DaiYui - Five-yen Coin of Destiny

DaiYui 



運命の五円玉


****


Yui pernah mendengar, tentang dari mana itu, dia sudah lupa. Katanya, kalau kau melempar sepuluh koin lima yen dalam kotak persembahan ketika kau berdoa, maka keberuntungan dan koneksimu akan bertambah lima kali lipat. Karena itu, dia selalu menyediakan banyak koin lima yen dalam dompetnya.


Teman-temannya bilang itu tak sepenuhnya benar. Toh, dewa bukanlah zat pemilih yang hanya mengabulkan permohonan mereka yang melempar lebih banyak uang. Namun pendapat itu tak lantas membuat Yui berhenti mengantongi dompet koin yang cukup memberatkan kantongnya itu.


Yui menyukai jinja[1]. Bukan perkara ia berasal dari keluarga penganut Shinto yang taat ーbisa kau lihat pula dari marganya yang merupakan Michimiya[2]ー , lebih karena dia senang berdoa setiap saat. Yui akan meluangkan waktunya untuk sekedar ber-kashiwade[3] bahkan di depan hokora[4] yang ia temui di tempat tak berpenghuni sekali pun.


Selama ini beberapa temannya bertanya, untuk apa ia terus-terusan berdoa. Padahal dia tidak memiliki permohonan khusus yang menurut mereka perlu segera terlaksana.


Ah, kalau pun itu ada, mungkin Yui hanya ingin perasaannya pada Sawamura; rekannya di SMA segera mendapat sambutan. Tapi itu bukan sesuatu yang ingin Yui dapatkan dengan tergesa.


Baginya bertepuk, kemudian merapatkan tangan tak hanya berlaku ketika seseorang ingin menyatakan sebuah permohonan pada dewa. Namun itu juga salah satu cara bagi manusia untuk berterima kasih atas berkah yang berlimpah ruah tanpa batas untuk mereka.


Hari ini pun tak lupa Yui bertepuk, merapatkan tangan dengan mata terpejam saat ia tak sengaja melihat hokora kecil dalam perjalannya menuju sekolah. Tak ada kotak persembahan, jadi dia tidak melempat sepuluh keping lima yen di sana. 


Terima kasih untuk kedamaian hari ini dan setelahnya, batin Yui dalam pujiannya.


Kemudian, dia kembali berjalan dengan langkah begitu ringan menuju sekolah.


Mungkin bagi sebagian orang sekolah adalah tempat yang cukup membosankan dengan tumpukan materi dan tugas yang kadang akan membuat mereka mual. Tetapi bagi Yui, sekolah adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa bertemu dengan Sawamura, ya Sawamura Daichi nama lengkapnya.


Yui menyukainya sejak cukup lama. Cukup lama hingga dia tidak bisa lagi menghitung berapa banyak keping lima yen-nya ia persembahkan pada dewata untuk berdoa; agar dia diberi keberanian untuk mengungkapkan perasaan itu padanya.


Nyatanya itu memang sulit. Tidak cukup hanya dengan meminta pertolongan dari dewa. Namun Yui tak pernah lupa untuk selalu mengungkapkan permintaannya.


Seperti di depan hokora tadi, saat diam-diam ia juga menyelipkan sebuah permohonan, "semoga hari ini aku mendapatkan sedikit keberanian untuk berhadapan dengannya."


Sawamura bukan orang yang tak acuh. Namun itu yang justru membuat Yui sedikit gugup saat harus berhadapan dengannya. Takut tatapan si pemuda melucutinya hingga perasaan yang ia pendam selama ini disadarinya.


Sawamura Daichi. Banyak orang bilang bahwa dia bukanlah orang yang cukup peka.


Padahal itu tidak benar. Pemuda itu yang akan menyapanya pertama kali saat Yui menemukan kesulitan, terlebih apabila itu perihal tim bola voli yang sama-sama mereka ketuai.


Sawamura; Yui ingin sekali bisa memanggil sulung itu dengan nama kecilnya. namun rupanya saat itu akan datang dalam waktu yang cukup lama.


"Ah, sejak kapan ada kuil di sini?" Yui bertanya pada dirinya sendiri tiba-tiba, selepas ia menemukan gapura berwarna merah di tepi jalan sepi yang jarang ia lewati.


Yui melangkah, mengurut jalan setapak dengan yang kiri-kanannya dipenuhi deteran pohon akasia. 


Suara lonceng sayup berbunyi dari bangunan utama. Semerbak lenggang angin yang datang mengayunkan keringnya rerumputan di area pekarangan. Penanda bahwa musim panas telah berganti dengan sejuknya musim gugur.


Langkah Yui berhenti di depan kotak persembahan. Pertama kalinya untuk hari ini, dia membuka dompet koinnya yang beratnya berangsur ringan tiap harinya.


Ah, tinggal lima keping lima yen saja yang ia punya. Tapi tak apa, keberuntungannya masih bisa bertambah dengan dua kali lipat dengan itu. Yui melemparnya, sebelum ia menarik tali lonceng lalu berdoa selepasnya.


Entah karena efektivitas doa atau apa, intuisi Yui berkata bahwa hari ini pun tetap akan berakhir menyenangkan.


Ya, semoga saja. Gumamnya pelan sebelum berbalik dan menemukan sosok yang diidamkannya tengah berjalan menuju tempatnya berada.


"Sawamura?"


"Ah, sudah kuduga!" Ujarnya santai, seolah menemukan gadis Michimiya tengah melakukan persembahan di kuil adalah hal yang cukup lazim baginya.


"Apa yang kau lakukan di sini?" Yui bertanya, berusaha menahan perasaan gugupnya.


"Aku tidak sengaja melihatmu masuk ke pekarangan kuil tadi."


Oooh ....


Yui menunggu pemuda itu melakukan hal yang sama. Melempar koin, menarik lonceng, lalu berdoa. Hal cukup langka melihat pemuda itu bergeming untuk berdoa. Kira-kira, apa yang tengah dimintanya, begitu pikir Yui.


"Hari ini hanya lima?" Tanyanya setelah selesai dengan ritual permintaannya.


"Ya ... eh, ya?"


"Sugawara bilang kalau kau biasa melempar sepuluh koin setiap melakukan persembahan."


"Oh, aku kehabisan koin."


"Sudah kuduga." Sawamura tergelak singkat. "Karena itu aku pun melempar lima."


Yui butuh waktu beberapa lama untuk mencerna perkataan si sulung Sawamura itu sampai ia akhirnya berkata, "eh, bagaimana?"


"Bukan apa-apa." Pungkas si pemuda sebelum ia mulai berjalan, mengajaknya melanjutkan perjalan mereka ke tujuan utama; sekolah.


Sementara Yui masih bertanya-tanya apa maksudnya. 


Apa pun alasannya, tetap saja hal itu membuat hati si gadis Michimiya berbunga-bunga.


Kami-sama, terima kasih atas keberuntungan ganda hari ini. Ucapnya, dalam hati tentunya.


****


Note: 


  1. Jinja: kuil Shinto

  2. Marga Yui; Michimiya (道宮)secara harfiah bisa diartikan sebagai 'jalan dan kuil'.

  3. Kashiwade: ritual menepuk tangan (kalau nggak salah 3 kali) sebelum berdoa di kuil.

  4. Hokora: sejenis kuil, tapi kecil dan bisa dijumpai di mana aja.











Comments