Akaashi Keiji - Enchanted

Enchanted


Akaashi Keiji x Reader


****


Aku tahu, kalau setidaknya orang pasti pernah merasakan bagaimana perasaannya tak terbalas meskipun itu hanya sekali. Aku juga tahu, kalau kesanggupan seseorang pun pasti berbeda hingga aku tak mungkin berkata bahwa kisahku ini adalah yang paling menyedihkan di antara beribu kisah patah hati yang pernah orang lain alami.


Yang bisa aku katakan saat ini hanyalah, perasaan tak berbalas itu sangat menyakitkan.


****


Kisahku dengannya bermulai ketika kami sama-sama masuk fakultas yang sama, di Universitas kami dulu. 


Pada awalnya aku tak berniat menyukainya, mengingat bagaimana pun juga dia bukanlah orang yang bisa dengan mudah kugapai. Namun begitulah manusia, mereka hanya bisa berencana tanpa sadar bahwa perasaan adalah satu hal yang mustahil untuk tetap berada dalam keadaan sama.


Aku menyukainya. Bukan karena parasnya yang tampan ataupun karena dia unggul dalam banyak hal. Lebih karena, setiap melihatnya selalu muncul perasaan untuk memungut dan memeliharanya selayaknya manisnya anak kucing yang butuh banyak perhatian. Dan aku yakin semua orang akan berpikir sama denganku seandainya mereka tahu seperti apa pemuda ini sesungguhnya.


Akaashi Keiji. Sosoknya sedikit kurus meskipun ia terlihat padat. Pendiam dan terlihat jarang berkomunikasi dengan orang lain. Tapi hanya segelintir orang yang tahu bahwa dia adalah tipe orang yang lebih memikirkan orang lain dibanding dirinya sendiri. Hal itu yang kadang membuat banyak orang salah paham, termasuk diriku sendiri.


Pada dasarnya dia baik kepada siapa pun. Namun tidak semua orang yang mendapatkan salah satu kebaikannya itu mampu mengembalikan dengan porsi sama. 


Kalian tahu mengapa?


Karena jalan pikiran setiap orang itu berbeda. Pun Keiji yang nampak terlalu santai menanggapinya. 


Sayangnya aku tidak!


Bisakah kalian bayangkan apa yang aku rasakan ketika melihat seseorang harus mengasup infus rumah sakit selama seminggu setelah beberapa hari lamanya begadang membantu tugas akhir salah seorang temannya, dan temannya itu tak sekalipun datang menjenguknya dengan alasan ia sibuk dengan kelulusannya sendiri?


Akaashi Keiji, pemuda yang harus mengulang pendidikannya selama satu tahun ajaran penuh hanya karena ia terlalu fokus pada orang lain dibanding dirinya sendiri. Hal yang ingin aku lakukan adalah, menjadi salah satu penyokongnya meskipun dia tidak akan menganggapku demikian.


Sudah cukup dengan pembukaan tentang kisahku ini?


Baiklah, biarkan aku lanjutkan dengan cerita berikutnya.


Aku dan Keiji tergabung dalam lingkar budaya yang sama. Jadi sedikit banyak, aku selalu mencoba berkomunikasi dengannya. Dia cukup populer, baik di kalangan gadis yang setidaknya selama dua kali seminggu pasti akan ada yang mengajaknya jalan untuk sekedar nonton atau bahkan yang benar-benar pergi untuk berkencan, maupun di kalangan teman prianya yang sebagian besar memanfaatkannya untuk menarik perhatian para gadis saat mereka melakukan kencan buta, atau memanfaatkan otak unggulnya demi nilai tugas yang sempurna.


Semua orang menganggap Keiji bodoh di balik otak jeniusnya. Tapi aku yakin, kebodohannya itu hanyalah bentuk lain dari kebaikan hati yang tidak dimiliki orang lain, seperti aku contohnya.


Ia lulus. Namun menjadi editor di penerbit besar pun tak membuat sifatnya berubah. Dia tetap diperbudak, meskipun Keiji tak sekali pun pernah merasa diperlakukan demikian.


"Bukankah bekerja itu berarti kita harus memberikan seratus persen yang kita punya?" Ucapnya pada suatu hari.


Bagiku, dia telah memberikan berkali lipat dari itu.


Aku tahu hampir semua cerita tentangnya, karena aku selalu berusaha membawanya dekat dengan keberadaanku.


Benar, aku mengajaknya masuk tinggal bersama dalam share house yang ditinggali oleh selusin orang termasuk aku dan juga Keiji. Hanya ada empat wanita yang tinggal di sana dan hanya kamar mandi dan toilet yang digunakan terpisah sesuai gender, selebihnya kami bisa leluasa tanpa harus menginjak batas privasi yang lain.


Tapi Keiji tak pernah mengunci kamarnya. Itulah salah satu sebab kamarnya tak pernah sepi pengunjung, hingga dia sering mengungsi ke kamarku untuk menumpang tidur di saat aku tak membutuhkan ranjangku sendiri.


Kedekatanku dengan Keiji kadang mengundang banyak kesalahpahaman. Termasuk beberapa orang yang mengira kami adalah pasangan. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa Keiji tak lebih dari seorang adik bagiku-padahal aku setahun lebih muda darinya. Dan hanya beberapa orang yang tahu bahwa aku menyukainya. Bukan sebagai peliharaan, karena pada kenyataannya pun aku tak terlalu beruang untuk memelihara seorang laki-laki, melainkan sebagaimana sosok laki-laki yang dicintai oleh seorang wanita.


****


"Kenapa kau tidak mencoba mengatakannya?" Tanya Kawanishi, salah satu penghuni share house yang kebetulan mulai dekat denganku dna juga Keiji.


"Mungkin karena aku menyukainya seperti itu." Jawabku.


Bohong


Aku hanya menunggu kesempatan hingga dia mau berpaling ke arahku. Bukan hanya sebagai temannya, tapi juga sebagai wanita yang mungkin dia inginkan untuk hidup bersama.


Tapi itu hanya anganku saja. Karena bukan aku satu-satunya wanita yang beredar dalam orbitnya. Setidaknya, aku bukan yang paling cantik di antara wanita yang tinggal di tempat ini.


Masih ada mahasiswi tingkat empat yang menurut cerita yang beredar, dia adalah salah satu idola di universitas kami dulu. Dan seorang office lady menyilaukan berusia tiga puluh tahun yang juga tinggal di tempat ini.


Aku tidak bersaing. Begitu pun pula mereka. Karena aku tahu bahwa aku akan kalah, dan mereka pun tahu tak akan kalah dariku. Karena itu aku hanya diam saat kabar bahwa Keiji menyukai nona office lady yang sering aku panggil dengan Mayumi-san itu sampai ke telingaku.


Aku dan  Keiji adalah teman. Sebagaimana pun aku berusaha, aku hanya akan tetap menjadi temannya. Karena itu aku tidak tiba-tiba mengambil jarak untuk menjauh meskipun dia menyukai orang lain. Aku tetap bersikap biasa, ada untuknya di kala ia membutuhkanku. 


Bagaimanapun juga mengubah sikap akan tidak serta merta membuatnya menyadari perasaanku. Ditambah, sepertinya memperhatikan Keiji sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging hingga aku kesulitan menghilangkannya. Dan itu membuatku merasa menyedihkan.


Aku bahkan rela terlambat ke kantor hanya karena harus memasak bubur ketika pemuda itu mendadak demam. Orang lain bisa bilang 'hanya', tapi bagiku saat ini, Keiji adalah prioritas utama.


Entah apa yang akan terjadi kemudian, jika tiba saatnya pemuda itu memilih seseorang untuk hidup bersama. Dan kenyataannya orang itu pasti bukanlah aku.


"Kau telat lagi hari ini?" Tanya Kawanishi. Dia yang paling perhatian dengan keseharianku yang sibuk oleh Keiji, bahkan lebih sibuk dari kekasih pemuda itu sendiri.


Benar. Kabar bahwa Keiji dan Mayumi-san berpacaran sudah menyebar ke seluruh penjuru rumah. Dan wanita yang lebih berumur dari semua penghuni share house ini telah mengkonfirmasi kebenaran berita itu sendiri. Aku terkejut, namun tak sekaget itu. Yang bisa aku ratapi sekarang hanyalah, tidak adanya lagi kesempatan untukku.


"Kau baik-baik saja?" Kawanishi kembali bertanya.


"Aku baik-baik saja!" Ujarku kemudian, meskipun tak terdengar meyakinkan.


"Kenapa kau tidak mengatakannya? Tidak kah menyakitkan bagimu untuk tetap bersikap sama saat ini?"


Jujur saja, aku tidak akan merasa sakit seandainya Kawanishi tidak mengingatkanku akan hal itu. Namun aku tidak menyalahkannya karena itu merupakan bagian dari perhatiannya padaku. Dan kata-katanya menjadi pacuan bagiku untuk mulai menerima kenyataan, kemudian mundur perlahan.


****


Sejak saat itu, aku berhenti membuka pintu saat ia tiba-tiba datang mengetuknya di tengah malam. Aku berhenti mengingatkannya untuk makan di saat jamnya tiba. Aku bahkan berhenti bertegur sapa dengannya dan memilih untuk menghindar saat keadaan datang untuk mempertemukan kami.


Semua orang merasakan perubahan. Aku pun yakin dia yang paling merasakan perubahan dari sikapku ini. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin lagi diperbudak oleh perasaanku kepadanya. Sudah cukup selama hampir tujuh tahun ini saja.


"Dia menanyakanmu," kata Kawanishi tiba-tiba, saat kami menyelesaikan sarapan dan mulai beranjak dari kursi masing-masing.


Mungkin Kawanishi juga tengah menimbang apakah ia harus mengatakan sesuatu tentang Keiji atau tidak padaku. Karena dia pun tahu, aku bisa saja goyah karenanya.


"Kalau saja dia melakukan suatu hal yang tidak kau suka. Karena tak sekalipun dia melihatmu marah, dan tiba-tiba kau menjauhinya."


Hatiku mencelos. Mungkin akan lebih baik apabila aku menyatakan perasaanku sejak awal, hingga dia tak perlu merasa bersalah seperti ini. Tapi aku terlalu pengecut untuk itu.


"Bukankah lebih baik kalau kalian saling bicara?"


Saling bicara?


Untuk apa?


Aku sudah memutuskan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Menjauh darinya, dan membuka lembaran baru dalam hidupku.


Dua hari lalu ibuku menelpon, memintaku kembali ke kampung halaman dalam minggu ini untuk hal yang katanya cukup penting. 


Perjodohan, katanya. Mendesak anak perempuannya menikah di usia hampir dua puluh tujuh merupakan hal yang wajar di lingkunganku tumbuh. Karena itu ayahku berusaha untuk menikahkanku dengan anak-anak dari kolega maupun kenalannya. Kebetulan orang yang menjadi pasangan perjodohanku ini adalah teman masa kecil yang cukup aku kenal hingga mau tidak mau aku harus menemuinya paling tidak untuk bertegur sapa. 


Keputusan sepenuhnya ada di tanganku. Aku bisa menolak seandainya aku tidak merasa cocok, karena itu aku menyetujuinya.


Tidak ada yang tahu tentang hal itu sampai kemudian Kawanishi melihatku mulai beberes di hari kedua sebelum kepulanganku.


"Kau mau pergi ke suatu tempat?" Tanyanya saat aku membawa banyak kardus untuk menata semua barangku kemudian mengirimnya ke kampung halaman selanjutnya. 


Aku belum sempat menjawab sampai Kawanishi sadar bahwa aku akan meninggalkan tempat ini.


"Kenapa kau tidak bercerita? Apakah kau juga sudah mengatakan ini padanya?" Pemuda seusiaku itu bertanya, mengguncang kedua bahuku. 


Aku tertawa, "Aku akan pamitan kalau semuanya sudah selesai."


"Bukan pamitan! Aku bilang kalian harus bicara!" Aku bisa merasakan emosi yang ada pada kalimat yang Kawanishi lontarkan. Tapi aku sudah ada pada keputusanku.


"Selebihnya aku minta tolong padamu. Kau juga tahu seperti apa Keiji. Jangan lupa ingatkan dia untuk makan," ujarku sambil terkekeh.


"Hah, tidak ada orang lain yang mau mengurus orang semerepotkan Keiji selain kau!"


"Tapi aku sudah menyerah."


Kawanishi diam. Dia tidak lagi bisa menyahut mauput mendebat kalimatku, hingga akhirnya dia malah membantuku membereskan semuanya.


****


Aku mengambil kereta keberangkatan pagi agar bisa tiba di saat matahari belum terbenam. Dan itu membuat para penghuni share house harus bangun pagi setelah malam sebelumnya kabar bahwa aku akan keluar dari tempat itu menyebar karena beberapa orang melihat aku mengangkut kardus barangku ke ruang tengah.


Semua orang berkumpul kecuali Keiji. Kawanishi bilang dia belum bangun saat ia datang ke kamarnya tadi. Sayang, namun aku bersyukur tak harus merasa lebih menyedihkan saat harus berpisah dengannya.


Kawanishi mengantarku sampai stasiun dengan mobil milik salah satu penghuni share house. Di perjalanan dia sempat bertanya apa aku sudah benar-benar memutuskannya.


"Aku tidak pernah seyakin ini," jawabku.


Kalau dulu aku cukup senang hanya dengan menjadi sandaran bagi pemuda yang aku suka, maka sekarang aku harus bisa menemukan kebahagiaanku sendiri.


Selebihnya kami diam selama tiga puluh menit perjalanan. 


Sembilan puluh sembilan hari semenjak aku tidak lagi bicara padanya. Dan hari-hari menyesakkan itu harus aku akhiri di sini namun masih dengan keadaan yang sama. Hatiku serasa hancur terbagi menjadi beberapa bagian, tapi aku menolak untuk menangis. Setidaknya sampai aku meninggalkan tempat ini.


Aku akan menangis sepuasnya saat aku tiba di kamarku nanti.


Peron mulai penuh, diisi orang yang hendak bertolak meninggalkan kota ini. Aku menarik koperku, berdiri menuju garis kuning untuk mengantre masuk saat kereta sudah datang.


Masih sepuluh menit lagi. Tapi aku tak sabar dengan seribu kebisuan dan rasa sesak yang terus menyumbat rongga dadaku.


Sampai kemudian ada suara familier yang dengan cukup lantang memanggil namaku.


Keiji datang. Berbalut mantel kusut yang paling ia suka bahkan semenjak dia masih berstatus mahasiswa. Dia berlari menghampiriku yang masih terpaku tidak percaya bahwa dia akan datang.


"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku.


"Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan?"


"Aku akan kembali ke rumah. Harusnya kau tahu karena aku sudah mengatakannya semalam."


"Kau tidak mengatakan itu sebelumnya!"


Memangnya kalau aku mengatakannya kau akan mencegahku untuk pergi?


"Apakah aku melakukan kesalahan? Katakan sesuatu padaku agar aku bisa memperbaikinya tanpa kau harus pergi!"


"Tidak."


Semua salahku. Kalau saja aku tidak berusaha meletakkannya dekat denganku setiap saat, maka aku maupun dia pun tak akan begini.


"Tidak ada hubungannya denganmu. Jadi tenanglah. Orang tuaku hanya memintaku untuk pulang."


Ini yang terbaik. Aku tidak perlu mengatakan hal yang lain.


Beberapa puluh detik kemudian kereta datang dengan pintu yang kemudian terbuka setelahnya. Aku hanya melayangkan senyum terakhir sebagai tanda perpisahan kemudian berniat naik sebelum tiketku berakhir sia-sia.


Tapi dia menggapai lenganku bahkan sebelum aku berjalan lima langkah darinya.


"Jangan pergi! Aku tidak bisa hidup tanpamu!"


Secepat dia mengatakan kalimat itu, secepat itu pula rongga dadaku terpukul mendengarnya.


"Kau bicara apa?" Ucapku pelan.


Aku hanya tidak ingin menangis sampai aku tiba di kamarku sendiri, tapi pemuda ini nyaris menggagalkan semuanya.


"Aku tidak lagi berhubungan dengan Mayumi-san, jadi jangan tinggalkan aku!"


Beberapa jebak terlewar sebelum aku tergelak selepas Keiji melontarkan kalimatnya. Meskipun hal itu mengandung kenyataan yang aku rasakan, tapi aku tetap tidak ingin mengakuinya.


"Kau bicara apa? Tolong jangan jadikan aku alasan untuk mengakhiri hubunganmu!"


"Kalau begitu kenapa kau menjauhiku setelah tahu bahwa aku berhubungan dengannya, padahal sebelumnya kau tidak peduli dengan siapa aku berhubungan?"


Dulu aku belum menyerah. Lain sekarang dimana aku sudah mulai menyadari bahwa bagaimanapun juga dia tidak akan berpaling.


Kereta akan segera berangkat, bagi para penumpang harap segera masuk.


"Aku juga sama denganmu. Ingin menemukan seseorang untuk hidup bersama. Aku akan kembali dan menikah," jawabku. 


Dan perlahan aku merasa genggaman tangannya pada lenganku sedikit melonggar. Aku menggunakan kesempatan itu menarik diri sampai kemudian aku berhasil masuk ke dalam kereta. "Jadi sampai jumpa!"


Aku membalikkan badan, berusaha mencari nomor kursi yang aku pesan, meninggalkannya berdiri di depan pintu yang masih terbuka.


Helaan napas panjang keluar setelah aku mendengar pintu tertutup diikuti suara pemandu kereta yang menyusul setelahnya.


Aku belum menemukan kursiku di antara kursi-kursi lain yang kosong tanpa penumpang. Saat aku mendapatkan nomor sama dengan yang tertera pada tiketku dan berusaha menyimpan koper di rak yang berada di atasnya, seseorang sudah memelukku erat dari belakang.


****


Perjalanan sunyi meskipun aku sudah menyiapkan music player yang sudah kuisi penuh dayanya semalam, namun tak juga kunyalakan karena keberadaan seseorang kini duduk tertidur menyandarkan kepalanya pada bahuku.


Wajahnya nampak tirus, dia terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali aku bicara padanya.


Salahku yang membiarkannya terus bergantung padaku, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Aku berniat untuk menjelaskannya saat ia bangun nanti, kemudian memintanya langsung kembali begitu kereta sampai.


Tapi, sepertinya hal itu lebih sulit dibanding yang aku bayangkan. Dia tidak berhenti membuntutiku meskipun aku sudah memberinya tiket untuk kembali.


"Keiji," panggilku kemudian setelah membawanya ke sebuah kedai untuk makan. 


Selama tidur di perjalanan tadi aku beberapa kali mendengar perutnya terus berbunyi. Mungkin aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sesuatu terjadi padanya karena aku tidak mengajaknya makan terlebih dahulu.


"Aku mau katsu kare," ucapnya tanpa menunggu aku melanjutkan kalimatku.


Setelah memesan semua yang dia inginkan, aku hanya diam menunggu sampai dia selesai. Nafsu makanku bahkan hilang hanya dengan membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.


"Kau tahu jalan menuju platform keretanya kan? Aku harus pulang sekarang." Ucapku sembari memberesi beberapa isi tasku yang bercecer di atas meja.


Keiji nampak sigap menghentikan aktivitasnya, lalu mengarahkan seluruh fokusnya kepadaku. "Aku tidak akan pulang. Setidaknya, tanpamu."


"Aku sudah bilang 'kan, bahwa aku sudah keluar dari tempat itu?"


"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?"


"Aku juga sudah bilang kalau aku akan menikah."


Pemuda itu bergeming dengan kedua netra yang tak lepas dariku. "Kau bercanda ya? Siapa yang mau menikah dengan gadis yang selama ini tidak mempedulikan siapa pun selain aku?"


Hatiku mencelos. Dia menyadari bahwa seluruh perhatianku selama ini terpusat padanya. Tapi dia diam saja seolah dia tidak mengetahui perasaanku. Bahkan hingga beberapa detik yang lalu aku masih menyalahkan diriku karena membuatnya terlalu bergantung padaku. 


Aku ini bodoh sekali.


"Kau ini jahat sekali. Bukankah kalimatmu yang terakhir itu tidak perlu kau ucapkan?"


"Kalau aku tidak mengatakannya, kau akan semakin menjauh dariku."


"Dia teman masa kecilku." Aku memulai. "Aku mengenalnya dengan baik meskipun aku menghabiskan beberapa tahun ini di kota."


"Kau tidak bisa menikahinya!"


"Kenapa tidak? Dia orang yang baik selama aku mengenalnya."


"Tidak."


"Seperti kau yang menjalin hubungan banyak orang, aku juga tidak meminta persetujuanmu. Jadi pulanglah. Aku tidak akan mengundangmu ke pernikahanku kalau kau tidak menginginkannya ...."


Keiji menelan ludah sekejap lalu mengerahkan seluruh perhatiannya kepadaku lagi. "Aku tidak sedang memberi persetujuan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku yang akan menikahimu."


Sungguh tidak masuk di akal. 


Dunia terasa terbalik hanya dalam waktu satu malam, dan aku tidak habis pikir tentang itu. 


"Biarkan aku ke toilet sebentar," kataku kemudian. 


Aku berniat berlari membawa koperku, tapi sepertinya Keiji tahu trik yang berusaha aku gunakan. Dia menyita koper dan berniat menyita tas tentengku juga.


"Semua alat sanitasiku ada di sini. Kau masih mau menyitanya?" 


Keiji tidak menjawab kemudian membiarkanku melenggang pergi menuju toilet.


Aku hanya ingin menjauh darinya. Karena bagaimanapun juga dia bukan orang yang akan mengerti bagaimana perasaan diacuhkan selama tujuh tahun itu semenyakitkan apa. Bisa bersamanya pun belum tentu aku akan bahagia mengingat riwayat kasih tak sampaiku yang begitu panjang. Dan kemungkinan dia ingin menikahiku hanyalah karena tidak ada mantan kekasihnya yang mengerti dirinya seperti aku.


Aku muak.


Aku berlari, berbalik dari arah yang seharusnya kutuju, kamar mandi.


Aku mendengar Keiji terus memanggilku. Rupanya dia mendapatiku yang melarikan diri tanpa mengambil koperku kembali.


Tangisku pecah. Mengasihani diriku sendiri karena mencintai orang yang salah. Harusnya aku menyerah sejak pertama kali aku melihatnya dia membawa adik kelas ke salah satu pertemuan di lingkar budaya. Tapi aku bersikeras untuk tetap dekat dengannya hingga tujuh tahun pun terlewati dengan cara yang sama.


Keiji tidak menghentikanku, tapi aku tahu dia terus berada di belakangku bahkan hingga tiga puluh menit aku melangkah. Dia tidak lagi memanggilku. Hanya diam, berjalan seolah dia adalah bayanganku yang tak akan lepas selama cahaya masih bersinar.


Tapi petang mulai menjelang. Dia harus kembali. 


Tanpa diriku tentunya.


"Sampai kapan kau akan mengikutiku?" Tanyaku, berhenti tapi aku tak ingin menoleh.


"Sampai kau berhenti dan mendengarkanku."


"Aku mendengarkanmu!" Kataku dengan desibel cukup tinggi, masih tak ingin berbalik untuk melakukan kontak mata dengannya. 


Aku mendengar langkah kaki dan suara roda koper yang datang mendekat alih-alih dia yang mulai berkata. Detik berikutnya lengannya sudah melingkar menyelimutiku dari belakang.


Aku tidak siap.


"Aku tidak bilang kau boleh merangkulku," kataku masih dengan desibel suara lebih rendah.


"Agar kau tidak lari lagi," Keiji menjawab. Napasnya menyapu daun telingaku, dan aku hanya bisa pasrah sekarang.


Sejenak kami terdiam. Aku membiarkan Keiji membenamkan wajahnya pada salah satu bahuku.


Jalan menuju kompleks perumahan ini tidak pernah ramai, ditambah hari sudah gelap untuk orang berlalu-lalang. Harapanku hanyalah, semoga tidak ada seseorang yang kebetulan mengenalku lewat dan melihat apa yang sedang kami lakukan.


"Menikahlah denganku …." ucap Keiji selanjutnya.


"Aku kembali untuk menikah dengan orang lain. Dan kau juga baru saja putus dengan pacarmu. Tidak kah terlalu cepat bagimu untuk berpindah?"


Padahal dia sudah datang hingga sejauh ini. Jarak yang tak pernah aku bayangkan untuk ia tempuh hanya demi mengejarku. Tapi aku tak bisa gembira karenanya. 


"Aku tidak merasa perlu untuk menunggu untuk mengatakan bahwa kau yang aku inginkan Karena selama beberapa tahun belakangan ini pun aku selalu memikirkan hal yang sama tapi aku tidak pernah menemukan cara bagaimana untuk mengatakannya." 


Lalu kenapa kau berhubungan dengan orang lain?


Jawaban belum tentu akan kudapat seandainya aku menanyakan hal itu kepada Keiji, karena aku pun yakin dirinya masih ragu dengan perasaannya kini, kendati dia masih bersikeras untuk menarikku kembali.


Aku membawanya ke taman, mencari tempat duduk meskipun yang kupilih hanyalah ayunan yang tak mempunyai stabilitas untuk mendukungku berpikir sedikit lebih realistis. 


"Jadi sampai kapan kau akan menahanku?" Tanyaku lagi. "Kau tidak dengar ponselku berdering dari tadi? Ibuku pasti sudah menunggu."


"Kalau begitu bawa aku ke rumahmu!"


"Bodoh! Mana mungkin gadis yang ingin menikah membawa laki-laki lain ke rumahnya!"


"Aku akan bilang pada orangtuamu bahwa aku lah yang akan kau nikahi."


Dia yang akan aku nikahi?


Entah mengapa, aku mulai tak suka diriku yang selalu dijadikan subjek. Kenapa dia tidak bilang bahwa dia yang akan menikahiku, alih-alih mengatakan aku yang akan menikahinya?


"Ayahku akan menendangmu bahkan sebelum kau masuk ke rumah, jadi menyerahlah!"


Aku terus melayangkan kalimat penolakan meskipun sesekali batinku berharap bahwa aku bisa bahagia bersamanya. Aku tak lagi menemukan alasan untuk apa aku harus bersamanya selain karena aku menyukainya dan dia yang sekarang menginginkanku untuk bersamanya. 


Tapi dua hal itu nampak bias bagiku yang mendambakan kebahagian jangka panjang.


"Kalau waktu bisa berputar ulang, bagian mana yang harus aku perbaiki agar kau tidak meninggalkanmu saat ini?" Alih-alih merespon permintaanku sebelumnya, Keiji justru bertanya hal yang tidak cukup masuk akal.


Bagian mana? 


Kalau ada yang harus diperbaiki, tentu saja itu ada di pihakku. Aku seharusnya menyerah sejak awal hingga aku tak perlu merasakan kekecewaan yang membuatku ragu membuat keputusan.


"Dua hari lalu, Mayumi-san memintaku melamarnya."


Aku belum pernah mendengar informasi ini. Tentu saja, karena aku tidak pernah bicara padanya beberapa hari terakhir.


"Jujur saja, aku tak pernah memikirkan pernikahan. Kalau pun aku membayangkannya, maka yang akan muncul saat itu hanyalah kau. Awalnya aku berpikir itu hanya karena aku terlalu terbiasa bergantung padamu. Tapi setelah mencoba berhubungan dengan banyak gadis, ternyata yang aku pikirkan hanyalah kau. Aku selalu ingin cepat pulang saat berkencan dan segera datang ke kamarmu, bukan karena terpaksa karena kamarku selalu ramai. Melainkan karena aku hanya ingin melihat wajahmu."


Aku terdiam. Mencoba menangkap kebenaran yang mungkin saja terkandung dalam rangkaian katanya yang panjang. Tapi kedua manik gelapnya menatapku, di tengah temaram dan heningnya taman tempat kami berada.


"Aku ingin kau memikirkannya lagi." Keiji berkata sambil bangkit. "Kalau dengan penjelasanku tadi kau masih tetap dengan keputusanmu, mungkin aku memang harus menyerah. Aku akan kembali sekarang, tapi aku akan terus menghubungimu sampai kau benar-benar muak. Dan perlu kau ingat, aku punya nomor telepon rumahmu."


Kemudian, dia berlalu tanpa menunggu responku yang tetap saja diam hingga dia hilang ditelan malam.


****


Aku menunggunya.


Menunggu dia menghubungiku mengingat ini sudah hampir dua jam sejak kami berpisah di taman tadi. 


Aku bahkan melewatkan makan malamku karena aku tidak cukup memiliki nafsu untuk mengunyah makanan sementara aku terus khawatir tentangnya.


Padahal dia bilang akan terus menghubungiku!


Dengan kesal aku meraih batang ponsel dan mulai mencari nomornya dalam daftar kontak. Butuh sekitar sepuluh menit sampai akhirnya aku menyentuh sensor pada tombol panggil di layar.


Dalam waktu beberapa detik, aku mendengar suara Keiji jauh di seberang sana bersama suara kereta yang menjadi latar belakang suaranya.


"Ada apa?"


"Kau di mana? Sudah naik kereta? Kau tidak tersesat kan?"


"Aku masih di stasiun."


"Aku punya permintaan."


"Aku tidak akan melakukannya kalau kau memintaku menyerah sekarang."


"Temui orang tuaku, katakan bahwa kau yang akan menikahiku sekarang!"


"Hah?!"


"....."


"Aku akan segera datang!"


Keiji segera mematikan telpon setelah mengucap kalimat terakhirnya. Tapi beberapa menit kemudian panggilan masuk datang darinya, menanyakan di mana posisi rumahku berada.


Aku akan menikah.


Entah, apakah pernikahan ini akan membawaku dalam kebahagiaan atau tidak. Tapi setidaknya kekhawatiranku akan Keiji tak akan terlalu menyiksa seperti di saat aku tak berada didekatnya.


━Fin━



Comments