Miya Atsumu - Winter Sea

冬の海に


Cerita ini adalah kelanjutan dari fanfiksiku sebelumnya yang berjudul "Resilience". Silakan baca dulu buat yang belum baca :)



Keledai tak pernah jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya, begitu kata salah satu ungkapan yang kerap sekali dikutip orang-orang untuk sekedar mengingatkan seseorang lainnya tentang kesalahan mereka.


Itu pula yang dilontarkan oleh produserku hari ini. Ketika hampir semua media memberitakan skandal baru dari seorang penyanyi muda yang sedang berada di puncak kesuksesan.


Ya, penyanyi muda itu aku. Dan bagi produserku, aku tak lebih pintar dari seekor keledai yang bahkan tak mengulangi kesalahan yang sama dalam hidupnya.


"Winter Sea"

Miya Atsumu x Reader


Semua berawal dari kejadian dua hari yang lalu. Ketika aku harus menghadiri sebuah konser amal di sebuah hotel berbintang. Bukan sebagai penampil, hanya sebagai tamu biasa dengan undangan eksklusif sama seperti selebritas yang hadir lainnya.


Ini adalah tahun keenam semenjak debutku di industri hiburan. Menjadi tamu dalam konser amal yang hanya mengundang pesohor papan atas adalah suatu kebanggan. Ya, kebanggan. Karena itu aku begitu antusias untuk datang.


Kalian bisa bayangkan betapa senangnya aku saat turun dari sedan dengan setelan gaun yang sengaja kupilih berhari-hari sebelumnya. Menapaki karpet merah yang tergelar hingga pintu masuk sambil sesekali melambaikan tangan pada para penggemar yang bersorak oleh presensiku. Kusebut itu dengan obsesi diva, dan aku tak membencinya meskipun sebenarnya aku lebih menyukai tempat yang damai dan sederhana.


Namun euforia itu tak berlangsung lama, saat kemudian aku menemukan sosok berkepala kuning yang datang menggandeng pasangannya ke meja reservasi yang berada di sebelah mejaku bersama produserku. Sungguh kebetulan yang tidak menyenangkan, pikirku. Namun aku tetap tersenyum saat keduanya mendapati keberadaanku dan menyapaku dengan ringan.



Semua orang mungkin masih ingat kejadian tiga tahun lalu, ketika berita tentang kedekatanku dengan Miya Atsumu; pria dengan rambut pirang palsu itu meramaikan trending topic di hampir semua sosial media. Saat itu nyaris saja aku menyerah dengan semua mimpiku karena sebuah penolakan. Namun aku cukup beruntung aku memiliki resiliensi yang cukup untuk bisa bertarung dengan badai melankoli yang menerpa dan tetap memijak bumi tanpa perlu menyembunyikan diri.


Semua orang bilang, aku telah melewati masa-masa sulitku. Tapi nyatanya itu tidak sepenuhnya benar.


Karena batinku masih serasa teriris setiap kali melihatnya muncul di berbagai media. Dan bertemu dengannya langsung seperti ini membuatku kembali disadarkan, bahwa Atsumu sudah menjadi sosok yang sangat jauh hingga aku tak lagi bisa menggapainya.


Dia menikah dengan pesohor yang dikencaninya dalam jangka waktu yang cukup lama tiga tahun yang lalu, sejenak setelah skandal besar yang melibatkan kami berdua. Aku sudah memutuskan untuk beranjak sejak saat itu, dan kupikir aku sudah berhasil melakukannya.


Tapi, rasa gamang dengan kembalinya perasaanku ini terus mengusik. Terlebih ketika ia tiba-tiba datang setelah konser selesai. Mengajakku minum untuk sekedar bereuni setelah tiga tahun terlewat.


Bodohnya, aku mengiyakan.


Dan ini titik di mana aku merasa aku memang tak lebih pandai dari seekor keledai. Tidak, keledai jelas lebih pandai dariku.


Aku menemukan diriku bangun di pagi hari setelah sadar bahwa aku dalam mabuk semalaman penuh. Dan tebak siapa yang berada di sampingku saat itu.


Benar. Miya Atsumu.


Aku kembali melakukan kesalahan. Dan kesalahan itu kembali menjadi konsumsi publik setelah aku keluar dari hotel tempat kami menginap dalam keadaan murka. 


Atsumu sempat mengejarku, mencoba menjelaskan semua. Tapi aku menolak dan lebih memilih untuk memikirkannya sendiri dengan berkubang air mata. Saat itulah seorang fotografer dari sebuah majalah membidik momen itu dan menjadikannya headline utama di media.


Aku tahu tak akan ada lagi kesempatan bagiku setelah ini. Aku hancur, baik karir dan mentalku.


Semua orang akan mengecapku sebagai wanita jalang yang tak bisa beranjak dari masa lalu bahkan meskipun orang yang kusukai telah menjadi milik orang. Termasuk produser dan menejerku sendiri yang kini sudah tidak tahu menahu lagi harus berbuat apa kecuali membujuk manajemen agar tidak memberikan klarifikasi sepihak.



Mencari ketenangan, aku kembali ke Hyogo dengan harapan bahwa semuanya akan segera reda. Namun ternyata tak bisa secepat itu karena kenyataan bahwa istri Atsumu adalah selebritas ternama dengan banyak pendukung setia, hingga seminggu berlalu pun tak membuat mereka diam dengan banyak cuitan bertebaran tentang betapa tidak tahu dirinya aku, merusak hubungan pasangan yang menjadi idaman semua orang.


Aku memutuskan untuk mematikan semua notifikasi. Termasuk dengan tidak mengangkat semua panggilan yang masuk, terlebih dari rekan-rekanku di dunia hiburan.


Beberapa hari setelahnya, aku sadar bahwa ada nomor Atsumu dari rentetan panggilan tak terjawab yang masuk. Namun, aku memang berniat untuk tak bicara dengannya lagi setelah satu tamparan dan umpatan yang kulontarkan padanya malam itu.


Padahal aku tahu bahwa kami sama-sama mabuk waktu itu. Tapi aku memilih untuk melimpahkan semua kesalahan dengan menampar dan mengutuknya seolah semua itu adalah salahnya.


"Aku membencimu!" Kataku sebelum menghempas tangannya yang menahanku waktu itu.


Padahal, aku tidak akan pernah sanggup untuk membencinya.


Buktinya, hari ini aku kembali ke tempat ini. Sebuah pantai di mana ia pertama kali mengajakku pergi. Tempat di mana ia pertama kali menciumku, meskipun setelahnya ia berdalih bahwa ia tiba-tiba terbawa emosi setelah menonton sebuah drama televisi.


Aku mungkin akan marah kalau bukan Atsumu yang melakukan itu padaku. Sayangnya, saat itu aku telah dibutakan oleh kenyataan bahwa aku memang menyukainya.


Kami tidak pernah berpacaran. Tapi kenangan yang telah berlalu tak pernah bisa kulupakan.


Tanganku beku oleh dinginnya angin yang datang. Musim dingin memang bukan saat yang tepat untuk datang ke laut. Tapi aku tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak menginjakkan kakiku di sini. Di atas batu karang di mana ombak kadang datang membawa cerita dari laut sana yang sampai saat ini tetap tak bisa kudeskripsikan.


Bagaimana aku bisa mendeskripsikannya, kalau yang ada di pikiranku sekarang hanya ada Atsumu dan banyak kenangan yang ia tinggalkan?



Aku pulang dengan sebuah keputusan setelah menenangkan diri selama beberapa saat di pantai. 


Aku tahu semua pencapaianku akan berakhir di sini. Karena itu, setidaknya aku ingin benar-benar mengakhirinya sebagai seorang musisi yang diingat karena karya-karyanya. Bukan karena skandal cinta yang memalukan seperti yang terjadi sebelumnya.


Aku kembali memberikan nada pada lirik yang kutulis di atas batu karang sembari memutar kilas balik kenangan yang ingin segera kulupakan.


Tentang masa indahku di SMA bersama Atsumu.


Tentang impianku.


Tentang patah hatiku.


Dan tentang kekecewaan semua orang padaku.


Aku menumpahkannya dalam satu irama yang kemudian kusiarkan secara langsung di akun media sosial.


"Aku tahu semua orang kecewa padaku. Karena itu aku berusaha mengakhiri semuanya. Terima kasih atas dukungan kalian selama ini." Begitu kalimat-kalimat terakhir yang kuucapkan.


Setelah itu, namaku kembali menjadi trending topik di media sosial. Berbagai hujatan kuterima bahkan di tengah live berlangsung. Manajemenku murka dengan keputusan sepihak yang kulakukan. 


Tapi, aku sudah tidak peduli lagi dengan hal  lain selain menarik diriku dari banyak sorotan.


Aku kembali mengabaikan banyak notifikasi pada ponselku meskipun aku sadar sudah puluhan kali Atsumu mencoba menelponku, dan mengirimkan banyak pesan.


Kita harus bicara, begitu tulisnya.


Aku sudah tidak memiliki daya untuk menemuinya karena aku tahu setelahnya aku akan menangis hingga mungkin aku tak bisa bertemu orang lain setelahnya karena sembab yang berlebihan. 


Namun yang kemudian menarik perhatianku adalah pesan tidak dikenal yang mengaku sebagai istri Atsumu. Dia ingin bicara denganku. 


Meskipun tak ingin, aku masih berhutang permintaan maaf padanya tentang apa yang terjadi belakangan meskipun itu semua adalah ketidaksengajaan. Aku berniat kembali ke Tokyo selama beberapa waktu untuk membereskan berbagai hal sekaligus menemuinya. Tapi ternyata itu tak perlu karena dia mendaku bahwa ia sudah berada di Hyogo untuk bertemu denganku.


"Aku ingin minta maaf," begitu katanya bahkan sebelum aku menjelaskan maksudku menemuinya. "Semua salahku."


"Bagaimana bisa ini salahmu kalau yang melakukan kesalahan adalah aku?"


Dia melanjutkan dengan kisahnya hingga ia menikah dengan Atsumu. 


Kisah yang tak lebih baik daripada kisahku yang menyukainya secara sepihak.


"Dia tidak pernah mencintaiku."


"Y-ya?"


"Aku memaksanya menikahiku saat aku tahu perasaanmu padanya tiga tahun yang lalu. Aku merasa menang karena dia menyetujuinya alih-alih kembali padamu saat itu. Tapi nyatanya semua tidak berjalan dengan baik. Kami sudah tidak bersama bahkan sebelum skandal ini muncul."


Aku terdiam, berusaha memahami maksud dari penjelasannya yang panjang.


"Atsumu adalah pembohong besar," katanya dengan senyum pahit sebelum ia keluar dari pintu kafe tempat kami bertemu.



Pembohong ulung, katanya.


Frasa itu terus mengambang dalam pikiranku meskipun debur ombak terus mengganggu. Membuyarkan lamunan dalam anganku yang tak habis pikir dengan apa yang terjadi sebenarnya.


Atsumu tidak pernah mencintainya. Lalu siapa yang selama ini dia cintai? Apakah salah satu dari gadis yang pernah dia kencani? Memikirkannya saja sudah cukup membuatku pening. 


Aku membiarkan ombak menerpa kaki telanjangku sambil terus bergeming memandang senja di ujung cakrawala. Beberapa kali aku menyenandungkan potongan lagu yang kutulis semasa remaja, yang diantaranya kumasukan dalam USB dan kuberikan pada Atsumu saat aku mengungkapkan perasaanku padanya.


Satu dekade telah berlalu sejak pertama kali Atsumu datang ke dalam duniaku. Kuharap dia segera meninggalkannya, meskipun pasti akan terasa lebih berat setelah ini.


Tetapi di tengah senandung yang kugumamkan, aku tiba-tiba mendengar suara lain yang cukup familier, yang turut menyanyikan laguku dengan desibel tak cukup keras.


"Atsumu?" Aku menyadari sosoknya setelah melihatnya duduk di sampingku dengan celana yang terlipat beberapa puluh senti dari mata kakinya, seperti yang ia lakukan kali pertama kami datang kemari.


"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya.


"Biasa saja. Bagaimana denganmu?" Aku balik bertanya, setelah mengembalikan fokusku pada garis cakrawala nun jauh di sana.


"Aku merindukanmu."


"Jangan mengatakan hal yang tidak pernah kau rasakan."


"Aku selalu merasakannya selama tujuh tahun belakangan."


"Bohong!"


"Ya, aku memang pembohong ulung. Dia mengatakan itu juga padamu, 'kan?"


Aku menoleh ke arahnya, yang juga sudah memberikan seluruh fokusnya padaku.


"Aku mencintaimu."


"Bohong!"


"Sayangnya itu benar ...."


Aku ingin sekali mengatainya. Mengutuknya yang pernah bilang bahwa dia tidak bisa membalas perasaanku, tiga tahun yang lalu. Tapi aku terlalu lemah untuk itu dan memilih menangis hingga dia menarikku dalam pelukannya sambil berkali-kali mengucap kata maaf.


Maaf karena telah membiarkanku bertemu banyak kesulitan.


Maaf karena membuatku terus bersedih dalam kesendirian.


Maaf karena membuatku harus mengakhiri mimpiku.


Dan maaf, karena membuatku menunggu hingga selama ini.


"Bodoh!" Lontarku sambil memukul dadanya. 


Dan sebelum aku mengalungkan kedua lenganku pada lehernya, lalu menjemput bibirnya dalam sebuah ciuman.



Thank you for reading.

Send me a feedback here: Secreto



Comments