Semi Eita - Hujan

 Hujan

Semi Eita x Reader

Listening to this song might give you a better reading experience.




 ****

Langit kelabu. Sama seperti kelabunya raut orang-orang yang tiap kali kutemui di jalan, pun di dalam kereta di mana titik-titik air hujan masih terlihat di balik kaca jendela.

Katanya, hujan memberi efek psikologi yang buruk. Membuat seseorang kadang jatuh dalam sebuah melankoli yang tidak seharusnya. Tapi bagiku, hujan mengingatkanku pada musim yang indah. Di mana aku menemukannya terjebak, berlindung di bawah atap kuil dengan sedikit titik air yang jatuh dari ujung anak-anak rambut kelabunya.

Aku masih ingat, dia tersenyum hangat lalu bertanya, “kau lupa bawa payung juga ya?”

Aku juga masih ingat bahwa terdapat jeda panjang sampai aku mengangguk mengiyakan pertanyaanya.

Semi Eita, begitu satu penjuru sekolah memanggilnya. Seseorang tak pernah terpikir untuk masuk ke dalam lingkaran hidupku, sampai kapan pun. Karena dunianya yang terlalu berbeda.

Aku tak bisa hidup dengan bermandikan perhatian dari banyak orang, sementara dia sebaliknya. Tanpa ia minta pun, semua orang akan memperhatikannya. Tak hanya masuk dalam tim bola voli yang dicap sebagai yang terkuat dalam prefektur, dia juga merupakan salah satu anggota dari band yang cukup populer di kalangan musisi lokal.

Kupikir pertemuan kami di kuil kala hujan akan menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir. Namun nyatanya kisah kami berlanjut hingga detik ini di mana dia tetap berada di titik yang sama. Di tengah kemilau popularitas yang tak akan pernah bisa kugapai.

Hari ini pun, aku melihat wajahnya berada pada flyer besar di belakang kaca etalase sebuah toko. Berpose dengan balutan pernak-pernak menawan. Dia tetap sama menawannya seperti saat aku pertama kali berjumpa dengannya. Yang berbeda hanyalah, kini tak hanya Miyagi yang memilikinya, namun seluruh Jepang memujanya.

Aku tak pernah khawatir bahwa Eita akan menemukan orang lain yang lebih pantas bersanding dengannya, karena sejak awal pun aku cukup ragu bahwa hubungan kami akan bertahan. Hubungan yang bahkan tidak pernah kami perlihatkan pada orang lain, yang bermula di suatu hari kala hujan, di bawah atap kuil tanpa kesaksian orang-orang.

Pernah kudengar dari sekitar, bahwa dewa yang bersemayam dalam kuil itu ada dewa jodoh. Dan aku mempercayainya, mengingat aku dan Eita masih tetap bersama meski hampir satu dekade telah terlewat sejak pertemuan itu. Dan hampir lima tahun ini kami nyaris tak pernah bertemu.

Lebih tepatnya, aku memilih untuk tak menemuinya sampai dia dan grup musiknya menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan mayor.

Lalu hari ini adalah hari pertamaku menginjak tanah Tokyo setelah lama berkutat di Miyagi tanpa berpikir untuk keluar dari cangkangku.

Aku tak bilang bahwa aku akan menemuinya. Yang aku minta di riwayat percakapan kami hanyalah, alamatnya.

“Kau akan datang?” Tanyanya.

“Akan kupikirkan lagi nanti.”

“Aku akan menunggumu.”

Dan Tokyo masih hujan ketika aku mulai berjalan, menapaki ruang pedestrian. Mengurut jalan, sambil berharap semoga aku segera menemukan alamat yang terpampang pada layar ponsel pintarku. Atau sesekali membayangkan, seandainya Eita datang meskipun aku datang tanpa pemberitahuan. Bukankah itu akan sangat membahagiakan?

Kemudian aku berhenti di sebuah persimpangan, sesaat setelah ekor mataku menemukan layar raksasa pada dinding sebuah gedung. Menampilkan video dari sebuah lagu, di mana aku menemukan sosok yang kurindukan selama lima tahun belakangan.

“Jangan berkeliaran di Tokyo sendirian, kau bisa tersesat di tengahnya!” Begitu ucapnya suatu hari, saat dengan cerianya dia menceritakan bagaimana hingarnya ibukota. Dan, aku mendengar kalimat itu lagi, sepersekian detik sebelum aku menoleh ke pemilik suara itu.

“Eita?” Aku tertegun menatap sosok di bawah payung hitam yang menggunakan topi dan masker sebagai alat kamuflasenya.

Aku mengenalinya hanya dengan melihat sedikit dari ujung rambut, dan kedua manik kelabunya. Itu Eita.

Dia mendekat, mengulurkan salah satu tangannya untuk kusambut kemudian berpindah di bawah payungnya.

“Bagaimana kau tahu kalau aku datang hari ini?” Tanyaku.

Masih dengan menggenggam tanganku erat, ia menjawab. “Karena aku selalu berpikir bahwa aku mungkin akan menemukanmu di kala hujan.”

 

___FIN___

Send me your thought: Secreto

 

Comments