Semi Eita - Hujan II

 A continuation of 'Hujan'





****

Aku masih menggulir layar ponselku. Membaca pesan-pesan yang kutukar dengan Eita selama seminggu terakhir setelah  percakapan kami melalui teks berakhir─lebih tepatnya kuakhiri beberapa menit lalu.


Tidak ada banyak hal yang kami perbincangkan karena kesibukan kami yang tak jarang menyita waktu hingga cukup sulit untuk sekedar menanyakan kabar. 


Aku tidak tahu bagaimana Eita melewatkan harinya, yang aku tahu hanya dia yang selalu berkata rindu diikuti dengan informasi cuaca, bahwa Tokyo tengah hujan. Selalu, saat dia mengirim pesannya. 


Dan konyolnya, di sini pun sama. Hujan selalu turun saat aku memikirkannya. Membuatku berpikir bahwa sebenarnya kami berada di tempat sama. Pun, hal itu selalu membuatku teringat bagaimana kami bertemu kali pertama, di bawah rinai hujan, yang bahkan tak pernah terpikir olehku saat ini bahwa kala itu akan begitu jelas tersisa dalam memori seakan satu dekade tak pernah terlewat setelahnya.


Aku pernah berkata, betapa sulitnya hubungan ketika jarak memisahkan. Aku juga pernah berkata, bahwa Eita mungkin bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dariku, dan yang bisa terus bersamanya. Namun katanya, aku adalah satu-satunya yang ia inginkan.


Tentu aku tak serta merta percaya. Karena ia lebih memilih bermusik dan meninggalkan tanah Miyagi─yang kuinjak sekarang, meninggalkanku sendirian. Tapi aku tak pernah mengungkapkan keraguanku, karena aku tahu musik adalah bagian dari hidupnya, sama seperti udara, di mana kau tak bisa hidup tanpanya.


Terkadang aku lelah, menunggu kapan jarak ini akan terkikis sementara aku dan dia sama-sama mengejar mimpi dan tak tahu akan berakhir di mana.


Tokyo bagaikan pusaran di mana aku merasa akan tenggelam saat berada di dalamnya. Karena itu aku memilih untuk tak menetap di sana, meski di sana lah rumahku; Eita  berada. 


Keberadaannya yang selalu mengundangku untuk datang, mengikis keraguan tentang apa yang akan menjadi akhir dari cerita kami kelak. Keraguan yang kerap kali membuatku berpikir bahwa semesta telah memberi pertanda, bahwa kami tak seharusnya memaksakan apa yang bukan semestinya.


Namun pada akhirnya aku tetap bebal. Mempercayai pernyataannya yang bilang bahwa aku tak akan pernah tergantikan. Hingga kemudian, aku kembali menyelam, ke dalam hiruknya Tokyo di kala hujan. Memburu langkah bersama padatnya pedestrian. Berharap aku akan segera menemukan sosok yang kurindu, dan wajah yang selalu kuimpikan.


Aku selalu bertanya, apakah Eita juga merasakan bagaimana rasanya dadanya sempit ketika merindukan seseorang? 


Ia selalu berkata bahwa dia selalu merindukanku, namun aku tak pernah tahu apa yang kini dia rasakan. Bahkan, meski aku menemukannya bergeming di bawah siraman rintik hujan tanpa perlindungan. Mendongak, menatap langit sendu, seolah mencari sebuah jawaban.


"Eita ...," aku memanggilnya. Ketika jarakku dan jaraknya tak lagi butuh waktu untuk mengikisnya. "Apa yang kau lakukan?"


Dia meluruskan pandang, menatapku. Seolah keberadaanku di depannya setelah lima jam lebih perjalanan saat ini adalah hal yang cukup wajar.


"Aku memikirkanmu, dan berharap kau datang," jawabnya setelah beberapa jenak ia terdiam.


Aku tak punya banyak pilihan, selain merengkuhnya dalam satu dekapan. Tanpa peduli aku akan turut basah terkena air hujan yang lebih dulu mengguyurnya.


Eita masih diam, mengubur wajahnya pada bahuku. Hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya yang entah mengapa, memberiku kehangatan.


Langit masih menumpahkan rintik yang sudah mulai jadi genangan, namun kami enggan berteduh dan terus berpelukan di depan gedung mansion tinggi yang mana salah satu kamarnya adalah tempat di mana Eita tinggal. 


Memori tentang satu dekade yang terlewat kembali terproyeksi. Memberi bukti bahwa kami tak pernah sendiri, kendati ada ratusan mil jarak yang harus kami tempuh untuk sekedar melepas rindu dan berbagi kehangatan seperti saat ini.


FIN 



Bandung, 10 Maret 2022



Comments