Kuroo Tetsuro - Memories

記憶

(Memories)


Kuroo Tetsuro x Reader



With: ViViD - Memories in White


"Bagaimana kalau aku ditakdirkan untuk tidak hidup lama?" Aku bertanya iseng sambil terus menumpuk salju untuk membentuknya menjadi boneka yang besar.


"Memangnya orang bisa hidup lama? Paling tua juga seratus tahun 'kan?" Tetsurou membalasnya enteng, sangat tahu kalau aku selalu iseng dengan pertanyaan-pertanyaanku yang kerap tak masuk akal.


Hari ini kami berkencan. Benar, kencan di tengah salju yang menumpuk di taman. Dan seperti biasa, aku memaksa dia yang sama sekali tidak ingin keluar di hawa dingin seperti ini.


"Sudah jadi boneka saljunya? Bisa kita pulang sekarang?"


"Tidak mau. Aku masih belum puas bermain!"


Tetsurou mendecih sambil menggerutu, "Memangnya kau anak TK?"


Aku melemparnya dengan kepalan salju hingga ia memaksa diri untuk mengeluarkan tangan yang berada di kantung mantelnya itu, lalu membalas lemparanku.


Lemparannya keras sekali mengenai punggungku, setelah berlarian untuk menghindarinya. Tulang belakangku serasa patah olehnya.


"Kau ini, bisa tidak sih bersikap manis padaku?" Protesku dengan bibir maju.


"Setelah kau melempariku dengan kepalan salju?"


Tetsurou mendekat, lalu sengaja menjegalku hingga aku terkapar di atas hamparan putih itu. Kejam sekali 'kan?


"Bagaimana rasanya?"


"Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menyukai orang sekejam ini?" 


Tetsurou hanya terkekeh. Selanjutnya, dia ikut berbaring di sampingku. Menatap gelapnya langit malam yang menurut ramalan cuaca tadi, akan segera turun salju dari sana. 


Aku menoleh, menatap separuh wajahnya yang terlihat dari samping. Garis wajahnya terlihat sangat tegas. Dia tampan, dan aku bangga dengan seleraku ini.


Tapi apa gunanya kalau suatu saat nanti aku akan melupakannya?


"Ada apa?" Tanyanya saat menyadari bahwa selama beberapa menit aku terus menatapnya dalam diam.


"Aku hanya heran, kenapa kau tidak pernah bersikap lembut padaku?"


"Kalau tanpa bersikap seperti itu saja kau sudah menyukaiku, kenapa aku harus?"


Baiklah, aku salah menanyakannya. Namun bukan berarti aku marah atau tersinggung dengan hal itu. Dia hanya tak pandai mengungkapkan perasaannya. Dan itu selalu kusadari saat aku mencoba mengaitkan jemariku padanya, lalu dia balas menggenggamnya erat. Seperti saat ini.


"Tetsu .... "


"Hm?"


"Bagaimana kalau aku tiba-tiba melupakanmu suatu saat nanti?"


Kami saling bertatapan saat aku melontarkan pertanyaan itu. 


"Apa pertanyaan ini kurang lebih sama seperti pertanyaan yang tadi?"


"Eh, yang mana?"


"Semisal kau tidak berumur panjang."


"Hm, mungkin."


Tetsurou terkekeh sambil menggeser tubuhnya lebih dekat. "Gampang saja!" Sambungnya. Lalu dia datang, mengecup bibirku pelan, tapi pasti. "Jawaban untuk pertanyaan pertama, aku akan menyamakan sisa umur kita dengan menciummu. Lalu kalau kau melupakanku, aku pun akan melakukan hal yang sama."


Dan jawabannya itu membuatku tertawa. "Kau pikir kau ini makhluk apa? Dewa Langit?"


"Bukankah keajaiban itu datang karena ada yang mempercayainya?" Dia membalas, yakin. Lalu memberiku kecupan lagi.


"Tidak salah sih …." 


"Dan, apa yang lebih baik dari ciuman seorang pangeran?" Dia berujar, jumawa. Menegaskan kalau ia memang tampan. Itu menggelitikku untuk mencubit pinggangnya yang tertutup oleh berlapis-lapis pakaian musim dingin.


Kalau aku jarang bersikap serius, maka dia pun sama. Dia selalu membuatku merasa bahwa kami hidup dalam utopia, yang juga membuatku ingin melupakan kalau hari-hari yang membahagiakan ini pun akan berakhir.


Akan berakhir.


Setidaknya itu yang tersimpul dalam benakku setelah hasil rekam medisku keluar beberapa waktu lalu.


Dokter bilang ada gejala demensia yang bersarang dalam otakku, dan kemungkinan aku akan melupakan banyak hal suatu saat nanti. 


Suatu saat nanti, namun tidak ada yang tahu pasti kapan itu akan terjadi. Dan aku hanya punya dua pilihan, membiarkan penyakit itu menggerogotiku hingga semuanya berakhir, atau melakukan terapi sesuai yang dokter anjurkan meskipun itu tak menjamin apakah ingatanku akan tetap sama seperti sebelumnya. Dan kedua pilihan itu memiliki risikonya masing-masing. Antara aku kehilangan ingatanku, atau aku akan merepotkan semua orang karena biaya terapi juga rehabilitasi yang tidak sedikit.


Aku enggan memilih, tapi pada akhirnya langkahku cenderung pada pilihan pertama di mana aku tidak memiliki asa untuk sembuh. 


Aku tahu, Tetsurou akan dengan mudah menemukan penggantiku. Meskipun aku tidak mengetahui seluruh isi pikirannya, tapi semua hanya masalah waktu dan aku yakin dia pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku saat aku meninggalkannya nanti. Aku cukup tenang untuk masalah ini.


Tapi gemuruh dalam relung hatiku selalu mengambang saat aku mengingat bahwa aku akan melupakannya. Padahal selama ini aku selalu berpikir, seberapa pelupanya diriku, aku selalu percaya diri bahwa hal pertama yang akan aku ingat saat membuka mata adalah keberadaannya.


Apa lagi yang bisa membuatmu hancur dibanding saat kau tahu bahwa kau tidak akan lagi bisa mengingat tentang sesuatu yang membuatmu bahagia?


Sayangnya aku tidak berani mengambil risiko lain. Aku takut berat perasaanya padaku tidak seimbang dengan apa yang selama ini aku rasakan padanya. Karena itu, merekam kenangan dalam waktu terbatas seperti ini menjadi pilihan yang kuanggap paling tepat.


"Ah, saljunya turun lagi!" Tetsurou mengulurkan tangan, mengarahkannya pada langit gelap yang mulai penuh dengan titik putih berjatuhan. 


"Wah. Sepertinya akan deras sekali," sahutku sambil bangkit dan duduk disampingnya yang masih berbaring. "Ayo pulang!"


"Kau sudah puas?"


"Bukan masalah puas atau tidak, kalau turunnya seperti ini kan mau bermain juga tidak bisa."


"Kalau begitu mau ke tempat lain?"


"Aku ingin pulang."


Tetsurou hanya tersenyum, kemudian bangkit mengikutiku yang telah berdiri dan bersiap untuk pulang.


"Gendong aku, ya? " Pintaku.


"Hah? Dengan tubuhmu yang makin membulat selama musim dingin ini?"


Meskipun berkata demikian, tidak ada raut penolakan saat kemudian dia jongkok menungguku naik ke atas punggungnya. Aku merangkulnya, membenamkan wajahku pada bahunya saat aku sadar bahwa aku tidak bisa menahan air mata.


"Bodoh. Kalau kau merangkulku seperti ini aku kan tidak bisa berdiri."


Tapi aku tak mendengarkan protesnya dan terus menangis dalam diam, berharap dia tidak menyadarinya.


"Hei," panggilnya pelan. Tangannya sudah membungkus buku-buku jariku yang membeku. Tidak memakai sarung tangan saat keluar di musim dingin adalah pilihan terbodoh. Tapi genggaman tangannya ini adalah penawarnya. "Ada yang ingin kau ceritakan?"


"Tidak ada."


"Benarkah?"


Aku tetap diam sampai kemudian dia berhasil berdiri, setelah aku mengendorkan rangkulanku tentunya.


Dia membawaku menyusuri jalanan dalam keheningan. Tanpa percakapan. Aku hanya terus melingkarkan lenganku pada lehernya, lalu menempelkan pipiku pada helai-helai rambut hitam yang menutupi sebagian telinganya.


"Bagaimana kalau malam ini kita masak beef stew?" Lontarnya kemudian.


"Ide bagus!"


"Kau yang masak ya ...."


Alih-alih menjawab, aku hanya tersenyum sambil sedikit memperkuat rangkulanku padanya.



Send me your thought:

💌 Secreto




Comments