Miya Osamu - Rekonsiliasi

Rekonsiliasi



Picture Credit: TOHO

****


Sudah hampir seminggu ini kami tidak saling bicara. Rekor pertengkaran terpanjang semenjak kami menikah dua tahun lalu. Aku tidak pernah sekeras kepala ini, pun Osamu yang selalu lebih dulu mengalah saat kami mulai berdebat.


Tapi keadaan cukup berbeda sekarang.


Masalah yang kami ributkan beberapa tingkat lebih rumit dibanding pada saat kami saling ngotot perihal warna cat dinding di ruang tengah.


Osamu ingin rumah baru. Sementara aku bersikukuh agar tabungannya dialokasikan untuk pembangunan kedai onigirinya yang mulai berkembang. Bukan semalam dua malam kami ribut karena perbedaan pendapat, meskipun minggu berikutnya kami sudah tak lagi bicara.


Aku pun sempat berpikir bahwa memiliki rumah sendiri adalah hal yang cukup penting. Tapi di tengah bisnisnya yang sedang menanjak, aku merasa manajemen keuangan akan lebih baik untuk difokuskan pada kedainya.


Aku tidak materialistis. Hanya saja, aku terlalu oportunis untuk melewatkan sebuah kesempatan, di mana sesuatu yang sama tak akan datang untuk yang kedua kalinya.


Entah sampai kapan perang dingin ini akan berakhir mengingat aku tidak yakin bahwa Osamu akan mundur begitu saja. Tapi, berada di rumah yang sama tanpa sepatah dua patah kata terasa begitu mencekik. Terlebih kami jarang bertengkar untuk hal yang cukup berat seperti ini. Sebelumnya pun kami tak pernah saling diam lebih dari sehari karena malamnya dia pasti akan merajuk hingga semua ketegangan akan lenyap bersama malam yang kami lewatkan.


Hanya saja, saat ini cukup berbeda. Meskipun kami tetap melakukan hal yang sewajarnya dilakukan oleh banyak pasangan; seks, semua akan kembali dingin di saat pagi tiba.


Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, mengingat aku begitu was-was apabila Osamu tetap bersikukuh mempertahankan keinginannya hingga akhir buruk terjadi pada pernikahan yang baru seumur jagung ini. Walaupun aku cukup lega bahwa Osamu masih menginginkanku di setiap malam yang kadang aku rindukan.


Seperti malam ini. 


Saat dia serta merta memelukku dari belakang ketika aku sibuk membasuh alat makan. Dia menenggelamkan wajahnya pada lengkung leherku dalam diam, kemudian meninggalkan satu jejak di sana.


"Hentikan!" Kataku mulai waspada. Namun tak pula mendapat jawaban.


Aku sempat mendorongnya untuk menyingkir setelah aku selesai dengan pekerjaanku, namun Osamu segera mengunciku lagi. Kali ini diselingi oleh ciuman panjang yang membuat paru-paruku nyaris kehabisan suplai oksigen.


Kendati demikian, aku tak lagi menolak saat dia membawaku ke dalam kamar sambil terus memagut. Osamu tak mengatakan apa pun, bahkan sampai aku berada di bawahnya. Menanti sepatah dua patah kata keluar dari bibirnya. Namun nahasnya, yang kuharapkan tak pernah terjadi. 


Aku masih bertanya mengapa dia bersikeras untuk bungkam dibanding menyatakan banyak hal untuk membuka pintu rekonsiliasi. Sayangnya, aku pun sama. Sehingga pertanyaan di benakku menjadi bumerang yang akan balik menyerang kalau aku nekat mengutarakannya.


"Osamu ...." Aku memanggilnya, saat ia kembali menelusuri kulit leherku dengan bibirnya.


"Diamlah," dia hanya menyahut pendek sebelum meneruskan aktivitasnya itu. Kali ini ditambah dengan jari-jarinya yang mulai menyusup ke bawah kain pakaianku dengan terampil.


Aku hendak berdiam. Tapi nyatanya apa yang sedang Osamu lakukan padaku justru membuatku terus mengeluarkan suara, di mana aku tidak berhasil menahan lenguhan dari apa yang dia lakukan.


"Osamu, hentikan!" Ucapku lagi kemudian. Kali ini dengan desibel dan nada yg lebih kuat beserta satu pukulan pada punggungnya hingga ia mau mendengar, dan berhenti melakukan apa yang dia inginkan.


Sampai aku selesai membenarkan pakaianku pun Osamu masih diam dengan raut datar khasnya. Aku ingin keheningan ini segera berakhir hingga kuputuskan untuk membuka percakapan lebih dulu, "apa maumu?"


Osamu memiringkan kepala, "menidurimu?"


"Aku tidak sedang membicarakan keinginan instanmu, dan kau tahu itu."


Bibirnya terlihat mengerucut, merajuk karena keinginan instannya tak terkabul untuk kali ini.


"Aku ingin bicara ...." Ucapku lagi, kali ini dengan menurunkan desibel dan menatapnya lurus meskipun ia sempat memalingkan wajah untuk menghindar.


"Kita tidak akan menemukan titiknya malam ini, jadi untuk apa?" Katanya.


"Setidaknya aku ingin mencoba!" Tukasku,  memaksanya berpaling dengan menarik wajahnya. "Kau tahu poinku. Kau juga tahu aku hanya ingin apa yang kau impikan selama ini menjadi nyata. Kita belum butuh rumah baru. Aku cukup senang dengan tempat ini."


"Kau tidak paham."


"Kalau begitu jelaskan hingga aku paham!"


Osamu tampak menghela napas panjang, lalu menghembuskannya pelan sebelum ia mulai bertutur. "Aku tidak ingin kedai yang besar."


"Oh, benarkah?" Aku memutar bola mataku. "Kalau aku tidak salah dulu ada yang bilang bahwa dia ingin membahagiakan banyak orang dengan makanan yang enakー"


"Benar!" Tukas Osamu. "Aku ingin pelangganku bahagia. Dengan makanan yang tercipta dari tanganku sendiri. Kalau orang lain yang melakukannya, itu tidak ada artinya."


Obsesi apa lagi ini? Bukankah selama pelanggannya senang, itu adalah hal yang membahagiakan?


"ーditambah, aku bukan hanya ingin pelangganku yang harus bahagia. Tapi keluargaku juga."


"Harus berapa kali aku bilang, bahwa aku sudah cukup bahagia dengan apa yang kita punya sekarang?" 


"Kalau begitu kau tidak perlu memaksaku untuk menginvestasikan uang pada usahaku!"


"Kau tahu bukan itu maksudku!"


"Lalu apa? Katakan yang jelas agar aku mengerti!"


Kini giliranku menghela napas dalam-dalam, mulai merasa bahwa memang malam ini bukan saatnya. Aku memilih untuk menyelam masuk ke dalam selimut dan mencoba untuk tak menghiraukan dengan tidur memunggunginya.


"Lihat, siapa yang bilang bahwa dia ingin mencoba bicara tadi?" Cibirnya.


"Kau benar. Mungkin ini bukan malam yang tepat."


Osamu tak lagi menyahut. Mungkin dia pun turut menyerah karena pikiran kami sekali lagi tercerai berai oleh idealisme yang berbeda.


Beberapa puluh menit berlalu, namun mataku belum juga terpejam kendati kantuk sudah mulai kurasakan. Tak lama setelah aku sadar bahwa waktu sudah cukup larut, aku merasakan lengan Osamu mulai merangkulku dari belakang. Jemarinya kembali bermain setelah perlahan menyusup di bawah pakaian.


"Osamu, aku sedang tidak ingin melakukannya." Kataku pelan, dikuasai oleh lelahnya pikiran.


"Lihat aku," bisiknya sembari mengecup leherku lagi. Dan sebelum dia mengubur wajahnya pada ceruk sempit di sana selama beberapa saat.


Osamu menarik tubuhku hingga aku berbalik menatapnya. "Beri aku anak!"


Sejenak aku bergeming oleh satu kalimat yang dia utarakan.


"Ya?"


Selama ini aku berpikir bahwa dia tidak pernah tertarik dengan sosok ketiga dalam hubungan kami, karena sampai beberapa puluh detik sebelumnya pun Osamu belum pernah membicarakannya. Kehidupan sudah cukup modern sehingga aku pun bisa menerima seandainya kami menua tanpa berkomitmen untuk memiliki anak. Tapi kalimat Osamu tadi melebur segala gambaran masa depan yang kerap kubayangkan bersama bungsu Miya ini.


Tidak, aku bukan merasa tak senang. Tapi pernyataan Osamu terasa sangat tiba-tiba hingga aku tidak tahu harus berkata apa.


"Beri aku anak, jadi kau bisa mengerti kenapa aku ingin hal yang terbaik untuk masa depan kita."


Fokusku lurus pada Osamu yang rautnya kini hanya beberapa senti di atasku. "Kau ingin anak?"


"Ya."


"Kapan kau memikirkannya?"


"Selama ini."


"Kenapa kau tidak pernah bilang?"


"Apa aku perlu bilang untuk sesuatu yang wajar?"


Aku tidak lagi memiliki persediaan kalimat untuk membalasnya, hingga kuputuskan untuk menutup kekalahanku dengan mengalungkan lenganku pada leher, lalu menciumnya.


"Jadi?" Osamu meminta konfirmasi di sela kecupannya.


"Jangan terlalu banyak bertanya!" Aku menyahut kesal sambil menyusupkam jaemariku pada anak-anak rambutnya.


Hanya seringai tipis pada bibir Osamu yang kulihat sebelum dia turut masuk ke dalam selimut kemudian merangkak di atasku.


****



Comments