Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu|♯7. Unwanted Kiss







Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu

2週間目: 望んでもない口付け





Hari: 31 Juli


Tempat: Sekolah


Cuaca: Berawan


Sudah masuk minggu kedua penelitian. Progres? Tentu saja ada. Aku tidak perlu lagi memaksa mereka untuk bergandengan tangan. Hal yang cukup baik, bukan?


Mereka benar-benar seperti orang pacaran. Aku mulai curiga kalau ada sesuatu di antara mereka. 


Ya, tidak apa-apa sih. Toh apa yang aku takutkan kalau mereka bersama?


Benar. Apa yang aku takutkan?


****


Atsumu bertahan di halaman yang sudah selesai ia baca. Tulisan itu mengingatkannya pada suatu masa, awal saat ia mulai menyadari perasaannya. Pun awal saat ia mulai melakukan penolakan pada perasaan itu karena tak pernah menginginkannya.


Bising kereta kembali terdengar. Kali ini semakin nyaring karena tak hanya satu atau dua kereta lain yang turut menyumbang kebisingan di tengah transit mereka di sebuah stasiun.


Atsumu menatap keluar, melihat puluhan orang yang masih berkeliaran meskipun waktu sudah cukup malam. Manusia adalah objek paling menyenangkan untuk diperhatikan, namun itu tak berlaku untuk Atsumu yang dalam benaknya kini hanya memikirkan satu orang. Sedikit berharap bahwa orang itu ada dalam barisan penumpang yang mulai memasuki kereta ke arah sama dengan yang ditujunya.


Namun nihil. Dan mustahil dia berada di sana karena Atsumu tahu betul bahwa Rei; gadis yang masih menguasai benaknya itu sudah menjadi warga metropolitan. Bertemu dengan orang baru setiap harinya, dan mungkin, sosok Atsumu sudah tidak lagi relevan dengan kehidupannya.


****


5 Agustus


Penelitian masih tetap berlanjut setelah Rei kembali dari retreat. Semua masih terasa sama untuk gadis tunggal Kuwamoto itu, meskipun selama liburan musim panas dia harus berakting untuk menjadi pacar yang baik bagi Osamu. Osamu pun melakukannya dengan baik. Entah karena memang naturnya yang sedemikian rupa, atau dia yang sudah terlalu berpengalaman untuk memperlakukan seorang gadis.


Dari mereka bertiga, Osamu adalah satu-satu yang pernah pacaran. Meskipun usia hubungannya jarang yang langgeng, dan cukup pendek untuk disebut sebagai sebuah komitmen.


Ya, anak SMA memang belum masanya untuk berkomitmen. Tapi lain cerita kalau itu Osamu, yang cukup terlihat dewasa dibanding dengan sosok dengan wajah sama yang kini duduk di sampingnya.


"Sial!" Atsumu membanting joystick-nya, ketika sekali lagu kalah bermain dari adik kembarnya.


"Menyerahlah!" Osamu berkata jumawa sebelum ikut meletakan benda yg samaーdi tempat yg tepat tentunyaー, lalu berdiri. "Aku harus ke tempat Suna sebentar."


"Malam-malam begini?" Rei bertanya.


Tidak sekali dua kali salah satu dari mereka akan mengunjungi Suna yang tinggal sendirian di apartemen. Scout yang ia terima dari Inarizaki terpaksa membuatnya harus hidup sendiri meninggalkan tempat kelahirannya di Aichi. Tak jarang Ibu Miya mengutus salah satu, atau keduanya untuk datang ke tempat sulung Suna itu memberinya kudapan atau makan malam apabila kebetulan mereka memasak makanan yang Suna sukai.


"Dia bilang bahwa dia butuh bantuan untuk sesuatu."


"Kau tidak ikut?" Rei melempar pertanyaan ke arah Atsumu yang tengah mengganti channel televisi dengan bibir masih mengerucut karena kalah tadi.


"Aku pass."


"Tidak ada yg mengharapkanmu," Osamu mengedikkan bahu. "Aku pergi dulu."


"Hati-hati!"


****


Keheningan panjang tercipta setelah kepergian Osamu. Absennya ayah dan ibu Miya yang mungkin kini tengah menikmati liburan mereka bersama orang tua Rei pun turut andil dalam kesunyian ini, namun penyebab utamanya adalah Atsumu dan Rei yang cukup canggung sejak mereka tak lagi saling memanggil nama. 


"Apa?" Lontar si gadis saat Atsumu yang sudah menyerah dengan remote televisi menoleh ke arahnya.


"Aku lapar."


"Kau tidak sedang memintaku untuk memasak 'kan? Aku bukan Osamu. Dan aku tidak bisa memasak."


Terakhir kali Rei mencoba membuat tamagoyaki untuk bekalnya sendiri, rasanya sangat asin dan permukaannya gosong.


"Semua orang juga tahu kalau kau tidak berbakat soal itu," seloroh Atsumu. "Mau pesan makanan?"


"Pizza." Usul Rei, cepat.


"Tidak. Sushi."


"Aku ingin makan pizza."


"Aku ingin makan sushi."


Karena tak terlihat tanda bahwa Atsumu akan menyerah dengan pilihannya, maka Rei yang berusaha mengalah. Mereka memesan setelah mendapat persetujuan Osamu lewat pesan singkat.


Sekitar setengah jam setelahnya, satu boks besar berisi bermacam sushi datang kini sudah terhidang di atas meja. Kendati mereka telah memesan pilihannya, Atsumu tak kunjung senang karena yang dicarinya tidak nampak dalam kotak sushi mereka.


"Tidak ada otoro." Katanya, pundung.


"Kita sepakat untuk membeli paket hemat. Mana mungkin ada benda semahal itu di dalamnya."


Rei sudah mulai menyuap, sementara Atsumu masih menimbang dan menunjuk satu per satu sushi dengan sumpitnya.


"Atsumuー, maksudku Miya-kun. Cepat makan!"


Sempat terdiam beberapa jenak, akhirnya Atsumu mulai memakan jatahnya dalam diam.


"ーaku kenyang." Atsumu menggelepar di atas sofa setelah merasa perutnya cukup penuh untuk menambah porsinya lagi. Pun dengan gadis yang sudah terkapar kekenyangan lebih dulu.


"Bagaimana dengan sisanya?"


"Osamu bisa menghabiskannya."


Lalu suasana kembali hening setelah kesimpulan berhenti pada asumsi bahwa Osamu akan menghabiskan semua makanan yang dihidangkan untuknya, seperti biasa.


Rei berniat untuk pulang dibanding harus diam berdua dengan Atsumu yang entah mengapa hari ini terlihat banyak berpikir. Sementara dia sendiri tidak tahu harus membuka topik seperti apa yang bisa membuat mereka tidak lagi tenggelam dalam diam. Namun berada di rumah sendirian pun bukan ide yang cukup bagus karena dia tidak terbiasa dengan itu.


"Osamu lama sekali," ucap si gadis kemudian. Detik itu, dia masih belum tahu harus membicarakan apa.


"Mau main kartu?"


Entah spontan karena dia memang ingin bermain, atau karena Atsumu pun bosan oleh kecanggungan yg sama. Kini dia sudah memegang kotak kartu di tangan dengan wajah penuh keyakinan bahwa Rei akan menerima tantangannya.


"Mau main apa?"


"Truth or dare."


"Hah?"


"Tidak berani?"


Melihat seringai tipis pada wajah nakal Atsumu membuat si gadis kesal dan tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. "Jelaskan cara mainnya!"


"Mudah. Yang kalah harus memilih, tantangan atau menjawab pertanyaan dengan jujur."


Jelas tidak terdengar mudah. Namun itu tak lantas membuat Rei mundur dan berhenti bersila di atas sofa ketika Atsumu mulai mengocok kartunya. 


Beberapa menit berlalu setelah urutan diputuskan dengan janken, dan pemenang pertama adalah Atsumu.


"Truth or dare?" Serunya.


"Truth."


"Apa hal paling memalukan yang kau lakukan selama seminggu ini?"


Sudah pasti, pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang akan keluar, pikir Rei. "Ketahuan tidur di mata pelajaran Pak Yamada," jawabnya kemudian.


"Membosankan," cibirnya.


Membuat gadis di depannya pun turut mencibir, "siapa yang menanyakan hal yang membosankan ini memang?"


Atsumu hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban, sementara tangannya kembali melempar satu kartu di atas sofa. "Giliranmu."


"Aku menang!" Si gadis menyahut selepas lemparan kartunya yang mendarat di atas kartu milik Atsumu. "Truth or dare?"


"Dare."


Sedikit mengejutkan karena Rei berpikir bahwa Atsumu akan main aman dengan memilih menjawab pertanyaan acak darinya.


"Yakin?" Rei mencoba mengecoh.


"Kenapa aku harus ragu?"


"Kalau begitu tunggu sebentar!" 


Kening Atsumu berkerut melihat si gadis berlalu ke arah dapur, kemudian kembali sekitar tiga menit setelahnya dengan cengiran jahil pada rautnya.


Si kuning sedikit mundur saat gadis itu mengulurkan telunjuk ke arahnya. "Apa ini," tanyanya. Tentu dia tahu bahwa Rei ingin dia mencicipi pasta hijau yang ada pada ujung telunjuknya itu.


"Kenapa tidak pakai sendok atau sumpit sih? Kau ini menjijikan sekali!" Sulung Miya itu memberondong dengan protes.


"Kalau pakai sendok tidak bisa dibilang tantangan. Lagi pula, aku sudah mencuci tanganku," Rei membalas diselingi oleh cemberut pada bibirnya.


Ada sedikit jeda sampai akhirnya Rei menurunkan tangannya. Menyadari bahwa ini cukup kekanakan. Dan Atsumu yang seenaknya sendiri tentu tidak akan mau melakukannya dengan dalih sebuah hukuman dalam sebuah permainan.


Tapi itu hanya pikiran gadis itu sesaat, karena pada detik berikutnya Atsumu meraih pergelangan tangannya lalu mulai menjilat pasta hijau; wasabi, yang membalut ujung telunjuknya.


"Sial, kukira ini selai matcha," gerutu Atsumu namun dia masih meneruskannya. Jari Rei kini sudah masuk ke dalam mulutnya.


Awalnya gadis itu tertawa mengetahui bahwa dia berhasil mengerjai si sulung Miya itu. Tetapi itu tak berlangsung lama, melihat Atsumu bergeming menatapnya tanpa sinyal bahwa dia akan melepaskan telunjuk Rei dalam mulutnya.


"Sudah cukup!"  Gadis Kuwamoto itu mencoba menarik kembali tangannya karena satu dan lain hal yang membuat kedua pipinya mengeluarkan semburat merah, malu. Namun Atsumu tak bermaksud membiarkannya begitu saja dengan menahan pergelangan tangannya. Si kuning itu tampak mengangkat kedua alis tebalnya, seolah tengah melakukan deklarasi bahwa Rei tidak akan bisa mengalahkannya, dan itu membuat si gadis kesal.


"Hentikan!" Sekali lagi, Rei menarik tangannya. Kali ini disertai satu pukulan yang ia daratkan di atas kepala Atsumu hingga ia mundur meskipun setelahnya dia tertawa puas. "Tidak lucu," Rei menghardik sambil membersihkan telunjuknya dengan tisu. Ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya dia menggunakan cara ini untuk menjahili Atsumu.


Permainan segera berlanjut dengan rasio kalah-menang hampir sama. Mereka berniat menyudahi permainan karena tantangan dan pertanyaan yang saling mereka lontarkan cukup membosankan. Meskipun, hal itu tak segera terjadi karena dalam waktu singkat Atsumu kembali mengubah atmosfer yang menyelimuti keduanya menjadi sedikit lebih canggung.


"Hah?" Kedua alis Rei bertaut, meminta Atsumu mengulang kalimat yang dia utarakan sebelumnya, yang menjadi tantangan untuk kemenangannya kali ini.


"Panggil namaku ...."


"Miya."


"Bukan itu."


"Miya Atsumu."


"Nama kecilku!"


Rei bisa melihat bahwa bibir sahabatnya itu sedikit mengerucut. Entah apa yang membuatnya bersikap demikian.


"Atsumu."


"Sekali lagi."


"A-tsu-mu."


"Lakukan seperti biasa!"


"Kau banyak maunya!"


"Lakukan saja!"


Rei menghela napas, sebelum dia menatap lurus ke arah si sulung Miya itu kemudian menyebut lagi nama kecilnya, "Atsumu ...."


Hening. Rei tidak tahu lagi apa yang membuatnya jadi seperti ini, meskipun ia cukup lega saat beberapa jenak berikutnya Atsumu kembali mengeluarkan kartu untuk melanjutkan permainan.


"Aku menang," ucap Rei setelah dia mengeluarkan kartunya, lagi. "Truth or dare."


"Dare. Carilah tantangan yang tidak terlalu membosankan!"


"Seperti apa memangnya? Kau tidak berharap aku memintamu untuk menciumku 'kan?"


Sekali lagi. Hening.


Rasa sesal menghampiri Rei yang entah mendapat dorongan apa untuk mengatakan guyonan tidak pantas itu. Otak Atsumu terlalu kecil untuk menganggapnya sebagai angin lalu, hingga ia membatu seperti saat ini.


"Hei, aku hanya bercanー,"


Salah. Jelas ini salah. Saat kesalahan itu mencapai puncaknya, Rei sudah tidak tahu harus berbuat apa selain berusaha mendorong dada Atsumu yang kini sudah membungkam, dengan menciumnya.


Tangan Atsumu merengkuh pinggangnya, hingga terpaksa mendekat dengan kedua lututnya yg tanpa sengaja menyapu lembaran kartu yang mulai berjatuhan di atas lantai. 


Ini tidak benar. Tapi Rei tidak bisa menepis, dan mulai pasrah dengan setiap kecupan tanpa pengalaman yang Atsumu berikan. Lebih parah lagi, dia mulai menerima dan membalas ciuman itu layaknya itu hal yang wajar mereka lakukan saat ini.


"Atsumu?" Dia masih mencoba menerka, tentang apa dasar membuat si kuning ini melakukan tindakannya selain karena provokasi yang berakar dari sebuah candaan yang sempat Rei pikir tak akan sampai seperti ini.


"Panggil namaku lagi ...." Alih-alih menjelaskan, Atsumu kembali menuntut. 


"Atsumu ...."


"Lagi ...."


"Atsumu ...."


Lalu sekali lagi, bibir mereka kembali bertaut. Saling menyadari debaran yang tak lagi berdegup dengan normal. Dan saling merasakan setiap kecupan yang menjadi satu pengalaman baru bagi mereka yang belum pernah mengenal sebuah hubungan.


"Atsumu, apa yang kau pikirkan tentangku?"


Sulung Miya itu terpaku saat pertanyaan itu datang terlontar untuknya. Butuh waktu cukup lama baginya untuk kembali berpikir normal setelah hal impulsif yang baru saja mereka lakukan. Kemudian saat dia mulai bisa menguasai pikirannya kembali, terdengar suara pintu depan yang terbuka cukup nyaring disusul oleh salam dari Osamu yang sepertinya sudah kembali dari tempat Suna.


"Kalian sedang main kartu?" Osamu bertanya tepat setelah ia tiba di ruang tengah yang menyisakan atmosfer cukup aneh.


Televisi masih menyala. Kartu jatuh tercecer di atas lantai. Lalu saudara kembar dan gadis sahabatnya itu duduk bergeming, masing-masing berada di ujung sofa, seperti sedang saling menghindar. Osamu duduk di tengah mereka dengan satu alis terangkat, curiga sesuatu yang aneh tengah terjadi pada keduanya.


"Kalian baru saja ciuman ya?" Osamu menyeloroh. 


Ada jeda beberapa saat sampai akhirnya Atsumu meledak dan mulai menyangkal. "Hah?! Mana mungkin. Aku bahkan tidak menyukainya."


Tidak menyukainya.


Kalimat itu tentu tidak akan terdengar menyakitkan apabila Atsumu yang selama ini Rei kenal yang mengatakannya. Tapi setelah apa yang terjadi pada mereka hari ini, kalimat itu bahkan lebih terasa mengoyak ketimbang suatu saat ketika tangannya tak sengaja teriris belati.


"Ah, kau kan pacarnya. Kenapa bukan kau saja yang menciumnya?"


Atsumu bisa melihat, ada tatapan nanar di balik geming yang Rei lakukan setelah gadis itu mendengar ketololan yang kembali ia utarakan. Dia tahu bahwa ada luka tersirat di sana, namun Atsumu mencoba untuk tidak mengindahkannya.


"Tsumu, bercandamu kelewatan!" Osamu yang paling waras saat ini mencoba memperbaiki suasana. Dia menepuk pundak Rei yang masih diam. Meskipun bungsu Miya tidak cukup mengetahui informasi tentang apa yang terjadi sebelumnya, dia cukup awas kalau si gadis tengah terpukul oleh kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh kakak kembarnya.


"Osamu," panggil Rei. Tidak cukup lirih untuk tidak terjangkau oleh pendengaran Atsumu.


"Ya?"


"Ayo mencoba berciuman."


"Hah?"


Osamu belum sempat menyahut dengan kalimat lebih panjang ketika dalam jeda waktu yang cukup singkat Rei sudah menarik wajahnya untuk sebuah ciuman.


Atsumu, yang masih berada di sana hanya diam. Menyelisik arti sebuah gemuruh guncangan yang tiba-tiba datang menerpa rongga dadanya.


****


Bayang-bayang peristiwa yang terjadi malam itu masih cukup segar untuk menjadi samar dalam ingatan Atsumu meskipun sepuluh tahun telah berlalu sejak saat itu.


Dia masih ingat bagaimana ngilu yang ia rasakan ketika dia melihat Osamu dan Rei berciuman, sementara yang bisa dilakukannya hanya memandang tanpa bisa berkomentar sepatah kata pun. Semua terjadi karena kesalahanya, yang saat itu tidak tahu bahwa itu akan menjadi hal yang paling disesalinya seumur hidup.


Atsumu juga masih ingat, sejenak setelah dia meninggalkan ruang tengah malam itu, dia mendengar isak kecil yang ia yakini sebagai tangis Rei. Namun sekali lagi, dia tidak bisa, dan tidak memiliki keberanian untuk memperbaikinya.


"Apa yang terjadi?" Itu kalimat yang sayup terdengar, keluar dari bibir Osamu. Namun Atsumu tak memiliki keberanian untuk mengingat jawabannya.


Apa yang dikatakan Rei saat itu?


Kenapa hingga saat ini ingatan Atsumu menolak untuk mengungkapnya?


****



Comments