Oikawa Tooru - The Distance of 18000 km

1.8万㎞の距離

(Itten Hachi Man Km no Kyori)

The Distance of 18000 km



Oikawa Tooru x Reader


****


Sudah sekitar tiga minggu sejak aku mengirimkan sepucuk surat berisi seluruh perasaanku itu ke sebuah negeri di belahan bumi lain. Kalau dilihat dari rentang waktunya, kurasa sudah saatnya surat itu sampai di tangannya. 


Mungkin kini dia tengah merutuk seperti biasa, seperti yang selalu ia lakukan kala aku mencoba bicara tentang perpisahan yang  tidak pernah disetujuinya.


Aku tak ingin egois, pun ia juga selalu berkata demikian. Namun liku kehidupan kadang tak sejalan dengan apa yang selalu kami pikirkan.


Aku hanya ingin bersamanya. Meletakkannya dalam jarak yang dekat agar aku bisa dengan mudah bermanja dalam rengkuhannya. Namun itu tak akan pernah terjadi selama ia masih bergumul dengan obsesi terbesarnya; Argentina.


"Itu bukan obsesi, tapi mimpiku." Katanya suatu hari. Di malam sunyi, sehari sebelum ia kembali pergi menyeberangi lautan untuk sebuah determinasi.


Aku hanya mengangguk dan berkata, "ya." Tanpa pernah sempat berkata bahwa aku selalu menangis setelahnya.


Kalau impian terbesarnya adalah melawan semua rivalnya dalam bermain bola voli, maka impianku hanya satu. Mengawali pagi dan menutup malam dengan berada di sisinya. Sayangnya itu hanya impian belaka. Aku tak punya keberanian untuk mengutarakannya karena itu berarti aku akan menghancurkan mimpinya.


Tanpa mimpi, hidup seseorang akan terasa mati.


Dan aku lebih memilih untuk membuang mimpiku sendiri untuk terus bersamanya, dibanding dia harus kehilangan asa dalam hidupnya.


Dia bisa menemukan penggantiku, namun tidak dengan seluruh hal yang ia upayakan dalam menggapai mimpinya. Karena itu, lebih baik aku saja yang sirna, menghilang dari hidupnya.


Kupikir semuanya akan berjalan cukup lancar setelahnya mengingat 18 ribu kilometer bukan jarak yang cukup dekat untuk ia tempuh hanya untuk sebuah hubungan yang nyaris kandas. Namun Oikawa Tooru memang selalu tak terduga. Aku menemukannya berdiri kaku di depan pintu apartemen dengan raut nanar dan aku tahu apa sebabnya.


"Apa ini?" Tanyanya setelah melesak masuk tanpa peduli aku tak mempersilakannya. Tangannya memegang amplop surat yang kukenali sebagai surat yang kukirim untuknya beberapa waktu lalu.


"Kalau kau sudah membaca, maka seharusnya kau tahu apa maksudnya."


"Aku sudah membacanya, namun tetap tidak mengerti."


Aku bergeming selama beberapa jenak, membiarkannya duduk, tak lupa memberinya air untuk sekedar membasahi kerongkongannya.


"Aku selalu mendukungmu," ucapku memulai lagi pembicaraan yang sempat tertunda.


"Aku tahu."


"Karena itu aku tidak ingin menjadi batu sandungan lagi. Terbanglah setinggi mungkin, tanpa kau harus melihat daratan karena aku yang akan melihatmu di atas langit kelak."


"Aku semakin tidak mengerti."


"Tooru, mari akhiri semua," ucapku pelan. "Bukan ini yang aku inginkan. Pun aku tahu kau tak akan bisa memenuhi tuntutanku kalau kita memaksakan diri untuk terus bersama."


"Kau bahkan belum pernah mengatakannya!" Kilahnya menolak.


Tidak.


Aku selalu bilang bahwa aku ingin terus bersamanya setiap ia kembali. Namun balasannya hanya senyum simpul diikuti kalimat, "aku akan segera kembali." Selalu, dan selalu begitu saja.


"Aku hanya lelah menunggu."


"Hah?"


"Aku jemu memimpikan sebuah hubungan di mana tak ada jarak yang harus kau tempuh untuk menemuiku, pun sebaliknya."


"Aku pernah menawarimu untuk hidup bersama. Di Argentina."


Aku kembali diam, memberi jeda. Sudah kubilang, dia tidak akan bisa menjawab tuntutanku.


"Katakanlah aku kolot, karena aku bukan kau yang bisa meninggalkan tempat kelahiranmu untuk meraih dunia. Katakanlah aku pecundang yang tak bisa menang melawan keegoisan yang selalu bilang bahwa tempatku hanya di sini, tidak bisa mencari tempat lain untuk tinggal ....


Aku hanya ingin bangun, memasakkan sarapan dengan menu sampingan sup miso. Bukan sesuatu yang selalu kau sebut dengan tostadas.


Ketika aku bilang jarak, bukan 18 ribu kilometer yang aku khawatirkan. Melainkan jarak di mana aku mengerti dirimu. Apakah kita akan tetap sama seperti ketika kita masih bersama?"


Dia bungkam, tanpa sepatah kata pun terujar. Yang aku ingat setelah itu hanyalah malam yang kian larut dengannya yang tak mau melepaskan pelukannya padaku.


Aku pasrah. Bergumul dalam kehangatan pada setiap cumbu dan dekapannya, sebab aku tahu ini yang akan menjadi yang terakhir kalinya. 


Dia tak akan ada di saat aku terbangun nanti, untuk kembali ke belahan lain dari sisi bumi demi impiannya. 


***


Your thougt will surely make me happy

💌

Secreto

Comments