Suna Rintaro - Wasted Nights

Wasted Nights

Suna Rintaro x Fem!Reader

Listening to the song might give you a better reading experience


****

Waktu sudah cukup larut kala aku mulai melangkahkan kakiku keluar, dari garis terlarang yang seumur hidupku belum pernah kulewati. Pukul sepuluh di malam hari, di mana tak ada lagi bunyi yang akan terdengar di dalam rumah besar, yang biasa kutinggali sendiri.


Menurut perkiraan cuaca di televisi tadi, malam ini akan turun hujan. Tetapi aku tak mengindahkannya dengan mengiyakan tawaran yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupku.


Suna Rintaro mengajakku keluar. Entah kemana dan apa tujuannya. Yang kuketahui hanyalah, aku yang senang oleh hal itu. Tanpa peduli fakta bahwa aku tak memiliki secuil pun kesempatan untuk bisa berpaut dengannya.


Aku mengikuti setiap langkahnya dengan jemari saling menggenggam, sembari berlari kecil, berharap tidak ada yang tahu kepergianku yang keluar melalui jendela alih-alih menggunakan pintu utama. Tidak ada alasan khusus, aku hanya ini malam ini terasa lebih dramatis agar kelak aku bisa bercerita pada semua orang bahwa gadis konvensional macam diriku bisa melompat keluar dari jendela, bersama seorang pemuda yang bahkan baru dikenalnya selama beberapa minggu.


Benar. Pertemuanku dengan Rintaro belum berlalu begitu lama. Namun aku yakin kesanku sebagai gadis rumahan yang tak mengenal dunia tersisa dalam dirinya hingga suatu hari ia bilang bahwa dia bersedia memperlihatkan dunia yang sesungguhnya padaku.


Untuk apa? Sesekali aku berpikir sedemikian rupa.


Kalau hanya untuk kembali hidup dalam sangkar seperti burung peliharaan, bukankah lebih baik aku tetap menjadi diriku yang tidak tahu apa-apa? Toh dunia tak akan berubah dengan aku mengenalnya. Namun keyakinanku itu pupus oleh satu senyum enigmatik pada bibirnya, sebelum ia berkata, “cobalah sekali. Lalu kau bisa berkata bahwa kau memang tak cocok dengannya.”


Lalu di sinilah aku. Duduk berhimpitan di atas kursi mobil paling belakang. Bersama barisan orang yang tak kukenal, namun hanya berbekal kalimat bahwa Suna yang membawaku, mereka memperlakukanku layaknya seorang kawan lama. Berbeda dengan perlakuan yang nyaris seumur hidup kuterima hanya karena aku berasal dari keluarga yang tak sama dengan mereka, hingga aku pun harus menutup diri dari universalnya kehidupan.


Mungkin hidup sebagai ‘teman’ seorang Suna Rintaro akan terasa lebih mudah ketimbang menjadi diriku sendiri yang tak pernah terpuaskan, kendati orang bilang aku telah mendapatkan segalanya semenjak berada dalam timangan.


Nyatanya yang paling kudamba saat ini hanyalah sebuah kebebasan. Mungkin itu pula yang membuat antusiasku meninggi saat Hiace yang kami tumpangi berhenti di sebuah jalanan sepi di mana aku bisa mendengar debur ombak dengan jelas.


Pantai.


Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku menikmati asinnya air laut karena berenang di dalamnya. Yang aku ingat hanyalah, keluargaku berhenti membawaku ke suatu tempat sejak usiaku menginjak umur belasan. Dan yang mereka lakukan hingga saat ini hanyalah memintaku menjadi apa yang mereka inginkan.


****


Let’s live like we’re immortal

Maybe just for tonight

We’ll think about tomorrow

When the sun comes up


’cause by this time tomorrow

We’ll be talking about tonight

Keep doing what we want we want we want

No more wasted nights


Refrein berkumandang, terdengar bersaing dengan guruh ombak yang pecah di bibir pantai. Lagu yang berputar pada speaker Bluetooth itu bak ungkapan kebebasan.


Aku duduk, menikmati s'more yang kubakar di atas api kecil bersama beberapa orang yang memilih untuk diam ketimbang bersenggama, menari di tepi lautan.


Suna tak berada di antara mereka, pun tak juga bergabung bersama kami. Dia memilih duduk di atas karang, menatap luasnya laut di kala petang hingga aku bertanya-tanya, apa yang terbesit dalam benaknya kini. 


"Dunia itu luas, ya ...," ungkapnya. Ketika aku mencoba duduk di sampingnya, kemudian bertanya tentang apa yang menjadi motivasinya duduk di atas sana.


Apa yang dia katakan? Dia lebih banyak melihat dunia dibanding diriku. Kurasa berkata sedemikian rupa padaku tak ada artinya sama sekali.


****


Pukul dua dini hari. 


Semua orang masih menikmati malam, bersama merdunya suara laut yang turut membuaiku. 


Aku yang kini menyandarkan kepalaku pada salah satu bahu milik pemuda yang tak juga ingin beranjak dari karang, demi sebuah pemandangan laut dan langit musim gugur yang nampak cerah dan tinggi di atas sana.


"Kau menyukainya?" Tanyanya, setelah beberapa puluh menit terlewat dengan kami yang tak lagi saling bertukar kata.


"Apanya?"


"Malam ini."


"Mungkin."


"Kalau begitu aku akan mengajakmu lagi, ke suatu tempat yang lain."


Aku tersenyum, sambil terus mendusal. Kali ini beralih pada dadanya yang terbungkus mantel hangat.


Aku ingin tahu bagaimana rautnya sekarang. Apakah dia akan nampak terganggu denganku yang bertindak seolah kami memiliki hubungan spesial?


Padahal aku tahu, mungkin dia melakukan hal ini dengan semua orang. Dan menyadari bahwa aku bukan satu-satunya membuat rongga dadaku sempit. Karena kembali diingatkan bahwa dari seratus persen kesempatan, aku tak memegang lebih dari satu di antaranya.


"Aku harap itu benar-benar terjadi," ucapku sembari terkekeh.


"Hei, kau tidak percaya padaku?"


Suna memaksaku menatap mata kelabunya, yang entah kenapa malam ini terlihat begitu tenang, sekaligus menenggelamkan.


"Saa ...," balasku, gamang oleh pikiranku sendiri yang tak ingin bergumul dengan sebuah perasaan. Perasaan yang kemungkinan bisa menyakiti diriku sendiri.


Namun di atas semua itu, aku ingin sekali melangkah bersamanya. Mencari kebebasan yang semua orang idamkan, kendati aku ragu apakah kata 'bebas' akan cocok untukku yang begitu konservatif.


Selama beberapa jenak kami bertatapan. Ternyata mengadmirasi parasnya yang tampan pun bukan hal yang buruk. Padahal selama ini aku lebih sering berpaling saat aku harus berhadapan dengan lawan jenisku.


Suna berbeda.


Setidaknya itu adalah impresi yang kudapat saat pertama kali aku melihatnya.


Dan aku tidak menyangka bahwa kini aku bisa berada dalam peluknya, kemudian mengusapkan punggung tanganku pada salah satu sisi pipinya.


Pada akhirnya, aku menginisiasikan sebuah ciuman yang aku tahu, dia pasti akan terkejut karenanya.


Ciuman pertamaku.


Selama ini aku berpikir untuk terus menyimpannya sampai kelak aku terpaksa melakukan itu dengan seseorang. Tapi malam ini terlalu syahdu untuk kulewatkan tanpa sebuah tantangan.


Ya. Suna Rintaro adalah sebuah tantangan yang mungkin bisa mengantarku pada kebebasan. 


Aku menatapnya selepas beberapa detik kecupan yang kudaratkan pada bibirnya. Dia hanya diam, sebelum kembali menarikku untuk satu ciuman lain yang kali ini dia inisiasikan.


Aku tenggelam. Dalam buaian malam, dan juga lembut bibirnya yang membuatku terus menginginkannya.


Don’t be afraid to dive

Be afraid that you didn’t try

These moments remind us why

We’re here, we’re so alive


****


Pukul empat pagi hari.


Mataku terus mengikuti arah Hiace yang terakhir kutumpangi yang semalin lama menghilang ditelan perspektif.


Jendela kamarku masih terbuka. Menampakkan jalanan sepi, dan langit yang mulai tertutup awan gelap penanda hujan.


Malam ini aku melihat dunia. Dunia yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan aku yakin itu bisa menjadi sebuah adiksi apabila aku terus berada di dalamnya.


"Aku akan membawamu kemana pun," begitu katanya.


Kalimat yang aku percaya sebagai sebuah sumpah di mana dia tak akan mengingkarinya.


"Semoga itu menjadi nyata." Balasku saat itu.


Jawaban yang menurutku tepat setelah anganku kembali mengingat tumpukan tas dan koper yang sudah cukup rapi untuk membawaku ke belahan dunia lain, dan meninggalkan apa yang kumiliki di sini.


Di ujung malam, aku terisak. Menangisi seisi malam yang membuatku menyesal tak melakukannya jauh-jauh hari sebelumnya.


Dan yang paling kusesali adalah, kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta. Namun terlalu terlambat untuk menyadarinya.


****


 Send me your 💭

Secreto



Comments