Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu|♯10. Stronger Feeling

Natsu Yasumi no Jiyuu Kenkyuu

更なる想い




****


"Apa yang terjadi?" Sayup Atsumu mendengar suara belah pinangnya dari balik pintu kamar mereka.


"Tidak ada," sahutan dari si gadis kemudian mengikutinya.


"Jangan bohong!"


Terdapat jarak sampai suara berat Osamu kembali datang menembus dinding ruangan. "Rei, apa kau tidak bisa memilihku saja?"


Serta merta, Atsumu menutup kedua telinganya dengan punggung tangan sebelum dia membanting tubuh di atas tempat tidur. 


Atsumu tahu bahwa dia bukan satu-satunya orang yang menyukai Rei, karena intuisinya selalu menyatakan bahwa belah pinang yang memiliki DNA yang sama dengannya pun demikian. Namun, getir rasanya menerima bahwa Osamu lebih memiliki keberanian dibanding dirinya.


Tapi, bukankah selama ini pun dia selalu bersusah payah untuk mengalahkan Osamu? Kenapa untuk hal ini Atsumu tidak berniat melakukannya?


****


Setelah lama bergeming Atsumu terkaget oleh panggilan Rei yang kini menggerakkan sumpitnya, menjumput acar lobak di atas meja. Sejenak Atsumu teringat satu dari potongan masa lalu yang sempat ia lupakan. Dan kini dia bertanya kenapa kilas itu datang di saat wanita itu tengah bersamanya.


"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Rei. Detik berikutnya dia menyuap potongan acar lobak ke dalam mulutnya.


"Tidak ada."


"Wajahmu terlihat memikirkan sesuatu yang sulit."


Atsumu hanya terkekeh lirih sementara tangannya menggapai gelas ginger ale, lalu meneguknya pelan.


"Ngomong-ngomong, aku tidak menyangka Osamu yang pertama menikah dari kita bertiga," merasa kehabisan pokok bahasan, Rei memilih untuk berlanjut dengan cerita Osamu untuk menyambung obrolan.


Atsumu bukannya tidak suka. Tapi kilas yang baru saja dilihatnya turut mempengaruhi emosi hingga ia bingung respon seperti apa yang harus dia keluarkan untuk menanggapinya.


"Kupikir aku yang akan menikah duluan," lanjut si wanita. Membuat Atsumu mencelos selama beberapa saat. Berpikir kemungkinan bahwa Rei sudah tidak lagi sendiri saat ini. Seperti pikirannya yang sempat menyelinap sebelumnya, tentang eksistensi Atsumu yang tak lagi valid dalam hidup Rei.


"Kau sudah menemukan seseorang?" Atsumu dengan ragu menanyakan.


Tetapi dengan cepat Rei menggeleng, memberikan sebuah afirmasi bahwa yang Atsumu asumsikan tak benar adanya. "Padahal aku berharap untuk segera menemukannya. Kalau begini kan kau bisa mendahuluiku," tambah si wanita. Tangannya masih sibuk memilah apa yang akan masuk ke dalam mulutnya setelah ini.


Semula, Atsumu berpikir bahwa bicara lagi dengan wanita itu akan membuatnya merasa canggung. Nyatanya pembicaraan mengalir, seolah tak pernah ada apa-apa di antara mereka. Atsumu gamang, tak ingin sosoknya hanya bertahan sebagai teman masa kecil selamanya. Namun dia juga tak ingin semuanya berubah seandainya dia nekat mengutarakan perasaannya selama lebih satu dekade ini.


"Kenapa kau pikir aku yang akan menikah duluan?"


"Aku membaca berita di tabloid mingguan beberapa waktu lalu. Kudengar kau berpacaran dengan aktris tertentu."


Atsumu diam. Tidak ada sesuatu yang lebih buruk dari ini, pikirnya. Dia selalu membiarkan media bertindak seenaknya dengan mengumbar banyak hubungan yang telah dijalaninya selama ini. Tapi Atsumu tidak pernah semenyesal dan semurka ini karenanya.


"Aku menyukai aktingnya. Bisakah kau minta tanda tangan untukku suatu saat nanti?" Pinta Rei. Atsumu tidak tahu sampai titik mana kalimatnya itu bisa ia anggap serius.


"Kami, sudah tidak berhubungan lagi."


Bibir Rei mengatup. "Maaf ...."


"Kau tidak perlu minta maaf."


"Padahal aku berpikir kalian sangat serasi."


Atsumu benar-benar tidak ingin mendengarnya. Sekarang dia tahu betapa tak nyamannya perasaan saat orang yang kau suka bilang bahwa kau lebih cocok dengan orang lain.


Tak ingin berlama-lama dengan pembicaraan tentangnya, Atsumu segera mengambil alih dengan membuka topik baru yang cukup sensitif untuk mereka berdua.


"Tentang sepuluh tahun yang lalu ...."


"Ya?"


"Aku belum minta maaf padamu untuk waktu itu."


Tanpa menjelaskan lini waktu yang mana yang ia maksud, Atsumu tahu kalau wanita di depannya itu cukup tahu apa maksudnya. Tidak ada perubahan yang signifikan pada rautnya, namun Atsumu pun tahu kalau sekarang lawan bicaranya ini tengah dipaksa untuk mengarungi masa lalu, sama sepertinya.


"Ah, yang itu? Sudah, lupakan saja!"


Atsumu hendak menyahut, kalau saja ponselnya tidak tiba-tiba bergetar dengan display yang menampilkan nama Osamu. Dia segera mengangkat panggilan dari belah pinangnya itu setelah Rei mengangguk, memberinya waktu untuk menjawab.


"Aku sudah mendapatkan nomor temanmu." Ujar Atsumu setelah sambungan telepon berakhir. "Kau bisa gunakan ponselku untuk menelponnya."


"Te-terima kasih."


****


Pada akhirnya waktu mereka di izakaya berlalu begitu saja. Atsumu tak sempat mengatakan semua yang ingin dia katakan selain permintaan maaf yang segera terinterupsi oleh Osamu yang menelpon untuk memberikan nomor teman Rei. Setelah itu, Atsumu meminjamkan ponselnya guna wanita itu menelpon kawannya.


Tidak ada obrolan lain lagi setelah itu, hanya Rei yang kemudian menanyakan apakah Atsumu mengetahui hotel di sekitar sini. Dan, dalam perjalanan ke sana lah mereka sekarang.


"Atsumu, aku benar-benar berterima kasih untuk hari ini." Ucap si wanita yang berjalan dengan yang cukup santai, menyelaraskan langkah kaki Atsumu yang entah kenapa semakin lama semakin mengurangi frekuensi.


Jarak antara hotel dan izakaya tak begitu jauh, namun Atsumu sengaja membawanya melewati jalan berputar yang cukup sepi dan berharap bahwa saat mereka sampai di sana, seluruh isi perasaannya telah tersampaikan. Ironisnya dia masih belum mengatakan apa pun bahkan hingga gedung hotel yang cukup menjulang itu terlihat oleh tangkapan fokusnya.


"Apakah kau masih menggunakan nomormu yang lama?" Tanya Rei lagi yang spontan membuat Atsumu menyahut cepat.


"Ya. Hubungi aku kapan pun kau mau!" Ucapnya, mencoba berkelakar meskipun ia merasa masih cukup canggung untuk mengatakannya.


Dia sudah mengerahkan hampir tiga perempat energinya untuk sekedar menyambung pembicaraan di izakaya tadi. Sepuluh tahun tak melakukan komunikasi membuatnya ragu tentang apa yang harus ia bicarakan mengingat hanya memori terburuk yang mengambang melatari perpisahan mereka saat itu.


"Kau akan sibuk dengan wanita-wanitamu, jadi kupikir aku tidak akan sering menghubungimu." Rei terkekeh.


Lagi. Atsumu merasakan lagi ketidaknyamanan itu. 


"Hotelnya yang itu ya?" Rei menunjuk papan neon jauh di sana. "Aku bisa sendiri dari sini. Terima kasih banyak."


Bibir Atsumu masih mengatup, bahkan hingga wanita itu mengucap salam perpisahan dan mulai memutar tumitnya menuju arah yang berlawanan dari arah yang setelah ini akan Atsumu tempuh untuk pulang.


"Rei!" Akhirnya nama itu keluar dari bibirnya setelah wanita itu bergerak beberapa langkah.


"Ya?"


"Ada yang ingin aku katakan."


Rei memiringkan kepalanya, mencoba menebak kira-kira apa yang mungkin keluar dari pria kuning di depannya ini.


"Aku menyukaimu. Dulu dan sekarang."


Hening.


Atsumu tidak sedetikpun mengalihkan fokusnya pada wanita yang kini nampak bingung harus berkata apa.


"Osamu benar, aku terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku saat itu. Karena itu, aku menyia-nyiakan sepuluh tahunku yang berharga dengan berharap bahwa aku bisa melupakanmu. Tapi ternyata tidak. Dan setidaknya aku ingin kau tahu perasaanku ini sebelum kau semakin menjauhー"


"Atsumu, kau yang selama ini tampak jauh ...."


Atsumu memberi jeda beberapa saat sebelum kemudian menambahkan, "aku takut setelah ini akan ada lagi sepuluh tahun  yang membuat jarak yang harus kutempuh padamu semakin jauh. Atau bahkan mungkin aku akan terlambat."


Rei diam. Rautnya hampir sama seperti saat malam terakhir ketika mereka masih bersama. Terluka. Padahal Atsumu tahu, kalau pengakuannya ini hanya akan membuka lama baginya. Dan saat genangan itu mulai muncul di mata wanitanya, Atsumu mulai menyesal kenapa dia tak menyimpannya saja dalam-dalam di relung hatinya.


"Kenapa kau selalu menyusahkanku?" Lontarnya. Dan Atsumu tak memiliki jawaban yang cukup meyakinkan untuk menanggapinya selain kata maaf yang sudah cukup usang.


Kini Atsumu tidak tahu menahu lagi tentang apa yang harus ia lakukan, saat isakan wanita itu mulai datang memenuhi telinganya. Kapan dia akan berhenti membuat orang yang benar-benar dicintainya ini terluka. Kapan dia bisa menyembuhkan luka yang semakin dalam ia torehkan padanya?


Atsumu ingin sekali memeluknya. Berharap penyesalan yang ia rasakan selama ini tersampaikan padanya. Tapi, jangankan memeluknya. Ketakutan bahwa dia akan melakukan yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu membuatnya enggan untuk sekedar meraih jemarinya.


"Atsumu ...."


"Y-ya?"


"Aku sedang menangis."


"A-aku tahu."


"Bukankah seharusnya kau datang dan memelukku?"


Selama beberapa jenak Atsumu terdiam. Energinya yang sudah menipis membuat otaknya cukup lambat untuk memproses informasi yang baru saja ia terima. "Hah?" Ucapnya lirih.


"Kau mau memelukku atau tidak, hah?" Rei kini bertanya dengan desibel lebih tinggi meskipun suaranya sedikit parau karena isakan sebelumnya.


"Tentu saja aku mau. Tapi memangnya kau mau?"


"Kalau aku tidak mau mana mungkin aku bertanya, bodoh!"


"Tarik kata bodohnya, hei!"


"Kau memang bodoh!" 


"Berisik!" Geram Atsumu sembari menarik wanita itu ke dalam dekapannya hingga ia terdiam. 


Kali pertama Atsumu merengkuh wanita itu dalam peluknya. Bukan tanpa konsensus seperti yang pernah ia lakukan sepuluh tahun lalu; kalau mendekap untuk menciumnya bisa dihitung sebagai pelukan. Kali ini dia bisa merasakan kedua lengan Rei yang turut melingkar pada pinggangnya.


Kalau ini semua mimpi, maka Atsumu akan memilih untuk tidak bangun lagi. Dan dia beruntung bahwa ini bukan pula sebuah imajinasi.


Tenggelam, saling merasakan degup masing-masing, mereka nyaris lupa bahwa tempat mereka berada terlalu terbuka untuk melakukan sesuatu yang cukup mengundang banyak pasang mata.


"Tunggu, kau mau apa?" Tanya Rei ketika akhirnya mereka mengudar pelukan dan pemuda itu condong ke arahnya.


"Bukankah ini mood yang tepat untuk berciuman?"


"Kau gila. Ini di luar!"


"Kalau di dalam ruangan boleh?"


Rei menghela napas panjang sebelum dia sedikit menjauh dari Atsumu, meskipun si pemuda masih mengaitkan jarinya dengan miliknya.


"Aku tidak akan menginap di hotel bersamamu."


"Rumahku berada di dekat sini."


"Lalu?"


"Aku belum ingin berpisah," Atsumu berkata, dengan salah tangannya yang membawa punggung tangan si wanita untuk dia kecup selama beberapa detik.


"Sudah berapa wanita yang kau rayu dengan cara ini?"


"Hah? Mana pernah aku merayu wanita."


Dengan daftar panjang mantan pacar yang banyak terpampang di internet? 


Mustahil.


"Aku tetap akan menginap di hotel malam ini," putus Rei.


"Kalau begitu aku ikut!"


"Untuk apa? Kau punya tempat tinggal di dekat sini!"


"Aku lelah sekali dan ingin segera tidur."


"Jangan banyak alasan!"


Perdebatan yang cukup panjang itu belum berakhir hingga mereka mencapai lobi hotel. Dan sepertinya memang tak akan berakhir hingga pagi menjelang.


****



Comments