KonoSuzu - I'm Not Giving Up to Understand

I'm Not Giving to Understand



「解りたいという気持ちは辞めたくない」


****

"Suzumeda?" 


Kaori melihat dua alis pada wajah pemuda di depannya itu nyaris bertaut. Dia tidak pernah menyangka bahwa mereka akan bertemu di tempat ini, pun sebaliknya. 


"Sedang apa kau di sini?" Selanjutnya mereka bertanya hampir bersamaan.


Mengikuti ide gila rekan sekelasnya memang tidak pernah menjadi hal yang menyenangkan bagi Kaori selama ini. Namun tentu saja dia tidak sampai berpikir bahwa kencan buta yang direncanakan tanpa sepengetahuannya ini justru mengantar pada hal destruktif, di mana ia harus bertemu dengan orang yang dia suka. 


Siapa lagi kalau bukan Konoha Akinori. Kawan satu sekolah, dan rekan di klub bola voli yang ia menejeri.


"Aku dipaksa ikut oleh temanku," Kaori menyahut cepat, sebelum pemuda Konoha itu berburuk sangka, dengan mengira bahwa ia sengaja datang kemari untuk mencari pertemuan baru. "Kau?"


"Kawanku bilang dia akan mengajakku ke tempat yang menyenangkan. Rupanya ini tempatnya."


Akinori mengedarkan matanya ke dalam ruangan yang tidak lebih besar dari ruang klub mereka dengan lampu cukup redup beserta satu set alat karaoke lengkap dengan monitor besar yang menempel di salah satu sisi dindingnya.


Kawan-kawan mereka sudah masuk, duduk berjajar di atas sofa empuk dan mulai memilih lagu untuk mereka nyanyikan.


"Ah, Kaori. Bisakah kau pesan sesuatu untuk kami?" Begitu kata salah seorang dari kelompok gadis sementara sebagian lagi sibuk berebut memilih lagu apa yang akan mereka nyanyikan.


"Tentu," Kaori menjawab pendek. Sudah paham untuk apa ia berada di sini. 


Akinori masih berdiri di belakangnya saat Kaori menoleh. "Kenapa kau tidak duduk?" Begitu tanya gadis Suzumeda itu sebelum melewati si pemuda dan mengambil gagang interfon yang menempel pada dinding di dekat pintu masuk.


Seperti biasa, dengan lancar Kaori melafalkan pesanan beserta jumlah yang dia inginkan. Setelah beres, dia memilih duduk di ujung sofa tanpa berniat untuk turut memilih lagu seperti kawan-kawannya.


Ini bukan kali pertama dia diajak mengikuti kencan buta hanya sebagai pelengkap jumlah membernya. Kendati berkumpul dengan orang yang cukup berbeda dengannya seperti ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, Kaori tetap melakukannya agar dia tak nampak dikucilkan dalam kelas, di mana dia tidak memiliki seseorang yang lumayan akrab. 


Andai Yukie berada di kelas yang sama dengannya, maka dia tak perlu berusaha ekstra untuk disukai seperti ini.


"Tidak menyanyi?" Akinori sengaja menggeser duduknya agar pertanyaannya itu didengar oleh gadis yang kini duduk membelakanginya.


"Kau tahu suaraku sumbang," sahut si gadis.


Klub bola voli pun pernah berkaraoke bersama. Meskipun tak sering, tapi Kaori  yakin kalau Akinori tahu bahwa suaranya tak begitu merdu untuk diperdengarkan pada khalayak umum. Bedanya, dia cukup percaya diri bahwa dia bukan satu-satu yang memiliki suara sumbang, karena Bokuto Kotaro adalah juaranya. Ditambah mereka sudah berada di level yang cukup akrab untuk saling mengumbar aib satu sama lain.


Ya, meskipun setidaknya ada satu dan beberapa hal memalukan yang tidak ingin Kaori perlihatkan pada pemuda sipit ini sekarang, pun suatu saat ini.


"Mau duet denganku?" Usul Akinori tiba-tiba, dan sontak membuat si gadis pony-tail itu menggeleng sambil menyilangkan kedua tangan.


Namun sepertinya penolakannya tak membuat Akinori mundur untuk tidak merebut kontroler layar dan memilih lagu yang sekiranya cocok untuk mereka duetkan.


"Geser!" Katanya setelah itu. Membuat dua kawan mereka bergeser, memberi ruang bagi Akinori untuk duduk.


"Suzumeda, cepat kemari!" Konoha memerintah, seolah dia berhak melakukan hal yang apabila itu dilakukan orang lain pada Kaori, maka dia tidak akan menyukainya.


Ya, perlu ditekankan sekali lagi. Kaori menyukai Konoha. Tidak peduli betapa galaknya pemuda ini, dan bukan sekali dua kali Kaori mendapatinya tengah berkhotbah di hadapan Bokuto Kotaro, rekan mereka di klub bola voli yang sering kali berulah.


Kaori menyukainya karena Konoha adalah pria yang bisa diandalkan tanpa peduli banyak orang memanggilnya si Tuan Serba Tanggung.


Bukankah menjadi serba tanggung pun adalah sebuah bakat jika dibandingkan seseorang yang tak mahir banyak hal seperti dia?


Kaori cukup ceroboh untuk ukuran gadis seusianya. Dia pun tak bisa dibilang sangat menarik, karena tidak sedikit orang yang tidak suka dengan bintik-bintik kecil pada kedua pipinya yang sudah ada semenjak ia lahir. 


Kalau ada hal yang bisa dengan percaya diri ia deklarasikan dengan sematan kata 'ahli', maka itu adalah usahanya dalam membangkitkan kembali semangat Bokuto di kala pemuda itu tengah masuk ke dalam mode dejeksinya. Selebihnya Kaori tidak tahu apa lagi keahliannya.


Prelude lagu yang Konoha pilih sudah berputar. Tak terdengar asing karena tidak sekali dua kali dia pernah menduetkan lagu ini, lagi-lagi dengan Bokuto yang memiliki suara sumbang, kurang lebih sama dengannya.


Kaori menerima uluran mikrofon yang Konoha berikan sambil berdoa bahwa tak seorang pun dari rekan mereka mengarahkan fokus padanya. 


Ah, lagi pula untuk apa? Toh Kaori, pun suaranya sama-sama tak menarik.


Belum sempat mereka masuk bait pertama pada lagu itu, Kaori mendengar bunyi pecah belah di belakangnya. Yang ternyata berasal dari gelas milik temannya, terlepas jatuh berkeping-keping di atas lantai. Sialnya air jus yang ada dalam gelas itu sempat mengenai roknya sebelum mendarat manis di atas lantai, hingga menimbulkan lingkaran basah tepat pada bagian pantatnya.


"Kaori, maaf!" Gadis, teman sekelasnya itu nampak panik. Namun Kori segera membalas 'tak apa', dan segera mengambil kotak tisu beserta tasnya setelah meletakkan mikrofon di atas meja. Ia melenggang ke kamar kecil, dengan seribu satu sumpah serapah dalam hati yang salah satunya menyatakan bahwa dia tidak akan pernah lagi menerima ajakan mereka.


****


Dua hari lalu, sebelum agenda kencan buta dicanangkan Kaori sempat mendengar bahwa ada salah satu rekan sekelasnya yang berkata bahwa ia menyukai Konoha. Kaori cukup tertutup dengan perasaannya, dan hanya Shirafuku Yukie yang tahu bahwa ia menyukai Konoha. Sayangnya Kaori tak ingat kawannya yang mana yang berkata demikian. Dia juga tidak peduli. Toh tidak ada orang lain yang menyukai Konoha pun belum tentu pemuda itu berpaling padanya, karena Kaori tak lebih dari rekan satu klub yang biasa ia ajak taruhan saat bosan.


Seandainya saja Kaori tahu kalau Konoha turut datang dalam kencan gabungan ini. Meski harus mengorbankan Bokuto pada raja iblis pun, dia pasti akan akan melakukannya untuk absen. Sayangnya ia tidak tahu. Dan yang bisa Kaori lakukan saat ini hanyalah duduk sesenggukan di atas toilet, meratapi nasibnya yang begitu malang dengan tak seorang pun yang peduli padanya.


Mungkin dia harus pulang.


Ya, dia akan pulang.


Kaori menyerah pada noda yang tersisa pada bagian belakang roknya. Ia memilih untuk menutupnya dengan tas selempangnya, kemudian beranjak dari toilet. Dia terlalu muak untuk kembali ke dalam ruangan. Dan tidak ada yang akan peduli padanya juga. Jadi dia lebih memilih untuk mencari pintu keluar sambil berharap bahwa tak ada yang melihat noda besar pada roknya.


"Suzumeda," suara familier itu yang pertama kali Kaori dengar ketika ia berhasil menemukan kenop pintu dan keluar dari sana.


Konoha sudah berdiri bersandar dinding, seolah dia tengah menunggunya. Kaori cukup berharap tentang hal itu, tapi bisa jadi itu hanyalah bentuk kasihan yang pemuda itu rasakan padanya.


"Apa yang kau lakukan di sini?"


"Sudah jelas bukan?"


Bagian mananya yang jelas? Kaori ingin sekali bertanya demikian. Namun yang keluar dari mulutnya hanya sepatah kata, "hah?" Tanpa imbuhan apa pun.


"Aku menunggumu." Tegas pemuda itu.


"Aku akan pulang sekarang. Jadi kau bisa ke dalam."


"Kebetulan sekali, aku juga berniat mengajakmu pulang."


Kedua alis Kaori nyari bertaut, menganalisa kalimat Konoha dan mulai menggali maksudnya.


"Kalau hanya untuk menangis, kau tidak perlu datang bersama orang-orang yang bahkan tidak akan pernah kau sukai."


"Hah?!" Kaori kembali melontarkan kata itu, kali ini dengan desibel lebih keras.


Jujur saja, Kaori memang tidak menyukai mereka. Tapi dia tidak pernah berhenti berusaha untuk bisa menyukai mereka. Karena itu dia cukup tersinggung saat Konoha berpikir seolah dia membenci rekan-rekan kelasnya.


"Kau sama sekali tidak tertawa hari ini." Sambung Konoha, lalu mengangkat tas kecil yang menutupi sebagian rok Kaori yang bernoda. "Dan lihat ini!"


Kaori segera menepis tangan Konoha sambil membalas, "kau tidak akan mengerti karena kau tidak pernah berada di posisiku."


"Kalau aku berada di posisimu, mungkin aku tidak akan pernah pergi dengan orang yang tak menyukaiku."


Rongga dada Kaori mencelos. Dia cukup awas tentang teman sekelasnya yang tidak terlalu menyukainya. Tapi ketika pernyataan itu keluar dari mulut orang lain, terlebih Konoha, rasanya ia benar-benar tercekik oleh fakta bahwa memang tak ada yang menginginkannya berada di tempat itu.


Dia seperti badut.


"Terima kasih sudah mengingatkan!" Cetus Kaori. Kesal. Dia memutar tumitnya, ingin segera berlalu dari tempat itu. Berdebat dengan Konoha tentang hal yang tidak akan pernah dia mengerti tidak akan berguna.


Sayangnya Konoha tak membiarkannya berlalu begitu saja. Dia menangkap pergelangan tangan Kaori sampai gadis itu kembali menoleh, meminta dilepaskan.


"Apa tidak cukup dengan tim bola voli?"


"Apanya?!"


"Maksudku, apa kau tidak cukup berteman dengan kami yang setidaknya tidak akan membiarkanku diam menyendiri di tengah keramaian?"


Kaori terdiam, menunduk. Tak berani melakukan kontak mata sembari berharap bahwa Konoha tidak akan lagi mengatakan atau melakukan hal yang kelak akan membuatnya kesulitan untuk mundur, menyerah dengan perasaannya.


"Aku tahu kau sudah berusaha, tapi aku tidak melihat mereka menghargai usahamu ini. Jadi kau tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi orang lain kalau kau merasa tertekan karenanya."


"Orang yang bisa melakukan apa saja sepertimu tentu bisa dengan mudah bicara seperti itu."


"Hah?"


"Kau tidak akan mengerti!" Kaori mengangkat desibel suaranya dengan wajah terangkat, mencoba menantang apa yang keluar dari mulut Konoha.


"Wajar kalau aku tidak mengerti. Karena kita bukan orang yang sama!" Balas si pemuda. Netra kembarnya lurus menatap Kaori, meyakinkan bahwa tak ada yang salah dengan kata-katanya. 


Memang tak ada yang salah. Kaori merasa kesal karena harus mengakui kebenarannya.


"ーtapi, aku tidak pernah ingin berhenti untuk mencoba mengerti." Tambahnya.


Kaori terdiam.


Merasakan rongga dadanya begitu sesak selepas Konoha melontarkan kalimat terakhir.


Apa-apaan dia? 


Kenapa pula Kaori harus menangis di depannya? Ia sadar akan hal itu saat kedua manik kembarnya sudah dipenuhi air mata.


Entah apa yang akan Konoha pikirkan setelah ini. Apakah ia akan menganggapnya seperti anak kecil yang menangis sesenggukan di tempat umum, meskipun hanya ada mereka di depan gedung tempat karaoke itu berada?


Terserah, pikir Kaori. Toh impresi tentangnya dalam diri Konoha tidak akan berubah signifikan, karena sejak awal memang tidak ada harapan untuknya.


Ya, karena Konoha bisa dengan mudah mendapatkan gadis lain yang mungkin lebih cantik dan tidak merepotkan sepertinya.


"Sudah selesai?" Tanya si pemuda setelah Kaori mengusap kedua pipi dengan lengan sweater-nya. "Ayo pulang!" Dia melanjutkan dengan mengulurkan tangan kanannya.


"Hah?"


"Pulang."


"Kau lupa kalau rumah kita tidak searah?"


"Tidak."


"Lalu ini apa?" Kaori menunjuk tangan Konoha yang masih terulur, menunggu untuk disambut.


"Tidak mau?"


"Eh?"


"Bergandengan tangan denganku."


Masih berusaha agar ingus di hidungnya tak membuatnya semakin buruk rupa, kedua alis Kaori nyaris bertaut. Merefleksikan sebuat tanda tanya yang cukup besar untuk pemuda yang dengan entengnya menawarkan sebuah gandengan tanpa menjelaskan apa artinya itu.


"Teman tidak bergandengan tangan." Ujar Kaori, memberi sedikit penolakan meskipun dia benar-benar ingin segera menyambutnya. Sayang, dia tidak berani untuk meminta konfirmasi yang jelas dari Konoha.


"Ha? Sampai mati pun aku tidak ingin berteman denganmu!"


"Hah?! Apa-apaan?" 


Sampai di titik ini pun bisa-bisa Konoha membuatnya naik pitam. Kaori berbalik, dan mulai berjalan dengan menghentakkan kakinya di atas aspal, meradang. Namun Konoha segera menyusul, dan perlahan menyusupkan jari-jarinya hingga tangan mereka saling bergandengan.


"Sejak awal kau sudah kuberi tanda."


"Tanda apa?"


"Tanda bahwa kau tidak akan berakhir hanya menjadi temanku saja."


Kalau dia berkaca, Kaori yakin bahwa gurat merah telah mewarnai kedua pipinya. Ditambah ketika Konoha sengaja melepaskan tautan jemari hanya untuk menepuk puncak kepalanya.


Ah, rasanya dunia begitu indah saat ini. Berbanding terbalik dengan apa yang dia pikirkan di dalam toilet beberapa puluh menit lalu.


****


Send me your 💭 here: Secreto

Comments