dia sudah siap untuk menjadi budak korporat sepertiku.


"Aku pengacara. Aku bekerja saat aku ingin."


"Baiklah, aku mengerti. Jadi tidak perlu kau teruskan!"


Tetsurou kembali duduk di kursi  berseberangan denganku, kemudian mulai memperhatikanku yang mulai memakan kuenya.


Enak. Seperti kue sungguhan! Maksudku, rasanya seperti kue yang bisa dibeli di patisserie terkenal. Namun aku tetap diam tanpa bermaksud untuk memuji, begitu melihat senyumnya merekah sesaat setelah dia melihat rautku dalam suapan pertama.


Aku bermaksud tidak mengindahkannya, sampai kemudian dia membuka suara lagi. "Hei, ada sesuatu yang ingin aku katakan."


Suaranya halus. Ya, sejak awal suaranya memang halus, tapi aku merasa kali ini gema yang dihasilkan dalam gendang telingaku setingkat lebih halus dibanding biasanya.


"Apa? Kau seperti ingin mengatakan bahwa hidupmu hanya tinggal sebentar lagi," tuturku bercanda, namun sepertinya itu tidak lucu karena dia tidak tertawa pun tersenyum barang sekejap.


"Kalau aku bilang begitu, apa yang akan kau lakukan?"


Hening. Aku tidak tahu harus menjawab apa sementara rautnya cukup serius untuk menanggapi candaku barusan. "Kau, serius?"


Dia diam selama beberapa detik, kemudian menyemburkan tawa keras-keras. "Rupanya hanya Runa yang cukup pintar menanggapi gurauanku."


Decak kesal segera terlontar dari mulutku yang kemudian mencetus, "Hanya orang bodoh yang menjadikan kematian menjadi bahan gurauan." Dan seketika aku mengakui bahwa diriku juga bodoh, karena akulah yang memulai duluan.


"Aku serius, ingin bicara denganmu," ucap Tetsurou kemudian.


"Aku harus bekerja, Tuan Kuroo. Aku budak korporat, bukan pengacara sepertimu yang bisa meliburkan diri sesuka hati!"


"Tidak akan makan waktu lama."


"Kalau sepuluh menit cukup, maka aku bisa tinggal."


"Baiklah!"


Aku mengurungkan diri untuk beranjak, kemudian melipat kedua tanganku di atas meja dengan fokus penuh ke arah Tetsurou.


"Aku ingin berhenti menjadi pengacara," mulainya dan membuatku mau tak mau mengernyit.


"Karena penghasilan pengacara tak sebesar dulu hingga kau tidak punya motivasi untuk melakukannya?" Tanyaku.


Menurut berita dalam surat kabar yang pernah aku baca, penghasilan pengacara menurun sejak beberapa tahun yang lalu dan membuatku spontan berpikir bahwa itu salah satu alasan kenapa Tetsurou ingin berhenti menjadi seorang pengacara.


"Permisi, Nona. Kau lupa kalau mungkin penghasilanku berkali-kali lipat lebih banyak daripada jumlah yang kau hasilkan?"


Bola mataku memutar kesal, aku menyesal telah bertanya sedemikian rupa. "Baik. Terima kasih sudah mengingatkan. Aku juga hampir lupa kalau kau adalah salah satu lulusan terbaik di almamatermu."


Tetsurou terkekeh sejenak, namun kemudian dia kembali serius setelah mata kami bertemu. "Menurutmu, apakah menjadi tukang roti itu adalah pekerjaan yang cukup bagus?"


"Tukang roti?" Alisku bertaut. "Kau tidak bermaksud banting setir dari pengacara ke tukang roti kan?"


"Menurutmu?"


Aku diam. Dan menyimpulkan retorisnya itu adalah jawabannya sendiri bahwa dia tidak sedang bercanda.


"Apa kau tahu? Aku sempat tidak diterima di universitas di tahun pertama aku lulus. Dan selama setahun menjadi roninsei, aku kerja sampingan di sebuah patisserie yang mana pemiliknya juga seorang pengajar di sebuah kelas memasak. Dia sering mengundangku ke sana."


Karena itu kah kuenya seenak ini?


"Di tahun kedua aku kembali mengikuti tes masuk dan menjadikan ilmu hukum sebagai objek pembelajaran. Aku sempat berharap aku gagal di tes itu, sayangnya doa orang tuaku lebih didengar dari doaku sendiri hingga aku tidak lagi bisa datang ke kelas memasak, dan juga keluar dari kerja sambilanku di patisserie."


"Lalu?" Aku merasa bahwa ceritanya menarikku untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya.


Tetsurou bergerak, sedikit mengubah posisi duduknya dengan tetap menatapku. "Beberapa waktu lalu, salah satu temanku bilang bahwa orang tuanya yang mempunyai toko roti di kampung halaman berhenti menjalankan usahanya karena faktor usia. Dia tidak berniat untuk meneruskan usaha itu, pun saudaranya yang lain. Dan sepertinya, dia pun merasa sayang apabila toko itu ditutup tanpa menemukan pengganti yang bisa menjalankannya ...."


Sampai di sana Tetsurou memberi jeda. Hal itu membuatku ingin bertanya banyak hal kepadanya termasuk, "Kenapa kau mengatakan ini kepadaku?"


Awalnya, aku hanya mendengar tawa kering yang datang darinya. Tapi tidak kusangka kalau jawaban yang dia berikan akan lebih serius dari pertanyaan yang kuajukan itu sendiri.


"Karena ayahku pernah bilang, bahwa kau adalah tipe orang yang mungkin akan mendukungku," jawabnya.


Aku pernah beberapa kali bertemu dengan ayah Tetsurou sebelum kami diperkenalkan. Aku hanya tahu bahwa kepala keluarga Kuroo itu adalah orang yang baik meskipun dia tampak kolot dan tipe laki-laki dengan fundamental kuat, hingga Tetsurou pun segan padanya. Namun aku tidak tahu sampai mana dia mengenalku hingga dia berkata demikian pada anak laki-lakinya.


"Dengar! Aku pun ragu kau mau menerima pinanganku meskipun aku tetap berprofesi sebagai pengacara. Tapi, untuk bisa meneruskan perjodohan ini pun aku harus jujur dengan memberitahumu tentang apa yang ingin aku lakukan. Jadi, saat kau setuju untuk menikah denganku nanti, kau tidak akan menyesal."


Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku sekarang. Yang jelas, aku bisa melihat sisi lain dari seorang pria yang hingga beberapa menit lalu masih kuanggap sebagai pria bermental molester, yang tidak akan pernah mengutarakan mimpi-mimpinya di depanku.


"Ah, sepertinya waktuku habis!" Dia menatap arloji yang melilit tangannya, lalu kembali melihatku. "Selamat jalan!"


****


Hingga jam makan siang pun aku terus berpikir, apakah alasan penolakanku tentang perjodohan ini masih memiliki validitas yang cukup kuat. Semenjak keluar dari rumah tadi pikiranku terus dipenuhi oleh Tetsurou dan mimpi-mimpinya.


Apakah ayahku tahu kalau Tetsurou bermaksud sedemikian rupa? Dan apakah dia masih berniat menikahkanku dengannya seandainya calon menantunya bukan lagi Kuroo Tetsurou yang berprofesi sebagai pengacara terkenal dengan penghasilan per tahun bisa mencapai angka dua puluh juta yen bahkan lebih, melainkan seseorang yang ingin mencoba bertaruh dengan menjalankan sebuah toko roti?


Kemudian aku meninjau kembali alasan kenapa aku menolak untuk menikah dengan Tetsurou. Alasan-alasannya cukup sederhana sebenarnya. Pertama, dia mesum. Kedua, aku tidak suka direndahkan. Ketiga, kemungkinan aku akan diselingkuhi cukup besar mengingat belum tentu dia menaruh perasaan padaku, dan aku terlalu biasa untuknya yang tampan dan flamboyan. Keempat, aku hanya tidak suka perjodohan.


Dan seketika aku sadar kalau beberapa di antara alasan-alasan itu cukup klise untuk menolak sesuatu tanpa mengetahui esensi yang sebenarnya. Aku bahkan tidak pernah bertanya pada Tetsurou tentang kenapa dia menyetujui perjodohan ini.


"Arghhh …," aku meraung lirih. Lalu menoleh ke samping di mana aku mendengar salah satu senior memanggil namaku.


"Yachi, tolong kerjakan ini ya. Aku butuh waktu untuk mengerjakan yang lain!" Kata wanita yang umurnya sekitar lima tahun lebih tua dariku sambil menyodorkan setumpuk dokumen yang mengerikan.


Kalau aku tidak salah mengingat, dua jam yang lalu pun dia memberiku setumpuk dokumen dengan jumlah yang lebih bisa ditoleransi dan mengatakan bahwa dia butuh waktu juga untuk mengerjakan yang lain. Hal macam ini terjadi bukan hanya sekali seminggu. Tapi hampir selama empat tahun aku bekerja di sini, dia selalu menimpakan tanggungjawabnya kepadaku atau juniornya yang lain. Setiap hari! Dan aku mulai muak.


Aku menarik laci mejaku, kemudian meraih amplop putih berisi surat yang pernah aku tulis untuk jaga-jaga apabila suatu saat nanti aku harus menggunakannya. Tidak kusangka, aku mantap akan menggunakannya sekarang.


****


"Ini baru jam dua." Tetsurou memastikan angka pada arlojinya benar dengan berpaling ke arah jam dinding di ujung ruangan.


Dia heran melihatku yang biasa pulang saat malam sedikit larut, kini pulang di saat matahari masih terlihat dengan jelas.


Aku menghela napas, laly duduk di tengah tangga yang menyambungkan ruangan dengan lantai dua dimana kamarku dan kamarnya berada.


"Kau dipecat ya?"


Spontan mataku melotot dengan kalimat balasan yang kuucapkan sejelas mungkin. "Mengundurkan diri!"


"Hah, serius?"


"Kalau aku bercanda mungkin aku belum tiba di sini!"


Tetsurou memangut, kemudian bertanya. "Alasannya?"


Alasannya, aku cukup emosi tadi hingga aku lupa cara bicara dengan nada sopan tentang apa alasanku berhenti dari pekerjaan. Aku hanya bilang kalau aku sudah tidak cocok berada di perusahaan itu.


Tetsurou menggeleng prihatin. "Kau akan sulit menemukan pekerjaan setelah ini. Mungkin pilihan terakhirmu hanya menjadi istriku, hahaha."


Aku tahu Tetsurou hanya bercanda. Tapi emosiku yang membulat membuatku tertantang untuk menjawabnya. "Ayo kita menikah! Lalu kita bangun toko roti impianmu itu!"


"Hah?"


"Aku serius!"


Aku bisa melihat pria itu menghela napas. "Aku membutuhkan banyak waktu sampai aku bisa mengatakan apa yang aku inginkan. Dan kau bisa langsung memutuskan bahkan tanpa memakan waktu sehari?"


"ーkupikir kau hanya menjadikanku sebagai pelampiasan akan kegagalanmu."


Aku diam. Menerima kata-katanya yang aku akui sebagai kebenaran isi hatiku saat ini, tidak tahu harus berbuat apa. Andai saja aku bisa sedikit mengontrol emosiku tadi.


Tapi kalau dipikir lagi, aku jadi nekat seperti itu pun karena pagi sebelumnya Tetsurou mengatakan hal yang membuatku sedikit berharap bahwa mungkin aku bisa bahagia bersamanya.


"Hitoka .…"


Aku mengangkat wajahku saat kudengar dia memanggil nama kecilku, untuk pertama kalinya.


"Entah apa yang kau pikirkan sekarang. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku serius dengan setiap kata-kataku. Bahwa aku ingin kau bersamaku."


Aku masih diam, menatapnya yang kini berdiri di depanku sambil bersandar pada dinding.


"Menikahlah denganku," sambungnya dengan desibel suara yang lebih lirih. Yang membuatku terus memastikan apakah aku tidak salah dengar. Namun aku ingin percaya bahwa pendengaranku masih berfungsi normal.


"Apa yang bisa kau tawarkan padaku selain komitmen? Apa kau yakin bisa mencintaiku?" Aku menjawab, dengan pertanyaan.


"Aku percaya kalau cinta datang saat kau terbiasa. Karena itu aku ingin terbiasa bersamamu. Bagaimana dengan kau sendiri?" Tetsurou terus menatapku sampai akhirnya aku mengangguk.


"Ayo kita menikah," jawabku. Yang mengundangnya datang mendekat lalu membawa tangannya meraih pipiku.


Aku lupa bagaimana kronologi sampai akhirnya kami berakhir saling mengecup tanpa mengutarakan apa yang ada dalam perasaan masing-masing. Sejenak, aku merasa bahwa aku telah jatuh cinta padanya.


"Ah, aku lupa bertanya. Apakah kau bersedia membuang semua buku foto di kamarmu itu?"


"Tentu saja, selama kau bersedia jadi obyek sekuhara-ku."


Baiklah, tidak jadi. Aku rasa aku memang ditakdirkan untuk membencinya.


****



Note:


Rouninsei: istilah yang dipakai buat orang yg gagal dalam tes masuk universitas negeri, terus nunggu buat tes tahun selanjutnya.


Sekuhara: sexual harassment.


AU ini pernah dipublikasikan di platform oranye dengan otp dan fandom berbeda. Kalo ada yang pernah baca, ya emang sama ya :))

Send me your thoughts: Secreto

Comments