Semi Eita - Niramekko

Niramekko

(睨めっこ)



Semi Eita x Reader


niramekko; nirame.kko (n)

-staring each other

-staring-out game; those who laugh first is the lost one.


****


"Ayo kita taruhan!" Begitu katamu, sebelum kalian kembali duduk berhadapan seusai jam pelajaran. "Yang kalah harus menraktir makan siang besok."


Eita━teman sekelas sekaligus rekanmu di klub bola voli putra━sempat menolak tantanganmu dengan alasan bahwa latihan akan segera dimulai, kalian harus segera ke gimnasium. Tapi kau tahu itu hanya sebuah dalih karena dia tak pernah menang.


"Lagi pula, kenapa aku terus sih? Ajak Shirabu atau Goshiki sana!" Keluhnya, meskipun setelah itu dia tetap duduk tak beranjak dari kursinya.


Menantang yang lain bukan hal yang tidak pernah terlintas dalam pikiranmu. Hanya saja, kau tahu bahwa kau tidak akan bisa melakukannya. Shirabu terlalu menyebalkan untuk kau ajak bersenang-senang (ya, meskipun hanya kau yang merasakan kesenangan dalam taruhan), lalu Goshiki? Kau selalu takut kalau dia akan tiba-tiba menangis apabila kekalahan datang. Mental bocahnya adalah yang paling mengerikan bahkan dibanding spike dengan kekuatan penuh milik Ushijima Wakatoshi; kapten sekaligus ace tim yang pernah sekali mengenai kepalamu hingga kau harus absen memenejeri klub selama hampir sebulan.


"Mereka tidak asik," kau membalas pertanyaan, sekaligus pernyataan Eita yang mengindikasi bahwa dia sudah lelah dengan segala macam taruhan yang kau lemparkan padanya setiap waktu.


"Jadi, kali ini apa?"


"Niramekko. Yang tertawa duluan, dia yang kalah."


"Apa sih sebenarnya maumu?"


"Lusa ulang tahunku, bukan? Aku ingin ditraktir yakiniku di tempat yang mewah."


Sontak kedua alis Eita terangkat, dengan manik kembarnya yang turut melebar mendengar pernyataanmu.


"Kau tidak ingat ya kalau aku hanya anak SMA, sama sepertimu?" 


"Tapi kau menghasilkan lebih banyak uang dengan streaming video bermusikmu itu."


Eita menghela napas, tepat satu detik sebelum kau memberi aba-aba 'mulai' sambil memukul permukaan meja kayu yang menjembatani kalian.


Satu, tiga, lima menit berlalu dengan kalian yang diam saling bertatapan. 


"Boleh berkedip 'kan?" Tanya Eita memecah keheningan. 


"Tentu," sahutmu pendek. Dengan kedua netra yang terus awas melempar fokus padanya.


Hening berlanjut.


"Ayolah, katakan sesuatu!" Ucap Eita, lagi. 


Meskipun kalian sudah cukup dekat untuk bisa pergi bersama di akhir pekan tanpa membuat anggota klub curiga, tapi permainan macam ini tak lantas membuat kecanggungan berkurang.


Ah, bukan kau yang canggung. Tapi Eita yang tidak memiliki urgensi untuk menang, selain demi mempertahankan isi dompetnya agar tetap tebal.


"Kau tahu tidak kalau ada restoran yakiniku all you can eat  di dekat sekolah yang menunya daging wagyu rank A5?" Kau memulai dengan memberikan informasi yang tak terdengar bagus bagi Eita.


"Pass. Aku bisa miskin mendadak."Balasnya.


"Tidak sampai sepuluh ribu per orang ...." Kau mengedip-ngedipkan mata, berharap Eita mau mendengarkanmu. Tapi yang dilakukan pemuda di depanmu itu adalah mengeluarkan secarik kertas yang sudah cukup kumal dari dalam saku kemejanya.


Ya, kau tahu itu apa karena bukan sekali dua kali Eita memperlihatkan carik desain itu padamu, untuk sekedar mengingatkan apa yang menjadi obsesinya; gitar kustom ESP dengan harga tidak kira-kira.


"Kenapa tidak pilih gitar yang sudah jadi saja sih? Yang sesuai dengan tipisnya dompetmu."


Sontak bibir Eita maju, disusul telunjuknya yang dengan piawai menoyor kepalamu. "Kau pikir dompetku jadi tipis gara-gara siapa, hah?"


Kau bersungut, pura-pura kesal. Padahal kau cukup senang mengetahui fakta bahwa Eita tetap akan dermawan melakukan apa pun yang kau minta saat dia kalah taruhan. Baik hati bukan? 


"Aku ingin gitar yang hanya ada satu di dunia. Dan sesuai dengan bayanganku saja." Sambungnya lagi, jumawa.


Kau segera mencebik, "meskipun gitarmu lebih dari satu? Dasar tukang selingkuh. Kalau gitar yang katanya kau cintai saja kau selingkuhi, bagaimana dengan seorang gadis?"


"Heh, itu hal berbeda!" Eita segera menimpal. 


Aktif bermusik dan bermain bola voli cukup mendongkrak popularitas Eita di sekolah, maupun di tempat lain di mana ia singgah. Kau cukup heran kenapa dia tidak mencoba memilih satu orang dari banyak gadis yang menyukainya. 


Yah, walaupun kau tidak bisa membayangkan siapa lagi yang akan memanjakanmu kalau dia sudah berkencan.


"Ngomong-ngomong, ada mantan teman sekelasku yang sangat menyukaimu."


"Hm?"


"Namanya Uchida. Dia lumayan cantik, aku yakin kalau kau akan menyukainya."


"Hm, benarkah?"


Eita mengantongi lagi kertas desainnya ke dalam saku kemeja. Setelah itu ia kembali padamu, menatap dalam diam.


Kau canggung. Bahkan tanpa tahu apa yang menjadi sebabnya.


"Hei aku tidak bohong ketika aku bilang cantik. Begini-begini aku ini feminis yang selalu mendukung sesama wanita."


"Oh ya?"


"Kau meragukanku ya?"


"Tidak."


"Lalu apa maksud tanggapanmu yang begitu singkat itu?"


"Aku hanya penasaran dengan satu hal."


Kedua alismu terangkat saat bertanya, "apa?"


Eita diam beberapa jenak, sebelum ia bangkit lalu mencondongkan tubuh jangkungnya ke arahmu yang masih diam. 


Menciummu.


Kau yang tak siap hanya terkesiap, kemudian membatu selama beberapa saat setelah pemuda itu melepas kecupannya.


Butuh waktu setidaknya lima detik sampai akhirnya kau menyambar tasmu, lalu memukulkannya pada kepala Eita sebelum kau melesat pergi.


****


Isi kepalamu sempat memutih sebelum kau mengayunkan tas sekolah untuk menimpuk kepala Eita.


Yang tadi itu apa?


Kau tidak habis pikir, mempertanyakan apa yang baru saja terjadi setiap momen itu terefleksi oleh ingatanmu dengan sangat jelas.


Eita menciummu.


Ciuman pertamamu. Yang sempat kau impikan untuk dilakukan bersama seorang pangeran. Atau, setidaknya kalau bukan pangeran pun, kau ingin dia adalah seseorang yang cukup memiliki nyali untuk menyatakan perasaannya lebih dulu tanpa  bertindak semena-mena seolah ia berpikir bahwa kau pun menginginkannya.


Benar, kau tidak menginginkannya meskipun Eita bukan lagi orang asing bagimu.


Justru karena dia orang yang begitu dekat, kau jadi tidak tahu menahu harus bereaksi seperti apa. Yang kau bisa saat ini hanyalah berburuk sangka, berpikir itu hanyalah sebagian dari kejahilan Eita untuk membalas kesemena-menaanmu selama ini.


Kalau pun memang begitu, Eita benar-benar keterlaluan. Dia pasti tidak sempat memikirkan cemarut yang melanda pikiranmu kini saat terbayang adegan yang kini ingin segera kau lupakan.


Hari itu kau langsung pulang ke rumah, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada Ushijima bahwa kau tidak datang. Tidak enak badan, tulismu. Kau merasa tidak tengah berbohong saat menulisnya, karena saat ini pun kau masih merasakan betapa panas seluruh wajahmu mengingat apa yang telah Eita lakukan.


****


Semua orang harus percaya, bahwa kau tidak sedang mencoba menghindarinya saat kau memilih untuk mendekati Shirabu saat latihan, selang satu hari setelah kejadian itu.


"Apa?" Tanyanya curiga. Semua tindak tandukmu memang rentan membuat seluruh anggota klub curiga. Kau bahkan ingat saat Goshiki sengaja mengurung diri di gudang selama beberapa jam karena tak ingin kau kerjai.


"Yang ramah sedikit kenapa sih?" Cibirmu pada pemuda dengan umur setahun lebih muda; Shirabu Kenjiro.


"Mukamu sendiri selalu menyebalkan. Tapi hari ini setingkat lebih menyebalkan karena aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan," balasnya.


Kau mendecak lirih, kesal. Meskipun kau tahu bahwa obrolanmu dengan Shirabu tidak pernah absen dengan caci dan makian. Ya, sebegitu tidak sopannya dia padamu yang notabene kakak kelasnya.


"Shirabu, ada yang ingin aku tanyakan," namun tak sekali dua kali kau menjadikan adik kelasmu yang menyebalkan ini sebagai tempat untuk membuang keluh kesah.


"Kalau mau bertanya apakah aku ada uang untuk menraktirmu, jawabannya sudah jelas. 'Tidak ada'."


Tentu kau sudah tahu itu. "Tentu saja bukan tentang itu! Aku tahu kau pelit."


"Rupanya ada orang yang tidak mengaca. Bukankah menraktir itu adalah tugas senior pada juniornya?"


"Cih, kau bahkan tidak pernah menghormatiku sebagai senior!"


Cukup sampai di situ. Kau tidak ingin memperpanjang perdebatan karena ada hal yang lebih penting yang harus kau tanyakan.


"Shirabu, Apa maksud dari seorang pria ketika mencium seorang wanita?"


Shirabu yang semula sibuk mengelap bola, kini mulai fokus padamu yang diam dengan dua manik membulat menunggu dia menjawab pertanyaanmu sambil sesekali menelan ludahmu sendiri.


"Siapa?"


"Apanya?"


"Yang menciummu."


"Eita━," ups, mulutmu terlalu licin untuk menyimpan sesuatu yang cukup sensitif.


Kau bisa melihat Shirabu yang kini menganga, dengan bola yang lepas menggelinding lari dari tangannya. "Hah?" Begitu ia berucap selanjutnya. Berharap kau merevisi nama yang terlontar dari bibirmu sebelumnya.


"Lu-lupakan!" Kau bersedekap, gugup sekaligus kesal.


"Dia baik-baik saja 'kan?"


"Maksudmu?"


"Aku khawatir kalau dia terinfeksi sesuatu."


"Ingin rasanya kutumbuk kepalamu, Shirabu." Ancammu. Namun sepertinya dia tak terlalu memperhatikan. Kedua maniknya berpindah ke arah kepala abu yang kini tengah berlari mengejar bola di tengah lapangan.


Kalau kau tidak kembali diingatkan dengan adegan ciuman kemarin, kau pun pasti turut memperhatikan kemana arah geraknya, seperti yang selalu kau lakukan.


Eh, tunggu!


Kau memperhatikannya? Selalu?


Ini tidak benar!


"Kau ini benar-benar tidak peka ya," pemuda di sebelahmu menyambung. Setelah kembali mengusap satu lagi bola di tangannya. "Sudah pasti dia menyukaimu."


"Hah?! Dia tidak pernah bilang itu padaku!"


"Memangnya perlu? Kalian sudah seperti orang pacaran."


"Eh?"


"Kau pikir lelaki mana yang mau menghamburkan uangnya untuk gadis yang tidak pernah dia suka?"


"Tapi Eita 'kan baik."


Shirabu memutar bola matanya sebelum menyeloroh, "terserah."


****


Eita menyukaimu, begitu pendapat Shirabu.


Tapi sebelumnya kau tidak pernah percaya dengan prediksi adik kelasmu itu, meskipun sebagian besar apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran.


Kau ingin sekali mengabaikan pendapatnya, karena kau tidak cukup yakin dengan apa yang harus kau lakukan apabila kebenaran mengatakan bahwa Eita menyimpan perasaan untukmu. Kau sudah cukup senang dengan hubungan kalian selama ini. Tak perlu menahan diri, itu arti sebuah pertemanan.


Hanya saja, kadang kau terpikirkan apakah hal itu akan langgeng di masa depan ketika salah satu dari kalian telah memiliki pasangan.


Bisa kau bayangkan bagaimana pacar Eita akan menaruh dendam padamu seumur hidup kalau kau masih memaksanya taruhan.


Kau akan kesepian. Karena kenyataannya kau belum pernah membayangkan masa depanmu bersama orang lain, yang bukan Eita.


Dengan kata lain, kau menyukainya.


Karena itu kau memantapkan diri untuk menariknya tinggal di dalam ruang klub setelah semuanya pulang ke asrama.


"Apa lagi?" Tanyanya. Membuatmu kesal karena dia bahkan tak merasa bersalah telah mengundang cemarut dalam hatimu selama dua hari ini.


"Aku belum menang taruhan!" Jawabmu.  Menunjuk kursi, memintanya duduk berhadapan.


"Itu lagi ...." Ujarnya, bersamaan dengan salah satu tangannya beralih mengelus tengkuk. Gestur familier saat dia tidak tahu lagi harus berkata apa.


Kau menepuk meja sambil memberi aba-aba tanpa peduli apa yang sekarang mengambang dalam pikirannya.


"Tentang yang kemarin," dia memulai pembicaraan.


"Jangan ingatkan aku pada hal itu!"


"Tapi aku━,"


Kau berdiri sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Lalu tanpa aba-aba, kau membungkuk hingga wajah kalian sejajar untuk bisa mendaratkan ciuman.


Mungkin rautmu kemarin sama seperti Eita saat ini. Bergeming dalam wajah keheranan.


"Lain kali katakan bahwa kau suka padaku sebelum kau menciumku!" Cetusmu.


Kedua alis pemuda itu bertaut, "kalau begitu kau juga."


"Aku kan sedang balas dendam."


Eita tertawa refleks mendengar dalih yang baru saja kau gunakan. Namun kau tidak peduli karena sudah pasti esok hari kau akan mendapat traktiran.


"Yes. Aku menang!"


****

💌

Send me your thought here on my

Secreto



Comments