Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu|♯8. Fireworks
Natsu Yasumi no Jiyuu Kenyuu
3週間目: 花火
Sekitar sepekan berlalu sejak malam itu berakhir. Malam di mana rembulan belum mencapai sabitnya. Malam yang membuat ketiganya menghabiskan sisa yang cukup panjang tanpa sedetik pun menutup mata.
Atsumu ingat bagaimana lingkar hitam di bawah matanya menjadi perhatian sekelas waktu itu, namun dia memilih bungkam saat kawan-kawannya datang berbondong untuk menanyakan kisah di baliknya. Apa yang akan mereka katakan seandainya mereka tahu bahwa seorang Miya Atsumu yang selama ini selalu percaya diri bahwa dia adalah magnet bagi para gadis, tidak bisa tidur di satu malam hanya karena seorang gadis pula?
Nyaris tidak pernah ada obrolan sejak malam itu berlalu. Baik antara dia dan Rei, pun dengan Osamu yang sepertinya tak lagi ingin bertukar argumen dengannya. Bertengkar dengan saling mendiamkan jelas bukan gaya si kembar, itu pula yang membuat kabar bahwa mereka sedang dalam keadaan buruk segera menyebar ke seantero klub voli.
Kendati keadaan tak cukup baik, sampai saat ini belum pernah ada obrolan tentang pemberhentian proyek riset sehingga sekali dua kali mereka akan bertemu membicarakan apa yang akan dilakukan berikutnya.
Atsumu tahu sejak awal bahwa antusiasme Osamu, pun Rei tentang proyek riset ini cukup rendah. Dan setelah malam itu, sudah pasti level ketidakinginan mereka untuk meneruskannya semakin bertambah. Hal yang cukup mengejutkan bagi Atsumu melihat bahwa mereka tak selangkah pun mundur untuk mengikuti keegoisannya.
Seperti hari ini, yang secara acak Atsumu mengusulkan untuk pergi menonton kembang api bersama.
Pesta kembang api dan segala serba-serbinya memang bukan hal yang baru, mengingat belasan tahun ini pun mereka selalu mengunjunginya bersama. Namun Atsumu segera sadar bahwa segalanya telah berubah saat ia diam berdiri di belakang Osamu dan Rei yang kini masih bergandengan tangan, mengantre di depan stand cumi bakar.
"Tsumu, yakin tidak mau ikut pesan?" Osamu menyempatkan diri untuk menoleh dan bertanya, meskipun ia tahu bahwa dia hanya akan mendapat balasan sebuah gelengan singkat dari kakak kembarnya itu.
Atsumu kemudian menyingkir dari antrean, memilih tempat baru di mana dia bisa sedikit bersantai sembari menunggu kapan kembang api akan diluncurkan.
Jalan-jalan nampak penuh dengan ratusanーbahkan mungkin ribuanー manusia yang sebagian berbaris di hadapan tenda-tenda. Atsumu kembali membandingkannya dengan tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya. Di mana keramaian tak jauh berbeda, namun setidaknya tidak ada kecanggungan yang membuat mereka tak lagi saling bicara.
Hari ini, Rei bahkan tidak sedikit pun mencoba untuk beradu pandang dengannya. Namun meskipun Atsumu tahu apa yang menjadi penyebabnya, dia tak juga beranjak mencoba memperbaiki apa yang sudah seharusnya diperbaiki dengan meminta maaf untuk perlakuan impulsifnya malam itu.
Dia pun terluka, dalihnya dari lubuk hati yang terdalam.
Ya, setidaknya semenjak dia merasakan bagaimana rongga dadanya tersentak saat melihat sahabat dan adik kembarnya berciuman malam itu, dia menjadi tahu bahwa Atsumu tak lagi menganggap gadis yang kini berdiri di samping stand permen kapas itu hanya sebatas sahabat yang tumbuh bersamanya sedari kecil.
Atsumu menyukainya. Tapi ada beberapa hal yang membuatnya bertahan untuk memilih tidak mengungkapkan perasaannya selain karena dia tahu bahwa itu akan mengubah lingkaran hubungan merekaa bertiga.
Toh, setelah lulus pun Atsumu akan meninggalkan Hyogo dan berkarir di dunia yang ia suka. Bukan saatnya dia memikirkan hal yang selalu ia anggap minor dalam hidupnya; cinta dan berbagai macam bumbunya. Obsesi dan determinasinya pada voli jelas lebih utama ketimbang dia harus berada di bawah melankolia bernama asmara.
Sayangnya determinasinya itu tak bisa menghalau gemuruh yang selalu melanda dada saat ia melihat saudara kembar dan sahabatnya itu bergandengan tangan.
"Ah, aku lupa minta bonus yogurt ke paman penjual yakisoba!" Osamu sempat memeriksa isi kantong berisi tumpukan makanan sebelum dia menyerahkannya pada Atsumu, lalu berlari melawan arus manusia yang kini mulai berbondong-bondong menuju tepi sungai setelah pengumuman bahwa pesta kembang api akan segera dimulai disiarkan melalui pengeras suara.
"Pergilah ke tempat biasa! Aku segera menyusul," tambahnya sebelum menghilang dibalik orang-orang.
Tempat biasa yang Osamu maksud merujuk pada tepi sungai yang berada kurang lebih seratus meter dari tempat kembang api diluncurkan. Tidak banyak orang di sana karena mayoritas akan berkumpul di titik utama, jadi mereka bisa melakukan banyak hal tanpa harus mengganggu orang lain selama beberapa tahun belakangan.
Atsumu kembali berjalan dalam diam saat dia sadar bahwa arus manusia tidak memberi mereka jeda untuk berdiam di sana. Rei, yang hingga saat ini enggan untuk bertegur sapa dengannya pun turut diam mengikuti, dengan langkah tak lebih lebar tentunya. Yang membuat ia sedikit tertinggal dan mulai tersalip oleh desakkan beberapa orang dari belakang. Atsumu tidak akan menyadari hal itu seandainya dia tidak menoleh dan menemukannya nyaris tenggelam dalam lautan manusia.
Dengan sigap sulung Miya itu menangkap pergelangan tangan si gadis hingga orang-orang yang berada di sekitar cukup peka untuk memberi mereka ruang.
Rei sempat berniat untuk menarik tanganya kembali untuk menghindar. Atsumu tahu, dengan kejadian malam itu gadis sahabatnya ini jelas tak sudi untuk kembali berurusan, termasuk melakukan kontak fisik dengannya.
"Aku tidak akan melakukan apa pun. Percayalah ...." Lirih Atsumu, dengan desibel yang hanya bisa didengar oleh Rei saja.
Gadis itu tetap diam. Membiarkan Atsumu menggenggam pergelangan tangannya hingga mereka berhasil keluar dari lautan manusia, menuju tempat yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
****
"Lama sekali?"
Osamu sudah duduk di atas dinding tambak saat mereka berdua tiba di sana. Dan tentu saja, Atsumu sudah melepas genggaman tangannya saat itu.
Biasanya Atsumu akan mendebat apa pun yang adik kembarnya itu katakan dengan berbagai alasan. Namun kali ini ia memilih diam, mengeluarkan bungkusan kembang api yang sempat mereka beli sebelum berangkat kemari.
"Kau tidak apa-apa?" Merasa tak diindahkan oleh kakak kembarnya, Osamu memilih untuk berinteraksi dengan Rei yang saat ini pun terdiam.
"Aku tidak apa."
"Aku sudah bawa yogurtnya."
"Padahal sudah kubilang tidak perlu ...."
Cih. Atsumu mulai jenuh. Mungkin bukan ide yang bagus untuk terus melanjutkan semua hal bertiga dengan dirinya yang tidak lagi dipedulikan.
"Tsumu, tidak mau ikut makan ini kah?" Osamu, meskipun tahu dia akan segera mendapat penolakan tapi ia masih menyempatkan diri untuk menawarkan makanan yang kadang kala ingin dia sembunyikan untuk dirinya sendiri.
"Tidak lapar," Atsumu menyahut pendek sementara tangannya masih sibuk berkutat dengan kembang api yang menyala di tangannya.
Ruang kosong nan tinggi di atas mereka menampakkan pendar cahaya setelah bahana menggelegar datang, mewarnai lanskap berupa langit hitam jauh di sana.
Bukan tidak mungkin bahwa tahun depan mereka tidak akan lagi menikmati pemandangan ini bertiga. Setidak mungkin Atsumu memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang hingga saat ini rapat ia simpan.
Tetapi, tidak mengatakannya adalah keputusan yang Atsumu pilih.
"Tsumu, bisa kemari sebentar?"
"Kenapa bukan kalian saja yang kemari?"
Atsumu tidak mendengarnya, tapi dia bisa membayangan bahwa kini Osamu tengah menghela napas panjang sambil datang ke tempatnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan," Osamu mengawali pembicaraan sementara kakak kembarnya itu masih sibuk dengan kembang api di tangannya.
"Apa?"
Letupan kembang api di atas sana datang silih berganti. Osamu sengaja menunggu jeda di antaranya bunyi bising itu tidak lagi menginterupsi kalimat yang akan dia ucapkan.
"Aku sudah menyatakan perasaanku pada Rei."
"ーhah?"
Bukan hanya Atsumu yang terguncang dengan pernyataan itu. Pun Rei yang terlihat tak nyaman saat Osamu dengan mantap membicarakan hal yang tidak ingin ia bahas di saat seperti ini.
"Bukankah kita sudah sepakat kalau kalian boleh menyatakan perasaan saat riset selesai?"
Atsumu tahu bahwa bukan dia yang pantas marah saat ini. Namun baur perasaan membuatnya lupa untuk berpikir rasional. Ditambah, dia pun jarang berpikir secara rasional.
"Kupikir dengan keadaan kita saat ini, memikirkan riset dan hasilnya saja tidak akan cukup."
"Lalu bagaimana dengan nilaiku?"
"Aku tidak peduli. Dengan nilaimu, pun dengan nilaiku sendiri!"
Entah hanya perasaan Atsumu maupun Rei saja, tapi suara Osamu terdengar lebih tinggi saat ini.
"Ah, begitu? Kalau begitu terserah." Atsumu yang semula jongkok pun berdiri, "aku pulang."
Toh dia pun tidak ingin mendengar apa jawaban dari Rei mengenai ungkapan perasaan Osamu meskipun dia cukup penasaran juga mengapa mereka terlampau dekat akhir-akhir ini. Barangkali mereka sudah benar-benar pacaran.
Belum lima langkah terlewat saat Atsumu memilih untuk beranjak dari tempat itu sampai kemudian kerah bajunya ditarik paksa oleh bungsu; adik kembarnya. Atsumu tidak cukup siap dengan apa yang akan diterimanya setelah itu. Yaitu satu tinju yang mendarat pada tulang pipinya hingga ia terjerembab di atas rumput kering tepi sungai.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menghajarmu."
"Untuk apa?"
"Untuk melampiaskan emosiku pada pengecut sepertimu."
"Hah?"
Atsumu belum tegap berdiri saat Osamu melayangkan kepalan tinjunya yang kedua. Kali ini mendarat pada tulang pipi di sisi yang berbeda.
"Osamu, hentikan!" Rei merasa tak cukup hanya diam di sana, karena itu dia menarik lengan Osamu yang masih berniat melayangkan pukulan selanjutnya. Pemandangan itu cukup membuat Atsumu merasa muak. Sebab, alih-alih menolongnya, gadis itu justru lebih memilih untuk membujuk Osamu agar berhenti menyerangnya.
"Apa keluhanmu, hah?" Malas bangkit, Atsumu tetap duduk di atas rumput sambil melontarkan perntanyaan itu. "Apa urusanku kalau kau sudah menyatakan perasaanmu? Kalian tidak butuh restuku untuk bisa berpacaran. Jadi terserah!"
"Dia menolakku, bodoh!"
"Osamu!" Rei sedikit menaikkan desibel suaranya agar ia pun didengarkan. Namun nyatanya itu tidak berhasil.
"ーdia bilang bahwa dia menyukai orang lain. Yang tanpa kutanya pun, aku tahu siapa orangnya."
"Lalu kau melampiaskan kekesalan itu padaku?"
"Aku memukulmu karena aku muak. Kenapa kau tidak jujur pada dirimu sendiri dan bilang padanya tentang perasaanmu?!"
Osamu melemparkan telunjuknya ke arah Rei yang kini membatu, tidak tahu menahu kenapa pembicaraan ini terjadi.
Bukankah mereka datang kemari untuk melihat kembang api dan bersenang-senang di tahun terkahir mereka bersama? Lalu kenapa semua ini harus terjadi?
Kenapa Osamu terus menghardik padahal bukan itu yang dia inginkan?
"Kau menyukainya, bodoh! Kenapa kau tidak mengatakan itu padanya selagi kau masih bisa melihatnya?"
"Osamu, hentikan ...."
Osamu sudah bersiap melayangkan tinjunya sekali lagi, kalau saja mereka tidak mendengar isak lirih yang tiba-tiba terdengar menyaru bersama gelegar kembang api yang belum juga berhenti diluncurkan.
"Aku tidak menyukai Atsumu," ucapnya. "Aku tidak ingin menyukainya."
"Rei, bajingan ini terlalu bodoh untuk mengakui perasaannya. Jadi kau tidak perlu melakukan hal yang sama sepertinya!"
Atsumu tidak sempat tersulut oleh ucapan Osamu yang mengatainya bodoh dan juga bajingan. Seluruh fokusnya direbut oleh raut kesedihan yang beberapa detik lalu nampak pada wajah di gadis, yang kemudian berpaling dan berlari meninggalkan keduanya.
"Puas?"
Itu lontaran satu kata yang Atsumu dengar dari saudara kembara sebelum ia turut pergi, meninggalkan Atsumu terbaring sendiri menatap pendar megah yang membahana di atas sana.
****
Comments
Post a Comment